Para Predator dan Swastanisasi Pendidikan
KEPUTUSAN mengenai pembelajaran tatap muka atau sebaliknya telah diambil pemerintah (6/1/2021). Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyampaikan bahwa pembelajaran tatap muka terutama bagi wilayah-wilayah berzona hijau dibolehkan, asal sesuai dengan protokol kesehatan serta diputuskan pemerintah daerah, kepala sekolah, dan orangtua murid. Kebijakan ini pada dasarnya tidak bergeser dari kebijakan sebelumnya. Kesemrawutan atau lebih tepatnya gonjang ganjing terjadi dan berkepanjangan di lapangan lebih karena ketidakbijakan pemerintahan daerah yakni dinas pendidikan kabupaten/kota mengurus pendidikan tingkat dasar dan menengah dan dinas pendidikan provinsi mengurus pendidikan tingkat atas.
Dalam kontroversi pembelajaran tatap muka versus jarak jauh ini, misalnya, ketidakberanian mengambil keputusan yang tegas di daerah masing-masing terjadi karena ketidaktersediaan data yang valid dan real-time tentang penyebaran covid-19. Demikian pula, meskipun otonomi pendidikan telah berlangsung sekian lama, pejabat politik dan birokrat pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi masih tetap berpikir dan bertindak sentralistik. Salah satu ungkapan yang sering digunakan ialah ‘tergantung pemerintah pusat’. Padahal, jika para pengambil kebijakan tersebut memiliki data yang memadai dan mampu melakukan analisis secara baik, risiko-risiko akan lebih terpetakan dan kebijakan-kebijakan pendidikan akan lebih tepat. Serta mampu meyakinkan stakeholders pendidikan di wilayah masing-masing. Kebijakan-kebijakan juga tidak akan terlahir secara serampangan, seperti berdasar over-generalization menggunakan berita atau data nasional. Ketidaktegasan keputusan pemerintahan daerah dalam sektor pendidikan ini kemudian berdampak luas: bertumbuhnya harapan (palsu) terkait pembelajaran tatap muka, ketidakseriusan sekolah mengembangkan kemampuan fasilitasi pembelajaran jarak jauh, keresahan orangtua dalam memfasilitasi pendidikan anak-anak mereka, orientasi menyalahkan pemerintah pusat, baik oleh masyarakat banyak maupun penyelenggara pendidikan dan seterusnya.
Para predator Di tengah kisruh pendidikan masa pandemi yang tak kunjung selesai ini, para aktor yang bertanggung jawab dalam pendidikan namun tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya, selayaknya ‘predator’ pendidikan. Para predator pendidikan ini bisa pejabat politik dan birokrat pendidikan seperti disinggung di atas serta manajemen sekolah dan para guru. Mereka menjadi predator karena hanya mampu mengambil hak, namun tak sepenuh hati menjalankan kewajiban. Apalagi jika mereka justru ‘memancing di air keruh’ atau memanfaatkan situasi untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan bagi diri sendiri. Jika dilihat secara administratif, para predator ini bisa jadi terlihat telah menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka.
Mungkin ada bukti kehadiran fisik masuk kantor, tanda tangan presensi atau bahkan bukti-bukti telah melakukan pekerjaan berupa dokumen dan sebagainya. Tetapi, itu semua tak memberi bukti bahwa lokomotif sistem pendidikan berjalan dan memberi dampak. Bukti paling sahih adalah tak meredanya keresahan orangtua atau masyarakat banyak tentang kondisi dan situasi pendidikan, seperti ketika anak-anak mereka semakin diperbudak gawai atau lebih banyak bermain tak keruan. Fungsi pejabat politik dan birokrat pendidikan yang amat menentukan, namun justru menjadi langka dalam dinamika politik dan praksis pendidikan kita ialah fungsi kritis, kreatif, dan inovatif. Ketidaktegasan pemerintahan daerah–kita sebut ‘pemerintahan’ supaya mencakup eksekutif dan legislatif–serta berbagai konsekuensi dari ketidaktegasan tersebut ialah contoh nyata ketiadaan fungsi-fungsi yang berorientasi pada problem solving yang berkemajuan ini. Pilihan bersikap administratif, pasif, dan permisif ini kemudian bisa dilihat sebagai bentuk dari laku ‘memangsa’ masa depan anak-anak yang semestinya mendapat fasilitasi pendidikan yang tepat dan baik, terlepas dari bagaimanapun situasinya.
Secara psikologis-sosiologis, predasi atau perilaku memangsa ini terjadi salah satunya karena ketiadaan kepemilikan atas apa yang biasa disebut agency atau kompetensi melakukan tindakan yang berorientasi perubahan. ‘Swastanisasi’ pendidikan Dalam rangka menumbuhkan agency, dikotomi swasta-negeri mungkin bisa membantu kita dalam mencari solusi. ‘Swasta’ di sini berorientasi pembaruan karena tuntutan eksistensial untuk mampu mandiri dan beradaptasi dan ‘negeri’ di sini berorientasi pada ketidakmandirian dan status-quo karena kelambanan dalam mengambil sikap dan bertindak. ‘Swastanisasi’ tidak berarti mengubah status sekolah secara legal-formal.
Baca Juga: Vaksin Yes, Kerumunan NoSwastanisasi di sini ialah cara yang berkaitan dengan perubahan cara pandang, sikap dan perilaku setiap pejabat, birokrat dan pelaku pendidikan. Swastanisasi di sini terkait dengan bagaimana mengubah ‘mentalitas pegawai kolonial’ yang birokratis-pasif-permisif menjadi kritis-kreatif-inovatif. Berpikir dan berlaku swasta ialah berpikir dan berlaku inovatif yang berujung pada percepatan kemajuan pendidikan. Namun demikian, dikotomi ini tentu saja tak berarti bahwa semua yang negeri itu jelek dan yang swasta itu buruk. Menggunakan dikotomi ini, dengan mudah kita bisa melihat betapa banyak juga lembaga pendidikan swasta yang tak berkembang, seperti hanya sekadar menjadi mesin pencetak uang bagi pemiliknya. Demikian pula, tak jarang terdapat sekolah-sekolah negeri yang karena agency pengelolanya berkembang baik dan menjadi sekolah yang bisa dijadikan contoh.
Swastanisasi juga berarti pembumian inklusivitas dalam pendidikan, yakni terlepas dari berbagai latar belakang akademis atau nonakademis calon murid. Meskipun terdapat kecenderungan adanya sekolah-sekolah swasta yang didirikan dan dijalankan di bawah simbol agama atau kultural tertentu atau segmentasi karena status ekonomi, swastanisasi di sini juga bisa berarti keterbukaan pintu yang lebih besar bagi heterogenitas. Pada awalnya inklusivitas merupakan salah satu misi utama sekolah-sekolah negeri dalam arti public schools. Namun, seiring dengan merebaknya selektivitas atau penerimaan murid berbasis ujian masuk, yakni yang terbaik yang masuk ke sekolah negeri, public schools berubah menjadi schools for the selected. Sekolah-sekolah negeri berubah menjadi sekolah favorit atau unggulan, sehingga yang paling membutuhkan justru tak mampu mendapatkan akses.
Swastanisasi dan pandemi Singkat kata, swastanisasi di sini utamanya ialah soal perubahan cara pandang dan cara berpikir. Dengan realitas ekonomi-sosial-politik saat ini, yang kita sebut sebagai new normal, swastanisasi terkait dengan bagaimana mengubah cara pandang kependidikan di semua tingkat, mulai dari pejabat politik dan birokrat pendidikan sampai pada pelaku pendidikan di lapangan, dengan orientasinya ialah kemandirian, adaptabilitas, dan inklusivitas. Contoh nyata kemandirian dan kecepatan penyesuaian diri dari cara berpikir dan berlaku swasta dapat dilihat pada apa yang dilakukan sekolah-sekolah swasta yang baik di masa pandemi atau new normal.
Mengatasi berbagai keterbatasan, karena tuntutan untuk bertahan hidup, proses komunikasi yang lebih efektif dan efisien, serta tentu saja komunikasi yang lebih resiprokal dengan para orangtua, sekolah-sekolah swasta lebih cepat dan mudah mengambil sikap dan berinovasi. Kita juga tak bisa menafikan adanya sekolah-sekolah negeri yang ‘berlaku swasta’. Terutama karena daya tanggap dan rasa tanggung jawab manajemen sekolah yang tak bermental predator, terdapat kebijakan-kebijakan inovatif dengan mengondisikan para guru untuk mencari cara supaya proses pembelajaran tak hanya ‘apa adanya’. Dalam kasus-kasus khusus ini, agency manajemen sekolah dan para guru membuat mereka beradaptasi dengan situasi pandemi dan tak memilih tunduk pada hukum besi struktur sosial dengan birokrasi yang tak efektif.( Khairil Azhar, Divisi Pelatihan Pendidikan Yayasan Sukma)
Tinggalkan Balasan