AMBON, Siwalimanews – Pemkot Ambon dinilai tak punya itikad baik untuk membahas masalah lahan TPA dan instalasi pengo­lahan sampah terpadu (IPST) Toisapu, Kecamatan Leitimur Selatan.

Enne Kailuhu, pemilik la­han melalui kuasa hukum­nya Edward Diaz menga­takan, sejak pertemuan ta­nggal 8 Oktober lalu ber­sama pemkot, hingga kini kini belum ada titik terang untuk pembayaran lahan TPA dan IPST.

“Hasil pertemuan bebe­rapa minggu kemarin belum ada koordinasi untuk infor­masi lanjutan dari Peme­rintah Kota Ambon. Ini kan menyangkut lahan yang dipakai untuk membuang sampah, jadi kami minta solusi untuk IPST bisa di­bicarakan bersama,” tan­das Edward Diaz kepada  Siwalima, Senin (9/11).

Apabila tidak ditindaklanjuti oleh pemkot, pemilik lahan mengancam akan kembali menutup akses jalan ke TPA.

“Pemerintah kota belum juga me­nunjukan transparansi terkait de­ngan proses pembayaran lahan, makanya jangan salahkan kami jika kami menutup lahan IPST dan TPA Toisapu,” ujar Diaz.

Baca Juga: Stok Pangan Natal dan Tahun Baru Aman

Dikatakan, pemilik lahan mem­butuhkan kepastian terkait persoa­lan lahan TPA dan IPST Toisapu. Oleh­nya pemkot harus secepatnya mela­kukan koordiansi untuk mem­bicara­kan persoalan ini. “Walikota jangan terlalu umbar janji manis kepada pemilik lahan, tapi sampai sekarang tidak terealisasi,” tandas Diaz.

Tutup Lahan

Seperti diberitakan, pemilik lahan terpaksa menutup lokasi IPST dan TPA di Dusun Toisapu, Desa Hutu­muri, Kecamatan Leitimur Selatan, Rabu (7/10).

Langkah ini dilakukan, karena Pemkot Ambon melanggar perjanjian damai sesuai putusan Pengadilan Negeri Ambon Nomor 269/Pdt.G/2019/PN Amb tertanggal 2 Juli 2020. Somasi sudah dilakukan oleh ahli waris, namun dicuekin oleh pemkot.

Penutupan lokasi IPST itu dila­kukan oleh Enne Yosephine Kailuhu, selaku ahli waris dari almarhum Johan Urbanus Kaliluhu bersama tim kuasa hukum keluarga Kailuhu.

Mereka memasang rantai pada palang besi pintu masuk ke lokasi pembuangan akhir sampah dan IPST dan mengemboknya.

Kuasa hukum ahli waris lainnya, Daniel Manuhutu mengatakan, berdasarkan perjanjian perdamaian antara tuan tanah dengan Pemkot Ambon pada Pasal 6 menyebutkan, ada itikad baik dari Pemkot Ambon melakukan appraisal untuk penye­lesaian 10 hektar lahan.

Selanjutnya, dalam perjanjian kontrak pengadaan tanah antara ahli waris dengan Pemkot Ambon pada pasal 2 point 2 dijelaskan, sebagai itikad baik dari Pemkot Ambon untuk penyelesaian tambahan lahan 10 hektar, pemkot membayar DP atau uang muka untuk lahan seluas 1 hektar senilai Rp. 660 juta dipotong pajak 10 persen atau 60 juta sehi­ngga tuan tanah hanya menda­patkan 600 juta.

Proses pembayaran DP ini me­nurut kuasa hukum, maladminsitrasi karena tuan tanah dibayar dengan uang cash dan kwitansi yang di­gunakan adalah kwitansi pasar serta bukti setoran pajak tidak diberikan kepada tuan tanah. Penentuan nilai Rp 660 juta untuk 1 hektar lahan sebagai DP dari 10 hektar itu juga dilakukan Pemkot Ambon secara sepihak.

“Tidak ada itikad baik dari Pemkot Ambon, padahal kami sudah me­nyurat dan somasi tapi sampai detik ini tuan tanah tidak diundang,” ujar Manuhutu.

Ia menegaskan, lokasi pembua­ngan sampah ini tidak akan dibuka hingga Pemkot Ambon mengundang ahli waris selaku tuan tanah dan menentukan batas waktu kapan appraisal dijalankan.

Pasca penutupan TPA dan IPST di Toisapu, mengakibatkan belasan mobil truk sampah parkir berjejer di depan pintu masuk TPA dan IPST.

Pantauan Siwalima, Kamis (8/10), sejak pukul 07.40 WIT, satu per satu mobil truk sampah mulai berdata­ngan untuk membuang sampah di TPA, namun mobil-mobil tersebut hanya bisa parkir di depan pintu masuk, karena jalan masuk TPA dipalang oleh pemilik lahan, Enne Yosephine Kailuhu.

Hingga pukul 10.00 WIT, nampak belasan truk sampah hanya bisa ber­jejer dengan tumpukan sampahnya.

Pasca penutupan itu, pemkot pusing dan buru-buru mengundang pemilik lahan untuk melakukan pertemuan. Usai pertemuan, Wali­kota menyampaikan pernyataan mengejutkan, kalau areal TPA dan IPST adalah hutan lindung. (Cr-5)