AMBON, Siwalimanews – Sudah tiga kali dalam waktu yang sangat de­kat, masyarakat nekad me­ram­pas jenazah yang divonis Covid-19.

Kasus pengambilan paksa jenazah Covid-19 oleh keluarga, kembali terjadi. Tak tanggung-tanggung, kali ini kasusnya terjadi di Rumah Sakit Tingkat III dr J Latumeten, alias Rumah Sakit Tentara, Kamis (15/7).

Peristiwa pengambilan paksa jenazah pasien yang belakangan diketahui berinisial FF (64), berjenis kelamin perempuan ini, dikarenakan keluarga almar­hum­ah menuding pihak RST dr J Latumeten telah membohongi publik terkait hasil PCR ibu mereka.

Sebagaimana dilan­sir Siwali­manews, MF anak almarhumah mengaku, kesal terhadap pela­yanan pihak RST yang dini­lainya kurang manusiawi, bah­kan tidak jujur saat merawat pasien.

Saya nilai pihak RST Latumeten tidak jujur dalam merawat pasien, sehingga kami dari pihak keluarga tidak mengakui, kalau ibu kami meninggal akibat terpapar Covid-19,” ujarnya saat ditemui di rumah duka, kawasan Kuda Mati.

Baca Juga: Dinkes: Insentif Nakes 2021 Sementara Verifikasi

Ia menuturkan, sewaktu masuk UGD, tim medis dari pihak RST tidak mau menangani ibu mereka, sebelum dilakukan swab dan rapid antigen, untuk itu mereka minta persetujuan keluarga, sebab jika tidak dilakukan, tim medis tak mau menangani ibu mereka.

“Lantaran itu, kami dari pihak ke­luarga setuju untuk dilakukan swab dan rapid antigen, dimana hasilnya keluar non reaktif atau negatif. Sehingga tidak benar ada hasil PCR yang menyatakan ibu saya Covid-19,” ucapanya.

Dijelaskan, pihak keluarga sendiri dikagetkan dengan informasi yang disampaikan oleh salah satu suster kepala yang melihat kondisi almar­humah dan langsung menyampai­kan, bahwa ibu  kami terpapar Covid-19.

“Saat itu beta tanya, ibu tahu beta mama gejala Covid-19 dari mana, dan suster itu jawab dari hasil PCR. Lalu beta minta buktinya, tetapi mereka bilang hasilnya belum keluar, yang ada itu ibu kami positif diketahui ber­dasarkan keterangan via Whats­App. Ini maksudnya apa?” heran MF.

Untuk itu, pihak keluarga kata dia, menuding pihak RST sudah mela­kukan pembohongan publik, sebab tidak ada swab ulang yang dilaku­kan oleh pihak rumah sakit .

“Mengapa demikian, sebab tidak ada bukti dari rumah sakit lakukan swab PCR lain, selain saat berada di UGD dan itu keluarga jadi saksinya, bahwa tidak ada petugas yang laku­kan swab PCR selain di UGD,” te­gasnya.

Ia mengaku, ibunya masuk RST pada, Minggu (11/7). Yang membuat keluarganya heran yakni, ada hasil PCR lain keluar saat ibu mereka me­ninggal. Pasalnya, yang pihak ke­luar­ga tahu, swab sekaligus rapid antigen itu dilakukan sewaktu be­rada di UGD dan hasilnya non reaktif alias, negatif.

Yang paling disesali pihak keluarga lagi yakni, saat menjalani perawatan, pihak keluarga  sudah minta obat dari dua hari sebelumnya, namun sampai dengan disaat-saat terakhir ibunya hendak meninggal, baru pihak rumah sakit memberi obat, apa itu tidak disengaja.

“Mereka berikan obat pil, padahal kondisi ibu saya sesak nafas dan harus minum obat cair. Saya sudah berulang kali meminta ke suster, tetapi tidak dikasih. Saat ibu saya sudah mau putus nafas baru di kasih obat, sampe ibu saya makin se­sak nafas, bantuannya hanya le­wat oksigen dan selama empat hari di ruangan, hanya satu kali dapat obat minum, itupun minum obat yang digiling oleh saya,” tuturnya.

Kami dari pihak keluarga menilai ini kekeliruan yang dibuat, untuk itu pihak rumah sakit harus memberikan klarifikasi atas kejadian ini, jangan meresahakan kami dari pihak keluarga,” harapnya.

Mengetahui ada masyarakat yang merampas jenazah Covid-19, pemkot mengutus Lurah Kuda Mati, Aldo Dutubun untuk melakukan mediasi bersama pihak keluarga.

Namun kedatangan lurah bersama babinsa tak digubris pihak keluarga, yang ngotot akan memakamkan orang tuanya seperti layaknya orang meninggal biasa.

Sedangkan  Kapendam Pattimura Letkol Arm Adi Prayoda saat dikon­firmasi Siwalimanews melalui tele­pon selulernya, membanrakan ada ke­jadian tersebut, namun secara de­tail peristiwa itu, baru akan diklari­fikasikan  oleh pihak RST, Jumat (16/7) besok.

Sebelumnya, diketahui masyarakat mengambil paksa jenazah yang terkonfirmasi Covid-19, di RSUD dr M Hau­lussy, Rabu (7/7), dima­na puluhan keluarga mengamuk dan mengambil pak­sa jenazah pasien Covid-19 berinisial AO.

Paet, ayah almarhum AO meng­ung­kapkan, pihak keluarga awalnya tidak menerima anak mereka divonis positif Covid-19, lantaran almarhum masuk RSUD dengan keluhan sakit ginjal dan diharuskan melakukan cuci darah setiap dua minggu sekali.

Menurutnya, saat divonis Covid-19, keluarga sempat mengamuk, namun akhirnya menerimannya dan bersedia untuk memakamkan almar­hum dengan protokol Covid.

Namun, hingga keesokan harinya pukul 08.00 tak ada satupun petugas ataupun tenaga medis yang datang memperhatikan jenazah almarhum. Bahkan tambahnya, pihak RSUD melalui salah satu tenaga medis me­minta agar keluarga yang meng­angkat sendiri janazah almarhum untuk dipindahkan.

Tak tahan dengan perlakuan petu­gas RSUD Haulussy, keluarga pun emosi dan mengamuk, sehingga langsung masuk dan mengambil jenazah almarhum untuk dimakam­kan oleh keluarga.

Namun, perkara tidak berhenti sampai di situ. Sekitar pukul 09.00 WIT, aparat kepolisian dari Polresta Ambon tiba di lokasi kejadian dan langsung menghadang mobil angkot yang akan membawa jenazah almarhum.

Mendapat hadangan polisi dan pe­tugas, keluarga menjelaskan duduk perkaranya kepada pihak kepolisian, karena mereka merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak RSUD.

“Bapak bayangkan kalau kita punya anak ini Covid, masa perawat RSUD minta tolong kita angkat jenazah anak kita, ini sama sekali tidak masuk logika,” ucap salah satu paman korban saat berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan Satpol PP Provinsi Maluku.

Bahkan sang ayah almarhum di depan aparat kepolisian dan Satpol PP minta agar jenazah anaknya di­bawah pulang untuk dimakamkan keluarga dan sebagai penggantinya jika ini melanggar hukum ia bersedia untuk ditahan.

“Kalau bapak aparat dong mau tahan saya, silahkan saya bersedia, yang penting jenazah anak saya di­bawah pulang untuk dimakamkan oleh keluarga. Saya bersedia buat surat pernyataannya,” ucap ayah almarhum.

Lantaran kesal tak dilayani pihak RSUD, maka sekitar pukul 10.15 WIT, pihak kepolisian pun membuka akses jalan dan keluarga kemudian mambawa jenazah almarhum pulang ke rumah duka di kawasan Kayu Putih, Desa Soya, Kecamatan Siri­mau, dengan menggunakan mobil minibus jenis Toyota Avansa.

Tak satupun pejabat RSUD yang mau mengomentari kejadian peram­pasan jenazah ini.

Siwalimanews yang menemui Kabag Humas RSUD untuk dimintai klarifikasinya, malah balik meng­arahkan ke pelaksana harian dirut RSUD. “Nanti dengan Plh Dirut saja yah,” ucap sang kabag sambil memebrikan nomor kontak dr Mila.

Namun lagi-lagi, sang Plh enggan mengomentari peristiwa ini, malah mengarahkan untuk menemui juru bicara RSUD.

Rampas Jenazah

Dua hari sebelumnya, Senin (5/7) malam, ratusan warga Benteng, Ke­camatan Nusaniwe, ramai-ramai menghalang kedatangan tim gugus tugas Covid-19, yang hendak meng­ambil salah satu jenazah warga Benteng, untuk dimakamkan dengan protokol Covid.

Kejadian itu yang terjadi sekitar pukul 22.45 WIT, saat tim gustu bersama mobil ambulance datang hendak mengambil jenazah GTL, yang oleh keluarga sudah dimasu­kan ke dalam peti jenazah.

GTL meninggal dunia usai menja­lani perawatan medis di RS dr Latumeten. Setelah meninggal, pi­hak rumah sakit kemudian melakukan uji swab untuk memastikan kondisi jenazah.

Setelah menunggu sekitar enam jam, hasil uji Swab jenazah GTL tak kunjung keluar. Keluarga kemudian berkoordinasi dengan pihak rumah sakit dan bersepakat untuk memu­langkan jenazah GTL ke rumah duka, di kawasan Benteng.

Jemmy, salah satu warga Benteng kepada Siwalimanews mengaku, pihak keluarga dan warga sekitar baru diberitahu sekitar pukul 21.00, kalau jenazah GTL positif Covid.

“Gustu nih karja paling ancor. Masa dari pagi sampe malam baru dapa hasil,” kesalnya.

Karenanya, warga tidak yakin akan hasil kerja Gustu yang terkesan tak profesional itu.

Warga yang kesal kemudian meng­halangi upaya tim Gustu yang datang mengenakan hazmat APD lengkap. Ratusan warga tumpah ruah ke jalan raya, sambil meneriaki tim gustu.

Situasi kian memanas lantaran warga mengancam akan membakar mobil ambulance jika tidak segera meninggalkan lokasi.

Karena kalah jumlah, tim gustu kemudian mengalah dan memilih meninggalkan lokasi.

Siang hari menjelang pemakaman GTL, Sekot AG Latuheru datang dan meminta pengertian warga agar jenazah GTL bisa dimakamkan de­ngan protokol Covid.

Keluarga bersedia tapi dengan syarat, jenazah GTL harus keluar dari rumah duka, setelah didoakan oleh warga dan jemaat setempat.

Syarat berikutnya adalah, jenazah GTL harus dimakamkan di pemaka­man umum Benteng, bukan di pe­makaman khusus Covid, di Desa Hunuth.

Tidak Dipercaya

Kuat dugaan peristiwa rebutan jenazah pasien Covid-19, terjadi lantaran rendahnya tingkat ke­per­cayaan publik terhadap pola pe­nanganan pasien, yang  dila­ku­kan satgas Covid-19.

Staf pengajar Ilmu Hukum dari Universitas Pattimura, George Leassa menilai, persoalan yang terjadi memang dikarenakan ada ketidak­per­cayaan masyarakat karena trans­paransi soal kesehatan itu yang tidak jelas. “Memang ada ketidak­perca­yaan dari masyarakat karena transparansi soal kesehatan itu yang tidak jelas,” ungkap Leassa.

Dijelaskan, ketidak transparan­si satgas ini terjadi karena dari penga­laman yang ada menurut cerita mas­yarakat ada yang masuk dengan pe­nyakit lain tetapi saat masuk semua dialihkan kepada  Covid-19 itu.

Tak hanya itu, katanya, banyak ceri­tera berkembang di luar kalau akibat dari klaim BPJS yang begitu besar yang dikaitkan dengan pena­nganan pasien Covid-19, menjadi bumbu penyedap dalam kasus tersebut.

“Kalau cerita masyarakat ini benar maka rumah sakit jangan begitu, ini salah,” tegasnya.

Mantan Dekan FH Unpatti ini meminta seluruh persoalan ini harus dijawab oleh satgas, sehingga masyarakat percaya bahwa benar ketentuan tentang Covid-19 yang harus dipatuhi.

Saat ini, lanjut Leasa, semua ele­men masyarakat sementara meng­hadapi pandemi, tetapi masyarakat juga tidak merasa bahwa apa yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan su­dah transparan sehingga keperca­yaan masyarakat dan respon dari ketidak percayaan itu terjadi seperti saat ini dengan perampasan jenazah.

Satgas Covid-19, kata Leassa tidak boleh sekedar hanya sebuah lem­baga untuk menangani Covid-19 semata, tetapi persoalan sosialisasi kepada masyarakat juga perlu sehi­ngga masyarakat mengetahui secara pasti. Apalagi persolan Covid-19 sudah hampir dua tahun tetapi tingkat kepercayaan publik terhadap satgas Covid-19 justru menurun.

“Saya takut justru pemerintah me­miliki keinginan baik tetapi keingi­nan itu tidak didukung oleh mas­yarakat karena tidak ada transpa­ransi itu,” bebernya.

Leasa berpendapat, masalah kese­hatan merupakan masalah pribadi, tetapi jika telah menjadi pandemi maka itu menjadi masalah umum. “Artinya, menetapkan seseorang sebagai pasien Covid-19 itulah yang menjadi persoalan utama ketika masyarakat ada yang masuk lalu didiagnosa sebagai pasien covid-19,” lanjutnya.

Ditambahkan, jika persoalan yang ada tidak dijelaskan satgas kepada masyarakat, maka apapun yang dilakukan oleh satgas, tidak akan dipercaya dan perampasan jenazah pasien Covid-19 akan terjadi terus-menerus. (S-51/S-32)