LANGIT Indonesia masih mendung diselimut awan gelap covid-19 dengan berbagai variasinya. Ia menyiram gerimis kecemasan. Menurunkan hujan ketakutan. Banjir kesedihan pun mengalir pada palung sungai putusa asa. Setiap saat dewi kematian datang menjemput orang-orang tercinta. Bersamaan dengan itu berhembus juga angin kepanikan. Yang terus menggumpal menjadi puting beliung kemarahan.

Longsor curiga menumbangkan pohon harapan. Meninggalkan lubang kubur di belakangnya. Api hoaks mengembara bebas. Menghanguskan apa yang bisa dibakar. Erupsi lawa panas fanatisme agama juga merunyam suasana. Sementara badai politik menyusup mencari celah panggung gratis. Ingin mencari untung, tapi sering juga buntung. Mau menjadi hero, tapi tak jarang justru turun ke zero.  Mahkota, rantai dan lubang hitam covid-19 Kepala kita memang sedang bermahkota. Sayang, mahkota virus korona. Ia memenuhi setiap sudut kepala kita. Yang mengantar kita untuk duduk di singgasana penderitaan. Tahta dengan mayat bernafas. Hidup enggan, mati tak mau. Tahta dan mahkota yang mematikan nurani dan memenja­rakan kewarasan; ada yang tidak percaya covid, tidak taat prokes, melawan petugas, merebut jenazah pasien covid, menggali kembali kubur jenazah pasien covid, diskriminasi, dsb.  Selimut egoisme mengetat; memborong obat dan kebutuhan lainnya, menjual obat dengan harga selangit, PCR dengan jutaan rupiah padahal di negara tetangga hanya puluhan ribu rupiah, dst. Kalau pun diturunkan seperti kata Presiden, uang bayaran tes yang sudah terjadi tak bisa dikem­balikan.

Sejalan dengan itu produksi kepalsuan juga meningkat; obat palsu, berita palsu (hoaks), vaksin palsu, janji sumbangan palsu, data korban covid yang amburadul dan palsu, dst.  Semua ini semakin sulit dengan adanya sebagian kecil pelayan masyarakat yang tidak tidak cermat. Terlihat misalnya dalam pengaturan penerimaan vaksin yang amburadul. Justru melanggar prokes. Ditambah lagi dengan istilah lockdown yang berganti-ganti. Sulit untuk sederhana. Narasi ilmiah keilmuan sulit dihindari dari tarikan kepentingan politik dan bisnis. Silang pendapat antara para ilmuwan bidang kesehatan ditambah politisi menjadi arena silat pendekar mabuk. Tidak tahu untuk apa dan siapa mereka bertarung. Mau meraih medali kutukan di atas teater disrupsi sosial yang menggila.

Inilah narasi hidup yang menurunkan imun. Kita seperti jatuh ke sumur gelap. Covid ini memang lubang hitam. Ia menarik semua hal kepadanya. Ia seperti rantai yang mengikat semua. Akarnya adalah hidup yang dimaknai secara naif, penuh nafsu, dan kepentingan diri dan kelompok. Di sana ada paradoks dan skizofrenia; bicara nilai agama, tapi penuh tipu-tapu, bicara keadilan hukum, tapi pelanggaran meraja, dst. Pandemi covid-19 telah menjadi teror dan ladang untuk semua hal: kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan keburukan, keindahan dan kejelekan, kekudusan dan kejahatan. Manusia menjadi Tuhan dan setan bagi sesamanya. Semua campur aduk menjadi satu.    Otokolonialisme merusak imun ketiga tubuh masyarakat Fenomena ini mungkin bisa disebut otokolonialisme. Mentalitas budak yang menjajah diri sendiri secara individual dan kolektif.  Tentu dengan satu dan lain cara juga dipengaruhi oleh neokolonialisme dan neoimperialisme global negara-negara maju. Covid-19 sudah berlalu untuk mereka. Mereka lagi berusaha menambah dominasi globalnya.

Kesempatan dalam kesempitan. Gelap bagi orang lain, terang bagi mereka.   Setiap penyakit atau bencana, seperti covid-19 ini, menyerang tiga tubuh, yaitu tubuh individual/personal, tubuh bangsa (nation), dan tubuh negara (state). Ketiganya beririsan dan mengikat satu. Tubuh individual bersifat fisik-biologis. Jika imun tubuh kuat dan tidak mempunyai penyakit bawaan, covid-19 tidak akan membahayakan seseorang. Konon yang meninggal pada umumnya yang mempunyai penyakit bawaan. Imun itu sangat tergantung pada kekuatan fisik dan psikis seseorang. Tentu juga daya dukung (support system) lingkungan sekitar.  Tubuh bangsa (nation) adalah komunitas budaya, agama, atau komunitas persaudaraannya yang lebih bersifat afektif. Pada masyarakat Indonesia, komunitas ini kuat. Ketaatan kepadanya malah dalam urusan tertentu cukup tinggi. Tubuh negara (state) adalah birokrasi dengan struktur dan sistem hukum, administrasi dan organisasi negara yang dilengkapi dengan berbagai jenis dan tingkat aparatur negara. Ini lebih bersifat fungsional, formal, dan yuridis.  Tubuh bangsa dan negara membentuk tubuh kolektif-sosial. Rupanya imun tubuh sosial-kolektif ini rapuh seperti digambarkan di atas. Hal itu memengaruhi tubuh individual. Ini bukan imun dan tubuh dalam arti medis, tetapi dalam arti sosial-kultural.    Butuh tangga dan cahaya Supaya keluar dari rantai dan lubang gelap covid-19 dibutuhkan tangga naik dari lubang dan cahaya untuk melihat dengan terang. Inilah yang menjadi pemutus rantai kegelapan covid-19. Keduanya bersumber pada kekuatan yang sama, yaitu api cinta optimisme.  Di sini ada perubahan mindset.

Baca Juga: Kemerdekaan, Pancasila, dan Hak Asasi ManusiaKemerdekaan, Pancasila, dan Hak Asasi Manusia

Berpikir positif. Menyalakan secercah cahaya dari pada memaki kegelapan. Selama ini tangga dan cahaya ini sebenarnya sudah ada. Misalnya, pesan-pesan harapan dari banyak orang, nakes dan satgas covid yang berkurban, warga atau kelompok yang memberi sumbangan dengan tulus, komunitas agama yang memberikan bantuan, media yang menyebarkan pesan positif dan edukasi sosial, pemerintah pusat yang membuat crosscheck ke daerah, dll. Hal ini terutama dimotori oleh Presiden dan pembantu dekatnya yang visioner dan misioner.   Tak sedikit anak bangsa yang menyadari bahwa martabat diri dan bangsa hanya bisa terbentuk dengan membagi dalam kekurangan di saat susah. Di saat seperti ini perbedaan kepentingan dalam segala bidang bukan menjadi prioritas. Tak perlu ada jurang pemisah. Inilah momen refleksi untuk merajut kembali benang-benang batin persauda­raan yang kusam dan putus. Ini saat untuk bangun jembatan emas jiwa dan roh keindonesiaan dalam semua lapisan dan golongan. Inilah cahaya harapan. Roh kemerdekaan.

Roh kemerdekaan  Cahaya harapan ini kiranya dikukuhkan oleh momen HUT ke-76 kemerdekaan tahun ini dengan jargon Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh. Indonesia sehat dan bersinar. Roh kemerdekaan itu adalah sebuah nilai yang inheren dengan eksistensi manusia. Namun dia bukanlah benda pasif yang bisa dibeli sekali lalu menjadi milik untuk selamanya. Ia adalah kesinambungan roh dialog, dinamika, dan dialektika roh dan jiwa internal dan eksternal. Di sana ada jatuh dan bangun.  Pekikan merdeka dan alunan lagu ‘sekali merdeka tetap merdeka’ adalah kehendak untuk mengisi kemerdekaan secara kontekstual. Dalam perspektif pancasila, mengisi kemerdekaan berarti mengisi diri dengan kehadiran sesama, dan hadir sebagai saudara bagi sesama. Merdeka berarti keluar dari diri sendiri dan menjadikan wajah sesama sebagai cermin hidup. Sehingga sesama adalah aku yang lain. Di sini ‘kepalaku, jiwaku, hatiku menjadi besar ketika diisi oleh pikiran dan cintamu; pikiran dan cintamu menjadi besar, jika disemaikan bersama dalam kepala, jiwa, dan hatiku’.

Itulah yang akan menjadi tangga dan sumbu emas bercahaya yang memutuskan semua rantai kegelapan, termasuk rantai kegelapan covid-19. Hal itu juga yang membuat kita mempunyai daya tawar terhadap hegemoni global negara-negara maju. Untuk itu perlu sinergi, transformasi, dan transubstansi dalam berbagai bidang kehidupan. Salam merdeka.( Inosensius Sutam, Rohaniwan Katolik dan Dosen UNIKA Santu Paulus Ruteng, Flores, NTT)