AMBON, Siwalimanews – Ketua Komisi II DPRD Kota Ambon, Christianto Laturiuw mengaku, sampai saat ini pendapatan asli daerah dari pajak air bawah tanah belumlah maksimal.

Pasalnya, dari kurang lebih 900 pengguna air bawah tanah Ambon, baru 200 lebih pengguna yang tidak pernah membayar kewajibannya dan baru sekitar 666 pengguna, yang telah memenuhi kewajibannya. Sisanya belum diketahui.

“Ada 900, tapi sampai sekarang, jumlah yang bayar wajib pajak baru 666. Sementara target penerimaan dari air bawah tanah di tahun 2022, itu Rp2 miliar dan sekarang realisasi pada Dinas Pendapatan sudah mengumpulkan Rp 1.736.376.000. Itu artinya baru sekitar 50,04 persen,” ujar Laturiuw kepada Siwalimanews, di Baileo Rakyat Belakang Soya, Jumat (19/8).

Pertanyaannya kata Laturiuw, apakah potensi Kota Ambon itu hanya ada dingka Rp2 miliar atau lebih. Jika 900 wajib pajak itu riil, maka dari potensi itu, pemkot bisa memperoleh lebih dari angka itu. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan PAD, maka seluruh OPD pengumpul PAD, harus bekerja maksimal, dengan memfokuskan pada potensi-potensi PAD itu.

Artinya, penyusunan anggaran, tidak bisa berbasis pada angka realisasi yang ada pada tahun sebelumnya, namun harus murni berbasis pada potensi sebenarnya.

Baca Juga: BPJN: Ruas Jalan Tamilow Haya Sudah Ditangani

“Dengan kondisi itu, baru kita bicara soal provit Kota Ambon dengan kekuatan keuangannya. Tapi kalau kita bicara hanya pada angka realisasi, target pendapatan tanpa mengacuh pada potensi. Itu berarti kita belum bicara pada kondisi potensi riil Kota Ambon,” ucapnya.

Hal ini menurut Laturiuw, perlu dikaji, karena begitu banyak potensi, tetapi angka yang ditentukan justru dibawah. Disisi lain selama ini, penagihan wajib pajak dari air bawah tanah, dilakukan tidak berdasarkan pada volume penggunaannya.

Hal itu lantaran, pemkot belum mampu mengadakan meteran air bawah tanah untuk para pengguna, yang mana diketahui, meteran air bawah tanah per satuannya seharga Rp5.500.000.

“Jadi semua itu belum menggunakan meteran, mereka masih menggunakan meteran lama yang hitungannya berdasarkan sistem taksasi atau jumlah untuk menentukan besaran penggunaan air bawah tanah. Sementara mestinya besaran pajak ditentukan dari volume penggunaan,” tandasnya.

Untuk itu diharapkan, dengan kondisi kesulitan anggaran saat ini, penghematan boleh dilakukan, tapi harus rasional. Dimana ada item-item belanja yang dapat memacuh pendapatan, maka itu jangan diganggu.

“Artinya, kalau harus pengadaan meteran, maka harus diupayakan. Agar realisasi dari itu tidak menggunakan sistem taksasi. Informasinya, baru sekitar 46 unit meteran yang diadakan. Kami juga ada gagasan untuk bicarakan ini. Karena kalau Rp5.500.000 kali 666, itu Rp3 miliar lebih,”ujarnya

Maka dari itu, akan diusulkan untuk bagaimana ini ditangani oleh BUMN, agar pemkot tidak kesulitan soal pengadaan meteran, agar tidak semuanya bertumpuk pada APBD Kota Ambon. (S-25)