Perempuan dan politik adalah sesuatu yang memiliki korelasi tidak linier, karena bidang politik adalah ranah “tabu” bagi perempuan karena dianggap “tidak ramah’ terhadap eksistensi perempuan.

Padahal regulasi telah dibuat untuk dapat mendukung perempuan sebagai pelaku dalam dunia politik.

Dalam UU No.2 Tahun 2011

Tentang Perubahan Atas UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengatur bahwa partai politik harus menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat dan di tingkat daerah.

Dalam UU 7 Tahun 2017 Pasal 245 diatur bahwa Daftar Calon Legislatif yang diajukan oleh Partai Politik memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

Baca Juga: Resiliensi Sistem Pangan dan Pertanian

Selain sebagai pelaku, regulasi untuk perempuan sebagai penyelenggara pemilu ada dalam Pasal 10 ayat 7 dan Pasal 92 ayat 11 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang telah mengamanatkan bahwa komposisi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.

Di tingkat Pusat komposisi KPU RI masa jabatan 2022-2027 terdapat satu perempuan yang terpilih dari 7 anggota KPU artinya hanya 14%. Situasi serupa juga terjadi di Bawaslu Rl yang memiliki satu perempuan sebagai anggota Bawaslu RI atau sekitar 20% dari jumlah anggota Bawaslu.

Terkait dengan regulasi perempuan sebagai penyelenggara Pemilu, saat ini polemik tersebut terjadi di Provinsi Maluku, di mana Pansel telah dilaporkan karena tidak meloloskan perempuan dalam komposisi kepengurusan, artinya kepengurusan KPU Provinsi Maluku tidak mengakomodir Perempuan.

Persoalan terkait hal tersebut masih berproses hingga saat ini.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa pemerintah mendukung partisipasi perempuan dalam bentuk regulasi. Dukungan yang diberikan pemerintah, dapat berimplikasi terhadap partisipasi Perempuan, walau terkadang dalam implementasinya tidak dapat dilaksanakan secara maksimal.

PEREMPUAN DALAM WACANA POLITIK

Jika berbicara tentang dunia politik, maka mayoritas perempuan cenderung kurang tertarik.

Indikasi ini terlihat jelas jika kita mengamati :

– Jenis tontonan

Perempuan lebih tertarik mengikuti cerita sinetron yang tertuang dalam skenario beratus-ratus episode.

Atau tontonan remeh temeh yang tidak memiliki nilai edukasi dan cenderung menghindari tontonan berat seperti berita atau diskusi-diskusi terkait dunia politik. Kondisi ini berbeda dengan “debat presiden mungkin karena terbawa euphoria yang terbangun dalam platform digital atau pembahasan di sekitar lingkungannya berada maka perempuan jadi penikmat debat.

Ketika keriuhan pemilu berakhir maka perempuan cenderung akan kembali ke habitatnya.

– Bahan diskusi

Perempuan lebih cenderung menyukai topik kuliner, fashion, gaya hidup atau kehidupan selebriti.

Perkembangan topik ini selalu diupdate sehingga mejadi topik hangat baik dari kalangan-kalangan emak- emak di gang kumuh sampai dengan para sosialita di restoran dan lounge-lounge mahal.

Realita ini berbeda dengan para pria yang selalu peka dengan dunia politik.

– Ruang lingkup pergaulan

Perempuan akan membangun ruang lingkup pergaulan yang cenderung sesama perempuan.

Sejak kecil Perempuan dibesarkan dengan tatanan kehidupan kultur patriartki yang kental di Masyarakat.

Perempuan sejak kecil didoktrin untuk harus bisa suskes pendidikan, dunia kerja juga keluarga. Sehingga paradigma tersebut tertanam dengan baik. Realita ini berimplikasi kepada kelompok perempuan yang “enggan” untuk terjun ke dunia politik karena dalam pandangan Politik adalah dunia yang penuh dengan intrik.

Bagi kaum Perempuan di dunia politik ini, terdapat tipu daya, persengkokolan jahat untuk menjatuhkan/melemahkan orang lain, korupsi, kolusi, nepotisme, perselingkuhan yang semuanya bermuara pada kekuasaan.

Perempuan cenderung menghindari hal-hal tersebut karena lebih menginginkan ketenangan untuk mengurus keluarga.

– Politik kental dengan budaya patriarki, di mana laki-laki yang mendominasi.

– Hambatan interseksional dan struktural

PEREMPUAN DALAM PEMILU 2019

Pada Pemilu 2019 data menunjukkan bahwa capaian keterwakilan 30% perempuan di parlemen baik di tingkat pusat, provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota masih belum terpenuhi.

Kondisi riil ini dapat dilihat pada data di bawah ini:

– MPR RI, terdapat 161 perempuan (23%) dan 550 laki-laki (77%)

– DPR RI, terdapat 119 perempuan (21%) dan 456 laki-laki (79%).

– DPD RI, terdapat 42 perempuan (31%) dan 94 laki-laki (69%).

Lebih lanjut, keterwakilan perempuan kurang dari 30% juga terlihat di tingkat daerah.

– DPRD provinsi, terdapat 391 perempuan (18%) dan 1816 laki-laki (82%).

– DPRD kota/kabupaten, jumlah perempuan 2647 (15%), sedangkan laki-laki mencapai 14693 (85%).

Pada Pemilu 2019 lalu, data menunjukkan bahwa jumlah pemilih perempuan di dalam negeri mencapai 92.929.422, dan jumlah pemilih laki-laki di dalam negeri mencapai 92.802.671.

Perbedaan jumlah pemilih perempuan dan laki laki tidak signifikan, tetapi keterpilihan perempuan di parlemen yang belum mencapai ambang keterwakilan perempuan 30% masih merupakan tantangan yang harus kita atasi bersama

PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PEMILU 2024

Untuk pelaksanaan Pemilu 2024, berdasarkan data KPU untuk Daftar Caleg Tetap (DCT) Perempuan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota se-Indonesia sebanyak 9.917, meliputi 18 partai politik yang tersebar di 84 daerah pemilihan. Sebanyak 37,13 persen (3.676) adalah caleg dari kalangan perempuan.

Keterwakilan perempuan sebanyak 37,13 % ini akan dilihat hasilnya pada perolehan kursi legislatif nanti.

Minimnya ketrelibatan Perempuan dalam partai politik dan rendahnya kaderisasi di parpol membuat partai politik mengambil sejumlah jalan pintas untuk menggaet perempuan agar bisa memenuhi syarat 30 persen.

Di antara cara yang dilakukan adalah dengan mengajak para pesohor perempuan.

Manfaat yang bisa didapat dari hal ini adalah :

– Kuota perempuan tercukupi

Meski demikian, tidak semua wilayah di Indonesia bisa mencapai angka 30 perempuan kuota caleg di setiap partai. Salah satunya di Kota Padang yang menjadi kendala bagi banyak pengurus partai setempat untuk mengumpulkan berkas caleg perempuan mereka. Mereka harus mengakali dengan mengurangi jumlah laki-laki agar jumlah caleg perempuan menjadi genap 30 persen. (https:/tirto.id/gHcz)

– Menjadi agen pengumpul suara bagi partai.

Banyak sekali “Pesohor Perempuan” yang direkrut menjadi caleg. Artis, pengusaha perempuan atau istri pejabat, istri pengusaha. Para pesohor ini minim pengetahuan dan pengalaman politik tapi dikenal luas oleh masyarakat. Para perempuan yang memiliki basis electoral ini merupakan “lumbung elektoral” bagi partai.

Realitas ini dapat dijadikan peluang untuk mendulang suara. Nantinya kebijakan internal partai hasil suara yang diperoleh akang dikonversikan kepada caleg potensial yang memiliki kualitas di parlemen sehingga marwah partai tetap dijaga baik dalam konstelasi politik local maupun nasional.

Dalam dinamika politik di Tahun 2024 ini, eksistensi para caleg Perempuan akan dilihat hasilnya pasca pembagian kursi di KPU nanti.

Dari situ kita bisa melihat, apakah ada caleg perempuan yang memiliki basis electoral dapat menguasai basisnya atau justru sebaliknya caleg laki-laki yang memiliki elektabilitas tinggi yang akan mampu memenangkan parati politik di tingkat “grass root” nanti.

PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK PASCA PEMILU 2024.

Pelaksanaan pemilu 2024 tinggal hitungan minggu. Gegap gempita pemilu lebih didominasi oleh isu para kandidat capres dan cawapres nomor urut 1, 2 dan 3, dibandingkan para caleg pada semua level dapil.

Perkembangan platform digital yang sangat signifikan memberi kontribusi pada peningkatan pemahaman masyarakat terutama perempuan sebagai pangsa pasar terbesar pengguna platform digital.

Perempuan tentunya cenderung lebih memilih jenis plaform digital yang berorientasi entertainmentnya (menghibur) seperti Tik-Tok dan Youtube dibandingkan yang komposisi edukasi (pendidikan) lebih besar seperti Twiter.

Dalam Pemilu 2024 visi, misi dan potret kegiatan para caleg mungkin kalah popular dibandingan pasangan Capres dan Cawapres. Realitas menujukan platform digital di pemilu kali ini memberikan kontribusi besar bagi peningkatan pemahaman perempuan terhadap dunia poltik seperti potret parpol, orientasi partai partai poltik, sampai dengan kebijakan pemerintahan.

Sedangkan eksistensi caleg lebih didominasi pada sosialisasi diri lewat baliho, stiker, spanduk, aksi door to door atau memper­ke­nalkan diri pada komunitas terba­-tas di mana yang bersangkutan memiliki akses ke sana. Diha­rap­kan dengan cara ini Perempuan cenderung untuk mengenal calegnya sehingga di tanggal 14 Februari nanti bukan seperti “membeli kucing dalam karung”.

Pasca Pemilu 2024 kita hanya berharap kultur potlik kita berubah sehingga animo perempuan terhadap dunia politik mulai mengalami pergeseran ke arah yang lebih baik dengan meningkatnya minat perempuan terjun ke parpol.

Bukannya mengalami degradasi sehingga euphoria ini hanya muncul pada pesta demokrasi 5 tahunan saja tapi bisa menjadi “style” bagi perempuan. Sehingga perempuan tidak hanya sebagai penikmat poltik tapi juga menjadi sutradara juga pelaku politik.#Salam Waras#Perempuan Peka Politik Oleh: ROSA RENYAAN, S.SOs,M.Si JFU pada Badan Kesbangpol Provinsi Maluku (*)