JAKARTA, Siwalimanews – Uji klinik vaksin Sinovac telah masuk fase III dan selesai melakukan penyuntikan kepada seluruh sukarelawan yang dikerjakan di center Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad).

Pendampingan yang dilakukan BPOM sejak pengembangan protokol uji klinik dan inspeksi pelaksanaan uji klinik untuk memastikan mutu vaksin COVID-19 dilakukan inspeksi kesiapan fasilitas produksi baik di Cina maupun di Bio Farma.

Uji klinik merupakan tahapan penting guna mendapatkan data efektivitas dan keamanan yang valid untuk mendukung proses registrasi vaksin Covid-19.

Sejauh ini tidak ditemukan adanya reaksi yang berlebihan atau serious adverse event yang ditemukan selama menjalankan uji klinik fase III di Unpad.

Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Prof Hindra Irawan Satiri menjelaskan, perkembangan vaksin Covid-19 sudah masuk uji fase III, tinggal menunggu laporan dari Brazil, China, Turki, dan Indonesia, setelah laporan selesai barulah keluar izin edarnya.

Baca Juga: Menkes Sebut Vaksinasi akan Melalui Dua Skema

“Jadi untuk mendeteksi dan mengkaji apakah ada kaitannya imunisasi dengan KIPI ada ilmunya, yang disebut Farmakovigilans. Tujuannya untuk meningkatkan keamanan, meyakinkan masyarakat, sehingga memberikan pelayanan yang aman bagi pasien dan memberikan informasi terpercaya” jelas Prof Hindra dalam acara Dialog Produktif yang mengusung tema Keamanan Vaksin dan Menjawab KIPI yang diselenggarakan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, seperti yang dilansir covid19.go.id, Kamis (19/11).

Menurutnya, semua fase-fase uji klinik vaksin memiliki syarat yang harus dilakukan dan semua syarat harus terpenuhi barulah boleh melanjutkan ke fase berikutnya.

Namun dalam keadaan khusus, seperti pandemi Covid-19, proses dipercepat tanpa menghilangkan syarat-syarat yang diperlukan. Semua proses ini pun didukung oleh pembiayaan dan sumber daya yang dibutuhkan, sehingga proses-proses yang lebih panjang dalam penemuan vaksin bisa dipersingkat.

“Saya tidak setuju terminologi anti vaksin, masyarakat sebenarnya masih mis konsepsi, artinya pengertian masyarakat belum mantap karena mendapat keterangan dari orang-orang yang kurang kompeten atau bukan bidangnya. Kita perlu mendapatkan informasi dari sumber-sumber terpercaya seperti organisasi profesi dan kesehatan terpercaya. Jangan dari situs yang tidak jelas, dari grup WhatsApp, itu yang membingungkan masyarakat,” ujarnya.

Menjawab beragam mitos yang beredar di masyarakat, ia berpendapat di masyarakat beredar mitos yang mengatakan vaksin mengandung zat berbahaya. Hal ini tidak benar, karena tentu saja kandungan vaksin sudah diuji sejak pra klinik.

Sebenarnya vaksin tidak berbahaya, namun perlu diingat vaksin itu produk biologis. Oleh sebab itu vaksin bisa menyebabkan nyeri, kemerahan, dan pembengkakan yang merupakan reaksi alamiah dari vaksin.

“Jadi memang kita harus berhati-hati mengenai mitos-mitos terkait KIPI ini,” ujarnya.

Apabila ditemukan KIPI, sebenarnya semua masyarakat bisa melaporkan ke Komnas KIPI melalui situs, www.keamananvaksin.kemkes.go.id. Komnas KIPI sendiri merupakan Lembaga yang terbentuk sejak 2007 yang beranggotakan para ahli independen, dengan kompetensi dan keilmuan terkait vaksinologi.

Bahkan untuk menjangkau wilayah Indonesia yang luas, telah terbentuk Komite Daerah KIPI di 34 Provinsi.

“Yakinlah keamanan vaksin itu dipantau sejak awal. Bahkan setelah vaksin diregistrasi, tetap dipantau dan dikaji keamanannya,” tuturnya.

Ia meyakini, selain Covid-19, masyarakat saat ini dihadapkan pula dengan informasi keliru yang tidak disikapi dengan bijak.

“Musuh kita cuma satu yaitu virus. Musuh kita adalah musuh bersama, untuk melawannya kita harus bekerja sama agar upaya-upaya jadi efektif dan tidak mementingkan diri sendiri. Cobalah bijak bersosial media dengan memilah-milah mana yang bisa dibagikan dan dipertanggungjawabkan, mana yang harusnya kita hapus. Jangan sampai meresahkan masyarakat, kalau kita bersatu InsyaAllah dalam waktu yang tidak terlalu lama pandemi ini bisa kita taklukan”, tutupnya.(Cr-5)