AMBON, Siwalimanews – DPRD Maluku masih harus menunggu sikap dan kepastian dari Kementerian Dalam Negeri, terkait putusan Mahkamah Konstitusi. Walau MK telah memutuskan masa jabatan Gubernur Murad Ismail akan berakhir pada April 2024, namun DPRD masih menu­nggu keputusan dan kepastian dari Kementerian Dalam Negeri.

Putusan MK yang dibacakan Suhartoyo tersebut menganulir ke­tentuan pasal 201 ayat (5)  Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan mem­berikan waktu bagi kepala daerah hasil pilkada 2018 yang pelantikan pada Tahun 2019 menjabat sampai lima tahun.

Ketua Panja Penjaringan calon Penjabat Gubernur DPRD Maluku, Jantje Wenno membenarkan ada­nya putusan Mahkamah Konsti­tusi yang pada pokoknya menga­bulkan gugatan Gubernur Murad Ismail dan enam kepala daerah lainnya.

Wenno menjelaskan jika MK saat itu memutuskan menolak gugatan maka, maka masa jabatan Gubernur Maluku Murad Ismail dan Barnabas Orno akan berakhir 31 Desember 2023.

“Memang dikabulkannya guga­tan itu maka  jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku akan ber­akhir pada 19 April 2024 bukan lagi 31 Desember mendatang,” beber Wenno kepada Siwalima melalui pesan whatsapp, Selasa (26/12).

Baca Juga: MPH Sinode Minta Warga GPM tak Golput

Putusan MK tersebut kata Wenno masih belum finish, sebab masih ada tahapan selanjutnya dengan pene­tapan keputusan Kemendagri.

Ditanya, terkait tiga nama calon penjabat gubernur yang telah dise­rahkan DPRD, Wenno menegaskan pengusulan tiga nama calon pen­jabat dilakukan DPRD sesuai amanat peraturan perundang-undangan se­hingga tidak perlu dipersoalkan.

“Prinspinya sampai saat ini kami masih menunggu keputusan Kemen­dagri, semoga Kemendagri cepat meresponnya,” pungkasnya.

Sementara itu, Plh Kepuspen Kemendagri, Yudia Ramli yang di­konfirmasi Siwalima terkait putusan MK tersebut belum merespon.

Beri Kepastian

Kemendagri didesak lebih res­ponsif terhadap putusan MK terkait masa jabatan kepala daerah.

Demikian dikatakan Akademisi Fisip Unpatti, Victor Ruhunlela ke­pada Siwalima melalui telepon selu­lernya, Rabu (27/12) menindaklanjuti putusan MK terkait masa jabatan Gubernur Murad Ismail yang akan berakhir pada 24 April 2024.

Ruhunlela menjelaskan, putusan MK dalam kasus masa jabatan Kepala Daerah hasil pemilu 2018 yang baru saja dikeluarkan, menun­jukan adanya persoalan baru dalam proses pemerintahan.

Artinya, pemerintah pusat yang seharusnya akan menetapkan se­jumlah penjabat kepala daerah termasuk di Maluku harus dianulir dengan adanya putusan MK ter­sebut.

Secara politik kata Ruhunlela, kepala daerah yang mengajukan gugatan ke MK melihat adanya celah hukum yang dapat digunakan untuk mempertahankan kekuasaan.

“Putusan MK itu terjadi karena ada celah hukum yang tidak dian­tisipasi oleh Pemerintah Pusat sehi­ngga, MK memandang bahwa pemo­tongan masa jabatan tidak meng­ganggu tahapan Pilkada,” ungkap Ruhunlela.

Terhadap putusan itu, Kemen­dagri sebagai pembina pemerintah daerah menurut Ruhunlela harus segera bersikap dan lebih responsif agar tidak menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat.

Apalagi dalam konteks dinamika politik di Maluku, Kemendagri mesti­nya memberikan kepastian hukum guna menjawab spekulasi ditengah masyarakat.

“Tim hukum Kemendagri harus mengkaji putusan itu dan harus memberikan kepastian bagi mas­yarakat, sebab hari ini masyarakat menjadi terbelah dengan adanya putusan MK itu,” tegas Ruhunlela.

Senada dengan Ruhunlela, Aka­demisi Fisip UKIM Amelia Tahitu juga mendesak Kemendagri untuk segera merespon pasca putusan MK dimaksud.

Dijelaskan, ketegasan Kemen­dagri terhadap persoalan tersebut guna menjawab dinamika ditengah masyarakat.

“Kalau orang yang paham hukum pasti memahami bahwa putusan itu sudah final tapi bagi masyarakat pasti menimbulkan kebingungan, apalagi DPRD Maluku telah me­nyerahkan tiga nama calon penjabat gubernur, maka kepastian hukum harus diberikan Kemendagri,” ujar­nya.

Tahitu berharap putusan MK tersebut tidak menganggu jalannya pemerintahan di Provinsi Maluku, sebab masyarakat membutuhkan pelayanan publik yang maksimal dari pemerintah daerah.

Akhir Jabatan 2024

Mahkamah Konstitusi mengabul­kan gugatan tujuh kepala daerah terkait akhir masa jabatan mereka.

Tujuh kepala daerah yaitu, Guber­nur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil E Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiar­to, Wakil Wali Kota Bogor Didie A Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A Taha, Wali Kota Padang Hen­dri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.

Tujuh kepala daerah ini menga­jukan uji materiil Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada Nomor 10/2016 yang me­ngatur kepala daerah hasil pemilihan 2018 menjabat sampai 2023. Ala­sannya, meski dipilih lewat Pilkada 2018, para pemohon baru dilantik pada 2019.

Jika masa jabatan mereka mesti berakhir di 2023, maka periode ke­pemimpinan mereka tak utuh selama lima tahun.

Ketua MK Suhartoyo menyata­kan, pokok permohonan para pemo­hon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Hakim MK dalam amar putu­sannya mengadili, Dalam Provisi, menyatakan permohonan provisi para pemohon tidak dapat diterima.

Dalam Pokok Permohonan, per­tama, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.

Kedua, menyatakan Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Ta­hun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) yang semula menyatakan, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bu­pati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023″, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepan­jang tidak dimaknai, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pe­lantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun ter­hitung sejak tanggal pelantikan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diselenggarakannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024.

Sehingga, norma Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Ta­hun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 ten­tang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota selengkapnya menjadi menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan dan pelantikan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023 dan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Tahun 2018 yang pelantikannya dilakukan tahun 2019 memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelan­ti­kan sepanjang tidak melewati 1 (satu) bulan sebelum diseleng­gara­kannya pemungutan suara serentak secara nasional tahun 2024”.

Tiga memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Suhartoyo, selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Daniel Yusmic P. Foekh, Anwar Usman, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, M. Guntur Hamzah, dan Ridwan Mansyur, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal sebelas, bulan Desember, tahun dua ribu dua puluh tiga, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum Kamis, (21/12) pukul 16.54 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi yaitu Suhartoyo, selaku Ketua merangkap Anggota, Saldi Isra, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, M. Guntur Hamzah, dan Ridwan Mansyur, masing masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Fransisca sebagai Pani­tera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon dan/atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakil.

MI Gugat ke MK

Seperti diberitakan sebelumnya, MI, sebutan akrab Murad, tak terima diberhentikan 31 Desember dan menempuh langkah hukum ke Mahkamah Konstitusi. Dia ngotot jabatannya harus berakhir pada bulan April 2024.

Sejatinya, masa jabatan Murad-Orno akan berakhir pada 24 April 2024. Hal ini sesuai dengan Kepu­tusan Presiden Republik Indonesia Nomor 189/P Tahun 2018, tanggal 28 September 2018.

Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 201 Ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Un­dang, menegaskan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018, menjabat sampai de­ngan Tahun 2023.

Sebagaimana dikutip dari laman Youtube MK, permohonan pengu­jian norma Pasal 201 ayat (5) UU 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada diwa­kilkan Murad Cs kepada Febry Diansyah dan kawan-kawan pada Visi Law Office telah memasuki sidang penel yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo didampingi Saldi Isra dan Daniel Yusmic Foekh, Rabu (15/11).

Murad Cs mengajukan gugatan pengujian pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pil­kada terhadap UUD Tahun 1945.

“Para pemohon telah dirugikan dan dilanggar hak konstitu­sionalnya sebagai kepala daerah yang dipilih secara demokratis, sesuai ketentuan pasal 18 (4) UUD 1945,” ujar kuasa hukum Donal Fariz saat membacakan permohonan.

Donal mengatakan para pemohon diangkat dan dilantik pada daerah masing-masing yang dipilih secara langsung oleh masyarakat pada tahun 17 Juni 2018, dan dilantik dengan keputusan presiden yang seharusnya memegang masa jabatan selama lima tahun.

Selain itu, ketentuan pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada telah membuat hak konstitusionalnya sebagai warga negara yang seharusnya memegang masa jabatan selama lima tahun, harus menyelesaikan masa jabatan selama lima tahun sebagai kepala daerah masing-masing. Dimana untuk pemohon I atas nama Murad Ismail Gubernur Maluku harus terpotong masa jabatannya selama 4 bulan dari jadwal yang mestinya berakhir pada 31 Desember 2024.

Menurutnya, Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada tidak mempertimbangkan masa jabatan kepala daerah terutama yang baru dimulai tahun 2019.

Selain itu, para pemohon termasuk Gubernur Maluku sama sekali tidak mengetahui masa jabatannya tidak akan penuh selama lima tahun.

“Para pemohon mestinya tetap merujuk pada SK pengangkatan kepala daerah yang secara eksplisit menyebutkan, masa jabatan kepala daerah selama lima tahun terhitung sejak 2019-2024,” bebernya.

Pasangan Murad-Orno dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 24 April 2019, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 189/P Tahun 2018 tanggal 28 September 2018. (S-20)