GEMPA yang terjadi di Cianjur pada Senin (21/11) telah mengakibatkan ratusan orang meninggal dan ribuan lainnya dilaporkan mengungsi dari tempat tinggal asal mereka. Sejumlah institusi memberikan informasi real time terkait dengan kejadian gempa, seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), German Research Centre for Geosciences (GFZ), serta United States Geological Survey (USGS).

Gempa tersebut berada pada kedalaman 10 km dengan magnitudo antara 5,5 hingga 5,6 dengan intensitas VI. Apabila kita melihat dari dampak yang ditimbulkan, setidaknya dalam 50 tahun terakhir, hanya ada satu gempa dengan kekuatan kelas magnitudo 5 yang berdampak terhadap kematian yang lebih besar. Pada 1989, terjadi gempa Gissar di Uni Soviet (sebelum menjadi Rusia), dengan magnitudo 5,3 yang mengakibatkan 274 orang meninggal. Selain dari gempa tersebut, berdasarkan referensi dari Wikipedia, tidak terdapat catatan gempa dengan magnitudo 5,6 yang menimbulkan kematian hingga ratusan orang.

Selazimnya, bangunan yang didesain mengikuti kode bangunan ataupun bangunan yang dibangun secara tradisional dengan kearifan lokal, semestinya dapat tetap berdiri pada intensitas VI. Intensitas VI artinya gempa terasa oleh semua orang. Saat terjadi gempa, banyak orang yang lari ke luar karena terkejut. Barang pecah belah dapat pecah-pecah, barang dan buku terjatuh dari raknya, plester rumah yang lemah pecah, tetapi tidak sampai menimbulkan kerobohan bangunan rumah.

Berbeda halnya di Cianjur, dilaporkan beberapa bangunan langsung roboh tanpa memberikan waktu penghuninya untuk melakukan evakuasi sehingga tertimpa reruntuhan bangunan. Sungguh ironi. Banyaknya kerusakan dan kematian akibat gempa Cianjur diakibatkan tiga hal. 1) kondisi geologi yang berada pada lapisan tanah breksi yang meningkatkan kerentanan terhadap gempa, 2) kedalaman episentrum gempa, dan 3) rentannya bangunan yang berada di wilayah Cianjur.

Sesar aktif

Baca Juga: Ini Arah Pembangunan Infrastruktur Fisik Kawasan Perbatasan 

Seperti yang sudah terjadi pada gempa-gempa sebelumnya, banyaknya kerusakan bangunan diakibatkan oleh kualitas bangunan yang rendah. Bangunan tahan gempa tidak mesti dibangun secara tata cara modern, tetapi juga diketahui bahwa rumah dan bangunan tradisional di Indonesia tahan terhadap guncangan gempa.

Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) yang terdiri atas pakar-pakar kegempaan dari berbagai institusi di kementerian, badan riset, dan perguruan tinggi telah memetakan 295 jalur sesar aktif di Indonesia melalui publikasinya, yaitu buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017. Sesar aktif tersebut memiliki potensi gempa dengan magnitudo lebih dari 6.

Dari guncangan yang dimodelkan berdasarkan data 295 sesar aktif tersebut, lebih dari 200 juta penduduk Indonesia dapat berpotensi mengalami gempa dengan intensitas VI dalam hidupnya, termasuk di Pulau Jawa dan Cianjur. Di Jawa Barat terdapat 11 segmen sesar aktif, termasuk sesar Cimandiri, sesar Lembang, dan sesar Baribis-Kendeng.

Sesar Cimandiri memanjang sepanjang 100 km dari Pelabuhan Ratu hingga ke Rajamandala, yang terbagi dalam tiga segmen, yaitu segmen Cimandiri, segmen Nyalindung, dan segmen Cibeber, yang masing-masing segmen berpotensi gempa dengan magnitudo mencapai 7. Sesar Lembang memanjang dari Padalarang hingga Manglayang di utara Kota Bandung sepanjang 29 km.

Selain itu, sesar Baribis-Kendeng memanjang di sepanjang Jawa bagian utara, dari Jakarta melewati Cirebon, Semarang, hingga ke Surabaya. Selain itu, terdapat sumber gempa dari zona subduksi di selatan Jawa yang guncangannya dapat dirasakan hingga ke daratan.

Masih akan terjadi

Gempa Cianjur yang terjadi pada 21 November 2022 memiliki episentrum tidak tepat berada di jalur sesar Cimandiri yang kita ketahui, setidaknya hingga saat ini, melainkan sekitar 15 km ke sisi utara. Informasi mekanisme fokus gempa menunjukkan bahwa sesar yang bertanggung jawab terhadap gempa tersebut ialah sesar geser mengiri.

Sesar geser mengiri artinya apabila diasumsikan garis sesar ialah barat-timur, wilayah di bagian selatan garis sesar akan bergerak ke timur, dan wilayah di bagian utara garis sesar akan bergerak ke barat. Hal itu menyiratkan dua kemungkinan; 1) gempa Cianjur berada pada zona sesar Cimandiri yang lebih kompleks, atau 2) gempa Cianjur memiliki sumber gempa lainnya yang belum diketahui dengan baik. Hal itu tentunya memerlukan investigasi lebih lanjut terkait dengan karakteristik sumber gempa Cianjur.

Terlepas dari hal itu, gempa-gempa masih akan terus terjadi di Indonesia. Karenanya, berikut ini tujuh kiat sederhana untuk hidup harmonis dengan gempa. Pertama, pahami sumber dan bahaya gempa di sekitar, zona aman dan tidak aman di sekitar kita. Sumber dan bahaya gempa dapat diakses di antaranya pada portal Inarisk.bnpb.go.id.

Kedua, perkuat bangunan agar tahan gempa. Perlu kita ingat bahwa kematian terbesar akibat gempa diakibatkan oleh keruntuhan bangunan. Namun, di sisi lain penting kita ketahui bahwa rumah-rumah dapat didesain tahan terhadap guncangan gempa, baik dengan mengikuti kode bangunan maupun dengan menerapkan kearifan lokal.

Ketiga, perkuat furnitur yang ada di rumah sehingga tidak mudah berjatuhan dan pecah. Keempat, siapkan peralatan P3K dan tas darurat untuk dapat bertahan hidup secara mandiri selama 36 jam pertama setelah gempa. Kelima, pascagempa utama, waspadai gempa susulan. Periksa kondisi rumah, jika berubah menjadi miring, jangan ditempati sebelum diperbaiki.

Keenam, waspadai bahaya iku­tan. Jika berada di daerah berbukit dan berlereng, waspadai longsor yang dapat terjadi. Jika berada di wilayah pantai, waspadai tsunami yang dapat terjadi, segera evakuasi menjauh dari pantai atau ke tempat yang lebih tinggi.

Ketujuh, berlatihlah bersama ke­luarga, sekolah, rekan kerja, dan ling­kungan sekitar. Terakhir, ‘bukan gempanya, melainkan bangunannya’. Jika gempa kembali terjadi dalam hidup kita, semoga kita semua dapat selamat. Oleh: Endra Gunawan dan Nuraini Rahma Hanifa Dosen FT Pertambangan dan Perminyakan ITB, dan peneliti di Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN (*)