DALAM catatan Andrew Reynolds dkk (2005), secara tradisional sistem pemilu jarang dipilih dengan sadar dan sengaja. Meskipun desain sistem pemilu yang disengaja telah semakin umum akhir-akhir ini, sering kali pilihan atas sistem pemilu ialah suatu kebetulan. Hasil dari kombinasi keadaan yang tidak biasa, dari tren yang lewat, atau kekhasan sejarah, dengan dampak kolonialisme dan pengaruh negara tetangga yang acap kali sangat kuat.

Pandangan serupa juga dikemukakan Allen Hicken (2019), yang menyebut ada tiga kondisi yang melahirkan inisiasi untuk mereformasi sistem pemilu, meliputi kegagalan sistemis (systemic failure), sebuah peristiwa katalitik (a catalytic event), dan adanya perubahan preferensi petahana (change in incumbents’ preference). Kegagalan sistematis terjadi apabila sistem pemilu yang sedang berlaku gagal memenuhi harapan normatif publik untuk menghasilkan pemerintahan yang responsif, akuntabel, dan efektif.

Sementara itu, peristiwa katalitik yang mendorong perubahan sistem pemilu umumnya berupa suatu krisis yang menghubungkan antara kesengsaraan politik dan/atau ekonomi dan sistem pemilu yang kemudian menghasilkan permintaan untuk melakukan reformasi. Reformasi sistem juga bisa terjadi karena politikus petahana merasa akan mendapatkan keuntungan dengan mendorong perubahan sistem (atau setidaknya dengan tidak menentangnya), dengan petahana meyakini akan mendapatkan manfaat elektoral secara jangka panjang melalui keberlakuan sistem pemilu yang baru tersebut. Atau sebaliknya, petahana mengharapkan keuntungan elektoral jangka pendek dari pilihan sikap sebagai pembaharu (dikenal sebagai ‘motivasi tindakan’).

Yudisialisasi politik

Di Indonesia, sistem pemilu, selain merupakan produk pergulatan pembentuk undang-undang sebagai refleksi sejarah penyelenggaraan pemilu terdahulu (terutama pemilu-pemilu Orde Baru), dipengaruhi adanya peran putusan pengadilan melalui upaya pengujian undang-undang (judicial review), ataupun penyelesaian perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga: Anies, Agenda Perubahan dan Tembak Mati Koruptor

Keberadaan MK dalam rangka mengukuhkan pemisahan kekuasaan dan kontrol antarcabang kekuasaan (checks and balances) memang memungkinkan para pihak untuk melakukan penilaian dan mengambil langkah hukum atas norma undang-undang yang dianggap inkonstitusional, atau bertentangan dengan ketentuan UUD NRI 1945. Hal itu mengakibatkan menguatnya fenomena yudisialisasi politik dengan hakim dan peradilan ditarik masuk untuk memutuskan persoalan-persoalan politik dalam pengaturan pemilu Indonesia selanjutnya.

Pasca-Pemilu 1999, pembentuk undang-undang memutuskan untuk mengubah sistem pemilu proporsional daftar tertutup (closed list) untuk memilih anggota DPR dan DPRD sehingga pemilih bisa langsung mencoblos caleg pilihannya di surat suara. Surat suara tidak hanya akan memuat nomor urut dan tanda gambar partai, tapi juga memuat nomor urut dan nama caleg yang diusung partai. Namun, pada Pemilu 2004 melalui UU No 12 Tahun 20023, hal itu masih dilakukan melalui penerapan sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup (relatively closed open list system) dengan caleg akan menduduki kursi yang diperoleh partai apabila mendapat suara sejumlah kuota harga satu kursi yang disebut bilangan pembagi pemilih atau BPP.

BPP sendiri diperoleh melalui penjumlahan total suara sah di suatu daerah pemilihan yang kemudian dibagi dengan total jumlah kursi yang diperebutkan di dapil tersebut. Hasil pembagian itulah yang menjadi kuota harga kursi yang harus dipenuhi caleg untuk bisa duduk di parlemen. Kalau tidak ada caleg yang memperoleh suara sejumlah BPP, kursi akan diberikan kepada caleg berdasar nomor urut. Jika partai mendapat dua kursi, dua kursi tersebut akan diberikan kepada caleg nomor urut satu dan nomor urut dua yang diusung partai tesebut.

Mekansime seperti itu membuat ketidakpuasan dan pergolakan di internal partai, khususnya bagi mereka yang mendapat suara lebih banyak, tetapi tidak bisa duduk di parlemen akibat suara mereka kurang dari BPP. Melalui UU No 10 Tahun 2008, pembentuk undang-undang memutuskan untuk mengurangi kuota harga kursi bagi caleg dari semula 100% menjadi 30% jumlah BPP. Itu disebut sebagai sistem pemilu proporsional yang lebih terbuka (a ‘more open’ list system).

Akan tetapi, pilihan proporsional terbuka secara gradual itu dibatalkan MK melalui Putusan No 22-24/PUU-VI/2008. MK menyebut setiap caleg mestinya dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing sehingga persya­ratan 30% BPP yang harus dipenuhi caleg untuk mendapat kursi dan kalau tidak, akan kembali berdasar nomor urut, dipandang MK sebagai sesuatu yang menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif.

Dalam putusannya, MK menyebut dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang ialah berdasarkan suara terbanyak maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapa pun caleg yang mendapat suara terbanyak secara berurutan dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.

Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing caleg. Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihan mereka dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak.

MK juga menyandarkan pada pengakuan terhadap kesamaan kedudukan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law), sebagaimana terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945, sehingga setiap caleg mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum.

Memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama ialah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama. Karena itu, menurut MK, ketentuan 30% BPP dalam UU 10/2008 mengandung standar ganda sehingga dapat dinilai memberlakukan hukum yang berbeda terhadap keadaan yang sama sehingga dinilai tidak adil.

Sayangnya, putusan tersebut (bisa jadi disebabkan keterbatasan MK dalam menjangkau detail teknis sebagaimana halnya pembentuk undang-undang, atau juga bisa jadi karena kurangnya pengetahuan MK soal sistem pemilu) tidak mem­pertimbangkan konsekuensi putusan atas operasionalisasi tek­nis secara holistis terhadap me­tode pemberian suara dan kaitan­nya dengan penentuan caleg yang mendapat kursi dari suatu partai.

Saat MK menyandarkan sepe­nuhnya kepada apa yang disebut ‘suara terbanyak’ caleg, MK terluput untuk mempertimbangkan penye­la­ra­sannya dengan metode pem­berian suara yang masih membo­lehkan pemilih memberi tanda satu kali pada kolom nama partai, selain pada kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Kalau MK konsisten dan kom­pre­hensif memahami sistem pe­milu, argumen ‘suara terbanyak’ caleg akan pula diikuti pertimba­ngan hukum, bahwa pemberian suara sepenuhnya dilakukan ha­nya untuk memilih caleg. Atau se­baliknya, jika memang pemilih ma­sih dimungkinkan untuk memilih pada kolom nama partai, partai juga diberi hak menentukan caleg yang dikehendaki mereka untuk mendapat kursi dalam hal kolom nama partai mendapatkan pilihan paling banyak dari para pemilih. Namun, tidak seperti itu putusannya.

KPU sebagai pelaksana un­dang-undang yang saat persi­dangan perkara No 22-24/PUU-VI/2008 menyatakan kesiapan mere­ka atas implikasi perubahan sis­tem pemilu juga tidak menyaran­kan ataupun melakukan koherensi teknis itu. Akibatnya, putusan MK yang menghendaki ‘suara terba­nyak’ itu pada praktik Pemilu 2009 dan pemilu-pemilu setelahnya masih bekerja dalam logika pem­berian suara sistem pemilu pro­por­sional terbuka dengan nomor urut sebagaimana pengaturan UU 10/2008 sebelum dibatalkan MK.

Politik hukum terbuka

Bisa jadi, ketidakakuratan jang­kauan teknis itulah yang membuat MK putar arah saat memutus pe­ngujian undang-undang terkait de­ngan variabel penunjang sistem pemilu berupa penjadwalan atau pilihan model keserentakan pemi­lu. Dalam Putusan No 55/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Per­kum­pulan untuk Pemilu dan De­mokrasi (Perludem), ketimbang menyatakan model keserentakan pemilu nasional dan pemilu lokal, yang dimintakan Perludem sebagai pilihan konstitusional satu-satu­nya, MK lebih memilih untuk mem­berikan panduan berupa asas dan prinsip bagi pembuat undang-undang dalam memutuskan mo­del keserentakan yang akan diatur dalam undang-undang.

Sebagai pedoman, dalam me­mutuskan pilihan model atas ke­serentakan penyelenggaraan pe­milu, MK menyebut pembentuk un­dang-undang perlu mempertim­bangkan beberapa hal. Itu, antara lain, (1) pemilihan model yang ber­implikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyele­ng­garaan pemilu. (2) Kemung­kinan perubahan undang-undang ter­hadap pilihan model-model ter­sebut dilakukan lebih awal sehi­ngga tersedia waktu untuk dilaku­kan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilak­sanakan.

Lalu, (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewu­judkan pemilu yang berkualitas. (4) Pilihan model selalu memper­hi­tungkan kemudahan dan keseder­hanaan bagi pemilih dalam melak­sanakan hak untuk memilih seba­gai wujud pelaksanaan kedaula­tan rakyat dan (5) tidak acap kali mengubah model pemilihan lang­sung yang diselenggarakan seca­ra serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelak­sanaan pemilu.

Bila kita rujuk sikap MK dalam Putusan No 55/PUU-XVII/2019 dan dikaitkan dengan uji materi atas sistem pemilu pada perkara No 114/PUU-XX/2022 yang saat ini sedang berlangsung, arah MK mestinya akan lebih mudah dite­bak. MK akan memutus pilihan atas sistem pemilu merupakan wilayah pembentuk undang-undang untuk mengaturnya (open legal policy), sebagaimana halnya putusan MK terkait dengan model keseren­takan pemilu.

Hal itu didasari beberapa per­tim­bangan. Pertama, UUD NRI 1945 tidak mengatur secara tegas pilihan sistem pemilu untuk pemilu anggota DPR dan DPRD. Meski­pun Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 menyebut bahwa ‘Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik’, tetapi hal itu tidak dapat serta-merta dimaknai sebagai sis­tem pemilu proporsional tertutup sebab dalam sistem pemilu pro­por­sional baik terbuka ataupun tertutup, peserta pemilunya ialah partai politik serta tidak ada ruang bagi calon perseorangan sebagai­mana halnya pada pemilu anggota DPD.

Kedua, apabila ditelusuri risalah perubahan undang-undang dasar, akan ditemukan bahwa pilihan sistem pemilu anggota DPR dan DPRD bukan suatu pilihan tunggal. Di akhir Rapat PAH I BP MPR ke-33, pemimpin rapat Slamet Effendy Yusuf menyampaikan rangkuman usul-usul yang muncul selama rapat berlangsung. Terkait dengan sistem pemilu anggota DPR dan DPRD disebutkan bahwa ‘Kemu­dian secara sepintas lalu juga mulai diperdebatkan, muncul adalah mengenai sistem pemilu. Apakah proporsional, apa distrik atau mixed, campuran, itu juga sudah disebutkan’.

Pada Rapat Paripurna Ke-5 ST MPR 2001, 4 November 2001, yang dipimpin Ketua MPR M Amien Rais, pembahasan mengenai pemilu bergulir kembali. Fraksi-fraksi MPR menyampaikan pandangan fraksi masing-masing. S Massardy Kap­hat dari F-KKI menyampaikan an­tara lain sebagai berikut: “Sistem pemilu untuk memilih wakil rakyat juga seharusnya lebih maju se­hingga yang dipilih rakyat tidak cuma gambar-gambar partai, tapi juga orang sehingga yang lebih baik ke depan adalah sistem propor­sional. Daftar terbuka yang dipilih rakyat adalah tanda gambar dan orang atau sistem distrik. Akan lebih demokratis lagi bilamana tidak hanya calon partai yang dibolehkan ikut dalam pemilu untuk memilih wakil rakyat, tetapi juga bisa calon perorangan.”

Ketiga, meskipun pemohon me­nguji sembilan norma yang ber­kaitan dengan inkonstitusionalitas sistem pemilu proporsional terbu­ka, operasionalisasi teknis sistem pemilu proporsional terbuka tidak hanya terdapat dalam sembilan norma yang diuji tersebut. Kerang­ka pengaturan sistem proporsional terbuka juga tersebar dalam desain kepesertaan partai politik di pemilu, model kampanye, hak pe­milih yang pindah memilih, pene­tapan perolehan suara oleh KPU (yang masih mencakup partai dan caleg), serta penegakan hukum (khususnya terkait dengan jual beli suara).

Terakhir, keempat, di masa depan sangat mungkin akan ada evaluasi ataupun modifikasi atas pilihan sistem pemilu. Jika MK mengunci pada satu pilihan sistem saja, hal itu akan berdampak pada kesulitasn untuk melakukan penyesuaian dan perbaikan pada pemilu-pemilu yang akan datang.

Rambu-rambu

Oleh karena itu, bila menilik beberapa putusan MK termutakhir, soal sistem ini merupakan pilihan yang konstitusional bagi MK untuk menempatkannya sebagai ranah pembentuk undang-undang. Akan tetapi, MK perlu memberikan rambu-rambu pada pembentuk undang-undang terkait dengan asas dan prinsip dalam memilih sistem pe­milu, sebagaimana yang dilakukan MK dalam Putusan No 55/PUU-XVII/2019 menyangkut pilihan model keserentakan pemilu.

MK juga penting menegaskan dalam putusan mereka konsis­tensi pilihan sistem pemilu terha­dap berbagai variabel teknis yang menyertainya sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dalam implementasinya. Misalnya saja, tidak relevannya penggunaan nomor urut dan opsi mencoblos par­tai pada sistem proporsional terbuka dengan popular vote (suara terbanyak). Putusan atas sistem pemilu itu akan menjadi salah satu momentum MK untuk meneguhkan posisi mereka sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi Indonesia.

Karena itu, MK harus mampu membuktikan kemandirian kekua­saan mereka dan tidak terperosok pada tarik-menarik politik partisan yang justru bisa membuat MK terpuruk dan kehilangan keper­cayaan publik. Tentu MK tidak akan segegabah itu. Oleh: Titi Anggraini Pembina Perludem dan pengajar pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (*)