BERBAGAI bencana banjir dan tanah longsor mewarnai berita di media nasional dan global di sepanjang tahun 2023. Di Tanah Air, banjir lahar dingin dan tanah longsor terjadi di Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur, juga banjir di Kabupaten Seram dan Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Pun banjir di Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. Bukan hanya di Indonesia, banjir besar juga menerjang negara bagian Amerika Serikat, Vermont, yang memaksa puluhan warga dievakuasi. Selain Amerikat Serikat, New Delhi, ibu kota India, terendam banjir akibat meluapnya Sungai Lamuna. Perubahan iklim berdampak pada terjadinya bencana alam di mana-mana mulai badai topan, badai siklon tropis, banjir, endemi, kekeringan, El Nino, kelaparan, tsunami, dan berbagai bencana lainnya, yang mengakibatkan hilangnya fungsi ekosistem yang berdampak pada terjadinya bencana ekologis. Bencana terjadi akibat adanya faktor-faktor ancaman berupa fenomena alam akibat pemanasan global dan adanya kerentanan di dalam suatu masyarakat dalam menerima risiko bencana. Untuk itulah, perlu dilakukan upaya peredaman risiko bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim dan naiknya temperatur global.

Sebanyak 300 juta orang di dunia terancam peningkatan risiko banjir dan angin topan. Bappenas (2022) juga menghitung bahwa Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi hingga Rp544 triliun selama 2020-2024 akibat dampak perubahan iklim   Paris agreement Pada Desember 2015, sebanyak 195 negara termasuk Indonesia, menyepakati perjanjian iklim global yang dikenal sebagai Paris Agreement. Perjanjian ini sepenuhnya bersifat sukarela, yakni semua negara yang menyepakatinya berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dan memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2 oC, menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1,5 oC. Pemerintah Indonesia mencanangkan target dalam Nationally Determined Contribution (NDC) 2030, sekaligus net zero emmision (NZE) pada 2060. Dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89% dengan upaya sendiri dan sebesar 43,20% dukungan internasional pada 2030. Untuk melanjutkan kesepakatan itu, skema-skema perdagangan karbon global pun dilaksanakan untuk menjaga jumlah emisi karbon. Urgensi semakin tingginya frekuensi bencana alam dan dampak perubahan iklim, maka bagaimana dunia menurunkan karbon salah satunya melalui pembentukan bursa karbon.

Perdagangan karbon di dunia umumnya dilakukan melalui bursa dengan standar satuan tertentu. Indonesia memiliki potensi pasar karbon yang besar. Dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia seluas 125 juta hektare, Indonesia memiliki potensi besar memimpin pasar karbon yang diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon, tetapi belum memiliki mekanisme pasar yang terintegrasi dalam pengelolaannya. Perdagangan karbon merupakan salah satu cara untuk mengontrol emisi karbon di suatu negara. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, jika pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga US$5 atau setara Rp74.500 di pasar karbon, potensi pendapatan Indonesia mencapai 113,18 miliar ton karbon akan menjadi senilai US$565,9 miliar atau setara dengan Rp8.400 triliun. Sebagai bentuk komitmen terhadap pengendalian emisi dan mengantisipasi perubahan iklmi yang semakin ekstrem, salah satunya ialah dengan kebijakan dekarbonisasi melalui mekanisme perdagangan karbon. Perdagangan karbon melalui bursa karbon telah memiliki payung hukum dengan disahkannya UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Karbon itu akan diperdagangkan dalam bursa yang saat ini masih dirumuskan aturan mainnya. OJK, berda­sarkan UU tersebut, mendapatkan amanah untuk mengawasi penyelenggaraan bursa karbon ini.

Bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang telah mendapat izin usaha dari OJK. Perhatian pemerintah yang besar mengenai bursa karbon tecermin dalam Rapat Pemerintah Maret 2023, mengenai Optimalisasi Kebijakan Perdangangan Karbon, yakni dalam rapat diarahkan agar bursa karbon Indonesia bersifat terbuka. Namun, harus teregistrasi dan melewati mekanisme tata kelola perdagangan dalam bursa karbon di Indonesia melalui OJK. Lemhannas RI sebagai lembaga think thank pemerintah juga telah menyelenggarakan kajian urgent dan cepat (Jurpat), tentang Optimalisasi Carbon Offset Indonesia Menuju Ekonomi Hijau dan Pembentukan Tata Kelola Bursa Karbon (sumber: Setkab.go.id, Lemhanas.go.id). Aktivitas perdagangan bursa karbon di Indonesia akan dimulai pada September 2023 mendatang, OJK semula akan merampungkan regulasinya pada Juni 2023, tetapi mundur ke pertengahan atau akhir Juli 2023 karena perlu berkonsultasi dengan DPR. Konsultasi telah dilakukan dengan DPR pada 12 Juli 2023. Bursa karbon ialah sistem yang mengatur pencatatan cadangan karbon, perdagangan karbon, dan status kepemilikan unit karbon. Bursa karbon mengatur perdagangan dan mencatat kepemilikan unit karbon berdasarkan mekanisme pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon. Hal itu tercantum dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 21/2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Dalam permen itu disebutkan, pengembangan infrastruktur perdagangan karbon melalui bursa karbon dilakukan dengan pengembangan infrastruktur perdagangan karbon, pengaturan pemanfaatan penerimaan negara dari perdagangan karbon, dan/atau administrasi transaksi karbon.   Jenis pasar karbon Ada dua jenis pasar karbon, yakni pasar karbon sukarela dan pasar karbon wajib. Pada pasar karbon wajib, menurut katadata.id dan LindungiHutan.com, ialah pasar yang terbentuk karena adanya peraturan pengurangan atau pembatasan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dikeluarkan. Karena itu, tingkat aktivitasnya tergantung pada lingkup kebijakan dan lebih mudah direncanakan dalam jangka panjang. Adapun pasar karbon sukarela, mencakup semua transaksi karbon yang tidak diatur oleh pemerintah dan di luar pasar karbon yang aktif diatur oleh pemerintah. Terdapat berbagai peran untuk sektor keuangan, baik bagi pasar karbon wajib maupun karbon sukarela, dari pengembangan proyek hingga perdagangan sekunder.

Salah satu isu yang ditemukan oleh Taskforce for Scaling the Voluntary Carbon Market (TSVCM) ialah perdagangan yang kurang efisien dan tidak likuid di pasar karbon sukarela. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh heterogenitas kredit karbon dan perbedaan dalam penetapan harga. Beberapa upaya telah dilakukan melalui platform untuk menentukan harga (contoh: NatWest, NAB, CIBC) dan diharapkan dapat meningkatkan frekuensi perdagangan dan likuiditas pasar. Jadi, salah satu poin penting dalam pembentukan bursa karbon di Indonesia ialah fre­kuensi perdagangan dan likuiditas pasar yang tentunya menjadi perhatian dari pelaku pasar karbon ke depannya. Berda­sarkan riset tim BRI Danareksa Sekuritas (Falianty, Amalina, Dayo, dan Sidauruk, 2023) yang mengumpulkan beberapa contoh yang dikumpulkan dari media massa, ada beberapa perusa­haan yang telah melakukan perdagangan karbon. PT Indika Energy Tbk (NDY), mengem­bangkan solusi berbasis alam dan berfokuskan pada bisnis perke­bunan energi, jasa lingkungan, dan argoforestri melalui anak perusahaan Indika Nature (INDY).

Mereka memiliki target mengurangi karbon sebesar 550 – 600 K ton emisi, dengan meningkatkan reklamasi lahan 20% pada 2025. Pada tahun 2022, secara sukarela telah membeli kredit karbon dari proyek blue carbon terbesar dunia, yang melindungi dan memulihkan 350.000 hektare area di provinsi Sindh, Pakistan. Contoh lainya ialah PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO). PGEO membukukan pendapatan carbon credit pada 2022 sebesar US$747.000, yang dihasilkan dari dua pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang menghasilkan setara 1,7 juta ton pengurangan emisi. PT Integra Indocabinet Tbk (WOOD) yang memiliki dua konsensi hutan seluas lebih dari 163.425 hektare (ha) di kawasan Kalimantan Timur berencana ikut aktif dalam pasar perdagangan karbon melalui pengembangan segmen kehutanan sebesar Rp 250 miliar dan berharap bisa mengekspor carbon offset pada masa men­datang.   Peran dan persiapan BUMN Kementerian BUMN telah menerbitan Surat Edaran SE-6/MBU/12/2022 yang berisi Pe­laksanaan Program Dekarbo­nisasi dan Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon di BUMN Untuk Mendukung Pencapaian Target Kontribusi Nasional dan Pe­ngendalian Emisi GRK. KBUMN melakukan pemetaan inisiatif per tahun beserta rencana anggaran biaya (melalui analisis marginal abatement cost) dalam penyu­sunan Target Emisi GRK per tahun VCM BUMN, dengan mempertimbangkan kebutuhan pembelian ataupun peluang penjualan karbon dan dampak finansialnya. BUMN melakukan mekanisme perdagangan karbon sukarela (VCM) dengan meng­utamakan pelaksanaan Program Dekarbonisasi setiap BUMN. KBUMN mengarahkan agar Peta Jalan Emisi GRK dapat dituang­kan dalam RKAP dan/atau KPI Tahunan, sesuai dengan Aspirasi Pemegang Saham.

KBUMN juga mengharapkan adanya kolaborasi antar-BUMN untuk menurunkan emisi. Kola­borasi BUMN ini, ke depannya seharusnya dapat melibatkan BUMN yang relevan dalam perdagangan karbon seperti Surveyor Indonesia, PT Mutu Agung Lestari, Sucofindo, PT BKI, PT KBI, dan lain sebagainya untuk menciptakan sinergi perdagangan karbon yang terintegrasi di antara pelaku BUMN sendiri.   Peran teknologi Peraturan Presiden No 98/2021 menetapkan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI), sebagai wadah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan data dan informasi terkait aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dalam pengelolaan data dan informasi, tentunya akan dibu­tuhkan infrastruktur teknologi. Terdapat 4 jenis aksi yang dapat didaftarkan dalam SRN PPI, yakni aksi adaptasi, aksi miti­gasi, aksi Join Adapation Mitigation, dan kegiatan terkait lainnya. Aksi adaptasi meliputi ketahanan pangan, ketahanan energi, keta­hanan air, kesehatan, permu­kiman perkotaan dan pedesaan, infrastuktur. Sementara itu, Aksi Mitigasi meliputi bidang energi, tata guna lahan, alih guna lahan dan hutan pertanian, industry process and product used (PPU), dan bidang limbah.

Di negara-negara maju, pe­ngembangan dan difusi teknologi baru, khususnya teknologi terkait blockchain, membentuk praktik perdagangan di pasar kredit karbon. Meskipun penggunaan teknologi ini dalam transaksi pasar kredit karbon di tingkat global kemungkinan akan terus berkembang, itu sangat penting untuk mengatasi potensi risiko sebelum diterapkan di pasar domestik. Pemanfaatan blockchain dalam perdagangan karbon dapat mengurangi terja­dinya double counting dan me­menuhi prinsip tracability. Informasi tentang pergerakan token karbon saat diperdagangkan dapat dibuat terlihat dan dilacak, termasuk saat token itu dihenti­kan dan tidak dapat lagi ditran­saksikan. Menurut Permadi, Daihani, Ferdinal, dan Abidin (2023), saat ini belum ada negara di dunia yang menguasai ekosistem digital carbon market sepenuhnya sehingga mencip­takan peluang bagi Indonesia, terutama di pasar karbon su­karela. Dalam pembangunan ekosistem perdagangan karbon perlu dibicarakan bersama dengan seluruh pemangku kepen­tingan, termasuk BUMN dan perusahaan swasta nasional yang potensial dan memiliki kapasitas untuk menjalankan. Kelembagaan, tata kelola, dan peran setiap lembaga perlu didefinisikan dengan jelas dan perlu disepakati pembagian perannya, disertai dengan meka­nisme koordinasinya. Dalam tata kelola ini, selain pemerintah pusat diperlukan juga sinergi dengan pemerintah daerah, karena eksternalitas lingkungan banyak terjadi di daerah, dan lahan akan menyangkut daerah khususnya hutan. Aturan POJK yang akan mengatur semua ini kita harapkan mencerminkan poin-poin stra­tegis itu dan memberikan ruang bagi pengembagan pasar karbon yang aktif, likuid, dan inklusif. Aturan ini diharapkan juga me­libatkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan agar workable dan bisa memfaatkan sumber daya domestik serta memberikan nilai tambah bagi pelaku usaha domestik. Dalam bursa nantinya, perlu dipastikan mengenai kualitas dari karbon, serta pelaksanaan bursa karbon yang memenuhi prinsip carbon governance. Standar Sertifikasi Pengurangan Emisi (SPE) harus memastikan bahwa produk unit karbon memang berkualitas. Perlu adanya kepastian menge­nai harga karbon di bursa karbon domestik dan bagaimana harga karbon yang memberikan insentif bagi pelaku agar mau bertran­saksi di bursa karbon domestik. Platform dari Sistem Registri Nasional (SRN) KLHK harus ditingkatkan dengan kapasitas yang memadai karena platform ini akan menjadi pusat/hub bagi para pelaku perdagangan karbon. Terakhir tentunya diperlukan penegakan hukum dan insentif. Penegakan hukum yang kuat disertai dengan insentif, akan memberikan jalan bagi langkah awal penciptaan ekosistem perdagangan karbon yang kon­dusif dan inklusif untuk segera mencapai target penurunan karbon nasional. Penurunan karbon nasional, sangat diperlu­kan untuk memastikan agar kita dapat memperbaiki lingkungan dan mengurangi terjadinya peru­bahan iklim ekstrem. Oleh: Telisa Aulia Falianty Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dan Senior Advisor Bidang Ekonomi BRI Danareksa Sekuritas. (*)