PERISTIWA kerusuhan penonton laga sepak bola Liga I antara Persebaya Surabaya dan Arema FC di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur (1/10) menimbulkan kematian 131 orang (detik.com, 5/10) serta banyak yang luka-luka berat dan ringan. Sorotan publik ditujukan terhadap pihak keamanan, khususnya Polri, dengan tudingan penggunaan gas air mata sebagai penyebab kematian tersebut.

Di dalam ketentuan hukum internasional The Basic Principles of Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials dijelaskan beberapa ketentuan, antara lain, 4) Law enforcement officials, in carrying out their duty, shall, as far as possible, apply non-violent means before resorting to the use of force and firearms. They may use force and firearms only if other means remain ineffective or without any promise of achieving the intended result.

Dalam ketentuan tersebut jelas tidak ada larangan penggunaan kekerasan dan senjata api oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Termasuk Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) No 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dalam Menjalankan Tugasnya. Kekuatan yang dimaksud dalam Perkapolri tersebut ialah, 3). Penggunaan kekuatan adalah segala penggunaan/pengerahan daya, potensi atau kemampuan anggota Polri dalam rangka melaksanakan tindakan kepolisian.

Di dalam Perkapolri Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa tindakan kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang berlaku untuk mencegah, menghambat, atau menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa raga, harta benda, atau kehormatan kesusilaan guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat.

Baca Juga: Prioritas Dana Desa 2023

Merujuk pada ketentuan Perkapolri tersebut, penggunaan antara lain gas air mata yang dikatakan merupakan penyebab kematian telah dibenarkan berdasarkan Pasal 3. Prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian dibenarkan asalkan dilandaskan pada prinsip, a) legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku, b) nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi, c) proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respons anggota Polri sehingga tidak me­nimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berle­bihan, d) kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota Polri diberi kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri untuk menjaga, memelihara ketertiban, dan menjamin keselamatan umum, e) preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan, f) masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tin­dakan kepolisian diambil dengan mempertim­bang­kan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.

Merujuk pada keenam prinsip tersebut, tindakan kepolisian di Kanjuruhan bukan tindakan yang diharamkan. Namun, kesalahan cenderung ditujukan terhadap pengelola dan penjaga stadion (steward ). Mereka disebut tidak membuka semua pintu stadion segera setelah mengetahui terjadi kerusuhan saat penonton/suporter bereaksi keras dan agresif atas hasil yang tidak memuaskan. Ketika itu Arema FC dikalahkan Persebaya 2-3.

Di dalam Perkapolri Tahun 2009, penggunaan gas air mata dibenarkan dalam menghadapi kerusuhan yang mengancam jiwa petugas atau masyarakat. Hal itu terjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam keadaan darurat/terdesak tanpa pilihan lain yang tepat untuk mencegah terjadinya korban jiwa masyarakat lainnya.

Di dalam kerusuhan Kanjuruhan, yang terjadi bukan suatu kesengajaan (dolus ) untuk menimbulkan korban 131 orang, melainkan telah terjadi suatu kelalaian (culpa) yang mengakibatkan kematian orang lain. Kebijakan menghadapi peristiwa Kanjuruhan memerlukan sikap empati dan bijak, baik terhadap korban maupun penyenggara, termasuk unsur keamanan, karena; pertama, peristiwa tersebut termasuk force majeur  yang diakui secara universal merupakan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan siapa pun yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Kedua, fungsi hukum bukan saja memelihara ketertiban masyarakat, melainkan juga mewujudkan fungsi rehabilitasi, restoratif, dan kolektif terhadap suatu peristiwa.

Ketiga, hukum pidana mengenal dua prinsip, yaitu prinsip proporsionalitas dan prinsip subsidiaritas. Prinsip pertama menuntut bahwa dalam pe­nye­lesaian suatu peristiwa tidak boleh tujuan menghalalkan cara, dalam arti harus ada keseim­bangan di antara keduanya.

Prinsip kedua memberikan petunjuk agar dalam menghadapi beberapa alternatif penyelesaian harus didahulukan penyelesaian yang mengambil risiko terkecil. Keempat, sarana sanksi dalam hukum dikenal selain hukuman penjara juga hukuman tambahan, antara lain kompensasi terhadap korban-korban sperti yang dijanjikan pemerintah kepada korban Kanjuruhan. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa sikap saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab bukan sikap yang arif dan bijak dalam menyelesaikan peristiwa tersebut. Oleh: Romli Atmasasmita Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. (*)