TANGGAL 27 Juli 2022, saya diminta oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lumajang untuk mendampingi para siswa madrasah sanawiah se-Kabupaten Lumajang dalam kegiatan Sekolah Moderasi Beragama. Tidak seperti biasa, kegiatan ini berlangsung di Pure Mandara Giri Semeru Agung. Saya menyimak paparan Kepala Kemenag Lumajang Muhammad Muslim yang telah menyusun program aksi perubahan, yaitu pengarusutamaan moderasi beragama di kalangan siswa madrasah. Para siswa yang tergabung sebagai penggerak moderasi beragama di Kabupaten Lumajang akan melakukan dialog dengan pemimpin lintas agama, yakni ulama, kiai, habib, romo, uskup, pendeta, pandita, dan istilah sebutan lainnya untuk para pemimpin agama. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Gerakan Siswa Moderat (GSM) Kementerian Agama Kabupaten Lumajang, yang telah mendapatkan apresiasi dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

Kementerian Agama Kabupaten Lumajang bergerak mengamini arahan Gus Men, sapaan akrab Menag Yaqut Cholil Qoumas, bahwa insersi nilai moderasi beragama seharusnya berlangsung dari tahapan yang paling dini dalam keluarga dan juga lembaga pendidikan. Pelibatan generasi milenial dalam penguatan kerukunan umat beragama menjadi keniscayaan, untuk terus merawat keberlangsungan harmoni keberagamaan. Hemat saya, program GSM di Kabupaten Lumajang ini menjadi contoh penguatan kerukunan umat beragama, dengan melakukan dialog lintas agama di tingkat lokal. Tidak ada alergi untuk terus menjalin interaksi sosial demi merajut rekoneksi damai. Saya kemudian teringat pada inisiasi dialog dan perajutan perdamaian tingkat global. Inisiasi itu dilakukan Kementerian Agama RI dengan mengundang dua pemimpin agama terkemuka di dunia, yaitu Paus Fransiskus dan Grand Syaikh Al-Azhar Ahmed Al-Tayyeb untuk hadir ke Indonesia, melihat realitas keberagaman Republik ini. Awal Juni 2022, Gus Men Yaqut Cholil Qoumas hadir langsung ke Vatikan untuk menyampaikan undangan Presiden Jokowi kepada Paus Fransiskus. Sebagaimana informasi pada laman resmi Kementerian Agama, dua tokoh ini akan menjadi keynote speaker dalam event mimbar akademik kajian keislaman Indonesia, yang dikenal dengan Annual International Conference on Islamic Studies-AICIS (Konferensi Internasional Tahunan Kajian Islam) ke-21 yang direncanakan di Bali pada November mendatang. Tentu, momentum ini sangat relevan berlangsung dalam pergelaran ajang penyegaran pemikiran bagi para peminat kajian akademik dari pelbagai latar mazhab pemikiran, aliran, dan pendekatan.

Kolaboratif-produktif Sepak terjang dari dua sosok pemimpin agama itu menjadi magnet tersendiri bagi Indonesia. Keduanya memiliki kontribusi besar dalam upaya menjaga dan melestarikan perdamaian dunia. Dua tokoh ini menjadi inspirasi, sekaligus refleksi bersama bagaimana komitmen dan upayanya untuk terus membangun dan memperkuat harmoni kebera­gamaan. Paus Fransiskus menyebut manusia sebagai makhluk relasional, yang memiliki kewajiban untuk terus merajut tali persaudaraan. Hidup berdampingan antarpemeluk agama secara damai tanpa fanatisme dan egoisme, menjadi impian Fransiskus dalam setiap pesannya yang selalu mendengungkan, bahwa fungsi agama untuk kemanusiaan (religion for humanity). Paus juga memberikan pesan bahwa politik yang baik ialah politik yang membawa pada layanan perdamaian. Sementara itu, Grand Syaikh Al-Azhar Ahmet Al-Tayyeb juga memiliki konsen yang begitu kuat dalam menancapkan sikap perdamaian. Ahmet Al-Tayyeb senantiasa menggelorakan perbaikan citra Islam di panggung internasional akibat ulah dan perilaku oknum yang bertindak radikal, ekstrem, penuh teror, menjadi Islam rahmatan lil alamin.

Al-Tayyeb menjadi pemuka agama terkemuka di dunia, dengan kontribusinya menguatkan toleransi, mengarusutamakan moderasi, dan merawat nilai-nilai global, serta menolak ekstremisme radikal. Dua sosok ini telah memainkan peranan penting dalam gagasan, sekaligus tindakan untuk menjahit ikatan perdamaian. Keduanya telah menanda­tangani the document on human fraternity for world peace and living together (dokumen tentang persaudaran manusia untuk perdamaian dunia dan hidup bersama), pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi.

Dua pemuka agama ini telah membentangkan arah dialog antarumat beragama, sekaligus membuka lebar proyeksi strategi damai pada altar ikatan toleransi, dalam panggung sejarah peradaban dunia. Dua pemimpin agama ini telah melahirkan kampanye prokeragaman yang sifatnya kolaboratif-produktif dengan prinsip egalitarian. Prinsip kolaboratif-produktif ini berkelindan dalam satu pertautan kehidupan harmoni untuk membangun koeksistensi masyarakat tanpa hambatan (barrier-free society). Perjumpaan antara gagasan dan tindakan mengantarkan pada komitmen untuk merawat nilai-nilai kemanusiaan, sesuai dengan peran agama sebagai inspirasi yang memberi rahmat.

Baca Juga: Bersih di Dalam, Bersinar Keluar

Harmoni keberagamaan Pertanyaan yang muncul, apa signifikansi kehadiran dua tokoh pemimpin agama terkemuka di dunia ini untuk Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu banyak argumen yang bisa diajukan. Setidaknya ada dua. Pertama, dalam konteks merajut harmoni keberagamaan. Kehidupan yang kompleks di Republik ini, dengan segala kontestasi dan kompetisi, perlu diimbangi dengan upaya kesadaran multikultural atas keragaman yang melimpah, etnik, suku, agama, bahasa, budaya, dan lainnya. Kita beruntung dengan modal sosial-intelektual yang ada, realitas keberagamaan di Republik ini jauh berbeda dengan realitas kehidupan keberagamaan di Timur Tengah, yang menyisakan luka dan derita berkepanjangan. Kepercayaan pada institusi publik berjalan pada ritme ketatanegaraan sesuai peraturan perundang-undangan, menjadi kekuatan kolektif dengan mentalitas yang terarah. Keberadaan organisasi kemasyarakatan (ormas) seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, serta ormas lainnya sebagai penyangga pilar Islam moderat juga menjadi modal sosial, untuk memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, mencerdaskan kehidupan keberagamaan, dan secara umum merawat kebangsaan. Harmoni keberagamaan ini menjadi potret yang bisa ditunjukkan kepada dunia.

Perjalanan panjang merawat kebinekaan ini dapat menjadi inspirasi bagi keberlangsungan para pemuka agama dunia untuk terus berkontribusi. Republik ini didirikan sebagai rumah bersama yang membentangkan secara luas ikatan persaudaraan dalam tali rajutan kebersamaan. Sebagaimana disebut Munawir Aziz dalam bukunya Merawat Kebinekaan: Pancasila, Agama, dan Renungan Perdamaian (2017), pijakan tradisi Nusantara bersendi pada kebinekaan. Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan selebrasi keragaman, sekaligus menjadi semangat keindonesiaan dan kebangsaan. Sementara itu, merawat kebinekaan merupakan kunci penting untuk merawat perdamaian, yang dapat menjaga martabat kemanusiaan. Kedua, dalam konteks kelindan antara tahun toleransi dan tahun politik. Kementerian Agama telah mencanangkan 2022 ini sebagai tahun toleransi. Tahun toleransi, perlu ditegaskan untuk memastikan kehidupan umat beragama yang rukun, damai, dan toleran sekaligus sebagai konsolidasi budaya untuk merekatkan solidaritas kemanusiaan. Tahun toleransi ini beririsan dengan tahun politik 2024. Sebagaimana jamak diketahui, kita akan menghadapi perhelatan politik pada 2024. Pemilihan umum (pemilu) presiden dan wakil presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg), akan berlangsung pada Juni 2024. Sementara itu, pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota serentak di seluruh daerah pada November 2024. Para elite politik, seyogianya ber­kaca pada suburnya segregasi sosial dan mobilisasi intoleransi. Khususnya, yang berlangsung pada Pilgub DKI Jakarta 2017 dan berlanjut pada Pilpres 2019. Mar­cuz Mietzner dan Burhanuddin Muhtadi telah menggambarkan dengan cukup komprehensif dalam artikelnya The Mobilisation of Intolerance and Its Trajectories: Indonesian Muslims Views of Religious Minorities and Ethnic Chinese pada buku Contentious Belonging: The Place of Minorities in Indonesia (ISEAS, 2019), tentang trajektori sentimen agama-rasial dalam pergelaran pemilu yang menyuburkan into­leransi. Eksklusivisme beragama justru dikonsolidasi untuk menyerang pihak lawan hanya untuk kemenangan pragmatis elektoral. Untuk itu, diperlukan upaya bersama seluruh lapisan masyarakat, untuk meminimal­kan potensi politik identitas yang mengeksploitasi agama sebagai saluran meraih kemenangan elektoral.

Polarisasi terbentuk dua arah akibat lahirnya tiga kebencian akut, yaitu sinisme, penghakim­an, dan kepungan mentalitas. Jika ini tidak diantisipasi sejak awal, tesis Heiner Bielefeldt dan Michael Wiener dalam Religious Freedom Under Scrutiny (2020) tak bisa terhindarkan. Bielefeldt dan Wiener menyebut bahwa mentalitas kesempitan berpikir dapat meracuni hubungan an­tarumat beragama, yang pada gilirannya akan mendorong eska­lasi kekerasan. Dalam per­jalanan sejarahnya, Republik ini telah dengan sangat kuat menjaga to­leransi dan perdamaian antar­umat beragama, termasuk men­jaga ratusan umat agama lokal. Indonesia, menjadi laboratorium kehidupan yang mencerminkan kepedulian, baik individu maupun kolektif. Apa yang menjadi kekhawatiran Paus Fransiskus tentang merebaknya fenomena globalisation indifference yang dapat dimaknai sebagai krisis solidaritas, hal itu perlahan bang­kit dengan wajah optimistis dalam membangun koeksistensi an­tarumat beragama. Kehadiran dua pemimpin agama terkemuka ini dapat menjadi modal untuk terus menumbuhkankesadaran multikultural. Kesadaran multi­kultural dapat menjadi inspirasi rajutan perdamaian dunia, dengan menjadikan Republik ini sebagai barometer kehidupan keberaga­ma­an yang rukun dan harmoni dalam kebinekaan, penuh dengan sikap toleran, mengedepankan dialog, dan menghargai perbe­daan.

Dialog Kementerian Agama sebagai leading sector pengar­usu­tamaan moderasi beragama telah menetapkan peta jalan lima tahun ke depan. Gerakan ini telah berjalan masif, mulai pusat hingga ke daerah-daerah di wi­layah kabupaten/kota Kemenag se-Indonesia. Termasuk juga di perguruan tinggi keagamaan, pondok pesantren, madrasah, serta satuan lembaga pendidikan lainnya. Masifnya gerakan ini tidak luput dari kebijakan Gus Men yang menempatkan mode­rasi beragama sebagai salah satu program prioritasnya. Gus Men menyadari bahwa tantangan keberagamaan di Republik ini masih diselimuti sikap dan cara pandang yang mengedepankan absolutisme. Implikasinya, pertikaian, permusuhan, pela­belan, dan permusuhan terba­ngun saat melihat orang lain berbeda. Ujung dari semua ini kemudian lahir segregrasi sosial, hoaks, dan ujaran kebencian, yang menyisakan konflik me­numbuhkan intoleransi produktif. Kiranya, perjumpaan damai dengan rekoneksi di tingkat global, nasional, dan lokal, dapat menjadi jembatan awal untuk mencipta kembali rajutan tali perdamaian (peaceful) dalam ikatan toleransi dan kerukunan. Inisiasi Gerakan Siswa Moderat (GSM) di Kabupaten Lumajang dengan berdialog bersama tokoh lintas agama, serta inisiasi untuk menghadirkan dua pemimpin agama terkemuka di dunia men­jadi serpihan optimisme untuk terus merajut perdamaian dan kerukunan. Dialog menjadi kunci untuk memahami pihak lain (others), tanpa memaksakan keya­kinan pribadi atau kelompoknya untuk diikuti orang lain.

Sementara ini, yang belum optimal atau bahkan absen dari rajutan kerukunan umat ber­agama ialah dialog lintas iman (interfaith dialogue). Harus diakui, persoalan krusial di Republik ini yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama terletak pada keengganan untuk melakukan dialog, dengan menempatkan kebebasan dan kesetaraan dalam ikatan yang sama.

Meminjam istilah Immanuel Kant, gagasan tentang hak lahir (birthright), ke­bebasan membutuhkan kese­taraan dalam jaminan kebebasan untuk berpendapat, dan menge­depankan jalan dialog. Tidak ada agama yang haus darah. Pun, juga tidak ada ajaran agama yang menebarkan konflik dan derita berkepanjangan. Setiap agama tidak pernah memaksakan ke­hendak dengan jalan kekerasan. Yang ditempuh ialah jalan per­damaian sehingga interaksi dengan komunitas agama lain bukanlah suatu hal keburukan. Perwujudan dari toleransi perlu diterjemahkan dalam gagasan dan tindakan, untuk diterapkan agar dapat menjaga persatuan dan kesatuan dalam kehidupan sosial. Oleh: Wildani Hefni Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember  (*)