KONDISI Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian berada pada titik nadir. Bagaimana tidak, tak lama setelah mengumumkan proses hukum di Kementerian Pertanian (Kementan), tersiar kabar adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan yang dilakukan oleh seorang pimpinan KPK kepada mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Peristiwa ini semakin melengkapi lembar suram kepemimpinan Firli Bahuri selama empat tahun terakhir di KPK. Bukannya menunjukkan prestasi, rentetan kontroversi memalukan justru terus-menerus dan konsisten diproduksi oleh lembaga antirasuah.

Munculnya isu dugaan pemerasan pun diperkuat melalui pernyataan Direktur Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, yang mengonfirmasi adanya pemeriksaan terhadap Syahrul berkaitan dengan pengusutan tindak pidana itu. Bahkan, beberapa waktu lalu, status penanganan perkaranya sudah ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan. Ini mengartikan, dari sisi hukum, bukti permulaan yang cukup sudah ditemukan, dan penyidik sudah meyakini bahwa pemerasan benar terjadi. Tindak lanjutnya, tinggal mencari siapa pimpinan KPK yang melakukan praktik lancung tersebut.

Di tengah mencuatnya kabar mengenai pemerasan yang dilakukan oleh seorang pimpinan KPK, tiba-tiba beredar foto Firli dan Syahrul sedang berbincang di sebuah gelanggang olahraga bulu tangkis. Keduanya tampak akrab dan terlihat sedang berbincang satu sama lain. Foto tersebut melahirkan banyak pertanyaan, di antaranya, kapan pertemuan itu berlangsung? Apakah pertemuan itu dilakukan seusai KPK menangani perkara dugaan tindak pidana korupsi di Kementan? Jika benar, lalu untuk apa Syahrul bertemu dengan Firli? Tak sedikit pula masyarakat yang mulai bertanya, apakah Firli yang dimaksud sebagai pelaku pemerasan kepada Syahrul?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari terlebih dahulu melihat bagaimana rekam jejak Firli. Penting diketahui, purnawirawan jenderal polisi itu dianggap sebagai figur bermasalah yang menjadi sumber semua persoalan yang ada di KPK.

Lima peristiwa

Baca Juga: Resonansi dan Relevansi Kebijakan Perikanan

Indonesia Corruption Watch mencatat setidaknya ada lima peristiwa yang melibatkan Firli selama ia berkarier di lembaga antirasuah. Pertama, saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, Firli sempat bertemu dengan pihak-pihak beperkara, di antaranya mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat dan mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Atas peristiwa itu, pada 2019 Firli dijatuhi sanksi berat karena dianggap melanggar kode etik kepegawaian KPK.

Kedua, Firli juga mengakui pernah bertemu dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, saat masih menjadi bagian dari KPK. Sekalipun tidak terbukti sebagai pelanggaran etik, sebagai aparat penegak hukum mestinya ia menghindari pertemuan semacam itu.

Ketiga, ratusan pegawai KPK pernah mempersoalkan kinerja Firli sebagai Deputi Penindakan KPK dengan cara mengirimkan petisi kepada pimpinan KPK. Kala itu, salah satu isu yang menguat ialah maraknya kebocoran informasi penanganan perkara. Akibatnya, sejumlah upaya penindakan, terutama operasi tangkap tangan mengalami kegagalan.

Keempat, setahun setelah menjabat sebagai pimpinan KPK, Firli dijatuhi sanksi etik oleh Dewan Pengawas karena menunjukkan gaya hidup hedonisme dengan mengendarai helikopter mewah. Ironisnya, pada waktu yang bersamaan, KPK menggembar-gemborkan gaya hidup sederhana, tetapi hal itu justru dilanggar oleh pimpinannya sendiri.

Kelima, Firli disinyalir menjadi dalang utama di balik pemecatan puluhan pegawai KPK melalui tes wawasan kebangsaan (TWK). Tak tanggung-tanggung, kebijakan absurd itu dikategorikan sebagai perbuatan malaadministrasi dan melanggar hak asasi manusia. Namun, tetap saja, sekalipun pelanggaran dalam TWK disuarakan oleh lembaga negara, Ombudsman dan Komnas HAM, Firli tetap berkukuh dengan kebijakan itu.

Kembali pada persoalan beredarnya foto Firli dan Syahrul. Mari asumsikan bahwa pertemuan itu dilakukan setelah pengaduan masyarakat masuk ke KPK mengenai dugaan tindak pidana korupsi di Kementan. Jika seperti itu, ada pelanggaran etik dan perbuatan melawan hukum yang siap menjerat Firli.

Untuk pelanggaran etik, Ketua KPK dapat dijerat dengan aturan pada Bab Nilai Dasar Integritas dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2021, khususnya angka 10 dan 28. Aturan itu melarang pimpinan KPK berhubungan dengan pihak beperkara dan menyebarkan berita bohong. Kaitan berita bohong karena sebelumnya Firli membantah pernah bertemu dengan Syahrul, selain dalam urusan dinas.

Dalam konteks pelanggaran pidana, pertemuan dengan pihak beperkara yang dilakukan oleh pimpinan KPK dapat mengantarkan pelaku mendekam selama kurun waktu paling lama lima tahun di penjara. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 36 juncto Pasal 65 UU KPK.

Hal serupa pernah terjadi pada 2009, kala itu mantan Ketua KPK Antasari Azhar sempat ingin dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena disinyalir bertemu pihak beperkara, Anggoro Widjojo, di Singapura. Lalu, indikasi pemerasannya menggunakan Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara maksimal seumur hidup. Bahkan, untuk menghukum maksimal dapat menggunakan alasan pemberat berupa status pelaku, yakni seorang aparat penegak hukum yang mestinya memberikan contoh baik kepada masyarakat.

Membongkar praktik lancung pimpinan KPK

Oleh sebab itu, agar tidak lagi berada di ruang gelap, ada sejumlah langkah yang penting segera dilakukan oleh sejumlah pihak untuk membongkar praktik lancung pimpinan KPK ini. Pertama, Polda Metro Jaya harus segera memanggil pimpinan KPK beserta orang-orang dekatnya, baik ajudan maupun pihak penghubung, yang disinyalir merupakan seorang perwira menengah kepolisian. Ini penting untuk menilai apakah alibi yang disampaikan memiliki kesesuaian dengan fakta, atau justru sebaliknya. Bantahan yang sebelumnya pernah disampaikan oleh Firli dalam konferensi pers KPK sebaiknya diabaikan saja demi menjaga independensi proses penyidikan.

Kedua, Kapolri diharapkan memberi atensi khusus dan menjamin bahwa proses penyidikan yang sedang dilakukan oleh Polda Metro Jaya tidak diintervensi pihak mana pun. Sebab, bagaimanapun hierarki pangkat di kepolisian tidak bisa dimungkiri masih terjadi, apalagi terduga pelaku merupakan purnawirawan jenderal. Bukan tidak mungkin jejaring pelaku akan dimanfaatkan guna meredam proses hukum di Polda Metro Jaya.

Ketiga, Dewan Pengawas secara paralel mengusut dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pimpinan KPK. Kewenangan untuk memanggil terduga pelanggar, bahkan sampai menyita alat komunikasinya, bisa dimanfaatkan sehingga konstruksi peristiwa ini bisa terang benderang.

Keempat, Presiden selaku atasan administratif KPK sekaligus kepala negara dapat mengambil peran dengan memerintahkan setiap pihak, termasuk pimpinan KPK, bertindak kooperatif terhadap proses hukum. Jika akhirnya Polda Metro Jaya menetapkan pimpinan KPK sebagai tersangka, berdasarkan Pasal 32 UU KPK, Presiden harus segera menerbitkan keputusan presiden yang memuat perintah pemberhentian sementara, lalu mencari penggantinya. Langkah-langkah ini mesti dijalankan agar upaya pemberantasan korupsi di KPK tidak kemudian terhenti karena peristiwa yang sedang diusut oleh kepolisian.

Figur seperti Firli memang sudah seperti benalu di KPK. Tindak tanduknya yang selalu menjerumuskan KPK ke dalam kubangan kritik masyarakat patut ditindak. Kasus dugaan pemerasan ini, jika kelak terbukti, akan semakin membuka mata masyarakat bahwa pimpinan KPK periode sekarang merupakan pimpinan terburuk sepanjang sejarah lembaga antirasuah. Oleh: Kurnia Ramadhana Peneliti Indonesia Corruption Watch (*)