MENGGUNAKAN media sosial (medsos) di era digital saat ini bukan hanya masalah eksistensi atau tren semata, tetapi lebih merupakan kebutuhan yang tidak bisa diabaikan. Medsos tidak hanya digunakan sebagai hiburan, sumber informasi terkini, dan tempat berbagi berita penting seperti lowongan kerja, beasiswa, atau dokumen pribadi, tapi juga sebagai sarana untuk mening­katkan pendapatan. Banyak pengguna medsos, misalnya, yang mengelola bisnis belanja daring (online shopping), jasa antar jemput, dan bisnis daring lain tanpa perlu membayar tempat usaha fisik yang umumnya menjadi kendala bagi para pebisnis. Selain itu, mereka tidak perlu repot-repot beranjak dari tempat duduk dalam berbisnis. Banyak hal positif yang dapat dilakukan di dunia maya.

Dampak negatif Namun, seiring dengan aktivitas positif tersebut, muncul juga perilaku negatif, seperti tindakan perundungan (bullying). Pernahkah Anda mengalami perundungan di medsos? Baik itu berasal dari akun asli maupun akun palsu? Dampak yang paling terasa dari perundungan tersebut ialah seseorang merasa tidak nyaman dan bahkan beberapa orang memutuskan untuk mengakhiri hidup. Pertemanan di dunia maya lebih bebas jika dibandingkan dengan di dunia nyata. Dampak dari perundungan di medsos sebenarnya sangat serius. Beberapa orang memilih untuk bunuh diri karena tidak tahan dengan kondisi yang mereka hadapi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Microsoft, warganet Indonesia merupakan yang paling tidak sopan di antara para netizen negara-negara di ASEAN dalam berperilaku di dunia maya. Mereka sering kali dengan mudah melemparkan komentar yang merendahkan tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Korban perundungan tidak hanya masyarakat umum, tetapi juga tokoh masyarakat yang memiliki pengalaman dan prestasi yang tinggi. Perundungan bukan hanya tentang identitas seseorang, tetapi lebih kepada bagaimana pelaku melihat celah untuk membuat korban merasa tidak nyaman melalui komentar negatif dan penghinaan. Bahkan berita yang bermanfaat pun sering kali menjadi sasaran cemoohan. Menurut lembaga donasi anti-bullying, Ditch the Label, Instagram adalah medsos yang paling sering digunakan untuk melakukan perundungan daring. Alasan seseorang melakukan perundungan daring yang paling umum, seperti yang diungkapkan dalam riset Broadband Search 2023, ialah menghina penampilan (61%), prestasi akademik (25%), ras (17%), gender (15%), status finansial (15%), dan agama (11%). Perilaku merun­dung orang lain adalah perilaku yang sulit dimengerti.

Pelaku perundungan seperti merasakan kepuasan ketika menjatuhkan dan melihat orang lain menderita. Perilaku ini merupakan bentuk dari kehidupan yang tidak menyenangkan. Jika mereka tidak menyukai seseorang, mengapa mereka membuang-buang waktu, pikiran, dan tenaga untuk menyakiti orang lain? Jika memang tidak menyukainya, bukankah sebaiknya blokir saja? Sebagai negara Pancasila yang memiliki berbagai program pendidikan karakter, seharusnya kita dapat mengubah perilaku buruk ini berdasarkan norma-norma agama yang kita yakini karena ada konsekuensi yang harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari. Mungkinkah agama hanya menjadi simbol belaka? Atau mungkin pendidikan karakter telah gagal mencapai tujuan yang diinginkan? Apakah ini merupakan bentuk degradasi moral generasi saat ini? Jika memang benar, langkah tepat apa yang dapat diambil? Dari mana harus memulainya?   Antisipasi dengan pendidikan Mata pelajaran ICT atau komputer atau teknik informatika dimulai pada 1984. Pada saat itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia meluncurkan Program Pengajaran Komputer (P2K) yang diimplemen­tasikan di sejumlah sekolah menengah. Program ini bertujuan memperkenalkan siswa-siswa Indonesia dengan dunia komputer dan teknologi informasi.

Seiring dengan perkembangan teknologi, pelajaran komputer semakin berkembang dan menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang. Namun, sangat disayangkan, pelajaran komputer yang semakin lama semakin canggih tidak diimbangi dengan pendidikan etika penggunaan medsos dan internet sebagai mata pelajaran dalam kurikulum, misalnya. Tujuannya ialah pembiasaan perilaku bermedsos yang sesuai norma sosial. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena di sekolah siswa masih terikat dengan penilaian. Banyak masalah dapat diselesaikan melalui pendidikan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan menganggap hal ini sepele dan aman-aman saja. Jika diabaikan, hal ini bisa menjadi bencana yang siap meledak. Melihat beberapa kasus di atas, semakin banyak korban perundungan, semakin meningkat pula kasus-kasus yang tidak diinginkan.

Terdengar aneh jika di negara yang berlandaskan Pancasila dan menempatkan agama sebagai sila utama dan pertama, justru tidak dapat meletakkan Pancasila sebagai dasar perilaku bermedsos. Sekolah seharusnya dapat memberikan pendidikan etika bermedia sosial (etika digital) untuk meningkatkan kesadaran siswa dalam menggunakan medsos yang bertanggung jawab dan aman. Dalam hal ini, sekolah harus melibatkan orangtua. Orangtua dapat diberikan informasi tentang tanda-tanda dan dampak perundungan digital, serta cara melindungi anak-anak mereka dari ancaman perundungan digital. Kolaborasi antara sekolah dan orangtua sangat penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung.

Baca Juga: Membangun Ekosistem Perdagangan Karbon untuk Selamatkan Bumi

Sekolah harus mengembangkan kebijakan yang jelas terkait dengan penggunaan media sosial dan penanganan kasus perundungan di medsos. Hal ini termasuk sanksi yang tegas terhadap pelaku perundungan di medsos dan dukungan yang tepat bagi korban. Guru dan staf perlu dilatih untuk mengenali tanda-tanda perundungan di medsos dan memberikan dukungan emosional kepada siswa yang terkena dampak. Pelatihan ini dapat membantu guru dan staf sekolah menjadi lebih siap dan efektif dalam menangani isu-isu perundungan di medsos. Sekolah juga harus mempromosikan budaya yang menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan. Terakhir, harus ada kolaborasi dengan lembaga eksternal. Semua manusia pada dasarnya memiliki perasaan yang peka terhadap bagaimana rasanya menjadi objek kata-kata kasar. Kita tidak boleh membiarkan diri kita terlibat dalam percakapan yang tidak pantas hanya karena berada di dunia maya. Hati dan perasaan kita juga memiliki batas. Kita harus menghindari perilaku yang membuat orang lain panik dan merasa tidak berguna, terutama sampai mereka membenci diri sendiri yang pada akhirnya dapat mengarah pada pilihan untuk mengakhiri hidup. Inilah sebabnya mengapa penting untuk melibatkan dunia pendidikan dalam memberantas perundungan di medsos. Oleh: Yulia Erni  Pengurus PBSI Pidie, Aceh Alumnus Guru Olahraga SSB Pidie