SEIRING adanya keputusan bersama empat menteri tentang panduan pembelajaran tatap muka (PTM), pada masa pandemi covid-19 mulai semester genap tahun ajaran 2020/2021, sekolah di daerah berkategori aman mulai melaksanakan kebijakan tersebut. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), jumlah sekolah yang melaksanakan PTM berkisar 15,5%.

Sementara itu, sekolah di daerah yang tidak aman dari wabah covid-19, tetap melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Secara eksplisit, dikemukakan dalam keputusan bersama bahwa dasar dimulainya PTM ialah adanya kendala yang dihadapi peserta didik dalam mengikuti PJJ selama pandemi covid-19. Pada tingkat tertentu, PJJ juga menghadirkan kejenuhan bagi peserta didik. Apalagi, jika PJJ sepenuhnya dilaksanakan secara daring sehingga menuntut ketersediaan jaringan internet di rumah.

Padahal, PJJ dapat dilaksanakan secara blended learning yang memadukan metode luring dan daring. PJJ secara daring, jelas menghadirkan persoalan bagi peserta didik yang berdomisili di daerah berkategori 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Karena itulah, tidak mengherankan jika dijumpai fenomena migrasi peserta didik dari kampung halamannya ke daerah-daerah yang sudah tersedia jaringan internet untuk mengikuti PJJ. Selain soal jaringan internet, tidak sedikit peserta didik dari keluarga miskin juga belum memiliki ponsel atau laptop sebagai sarana mengikuti PJJ secara daring.

Rindu PTM Pada tingkat tertentu, memang ada kerinduan dari pendidik dan peserta didik untuk melaksanakan PTM. Kondisi itu iperparah dengan ketidaksiapan sebagian orangtua menggantikan posisi guru dalam proses belajar mengajar anak. Bahkan, pada awal pandemi, banyak orangtua tertekan dan mengalami kejenuhan. Mereka tertekan karena tidak siap mendampingi pendidikan anak-anak seiring adanya kebijakan belajar dari rumah (BDR). Bagi keluarga yang berpendidikan (well educated), tentu tidak ada kesulitan untuk menyesuaikan dengan kebijakan BDR. Hal itu karena mereka memiliki seperangkat pengetahuan tentang mendidik dan mengasuh anak-anak. Mereka dengan mudah mengondisikan rumah layaknya sekolah.

Mereka begitu peduli dengan pendidikan buah hatinya, seraya menggelorakan semangat ‘rumahku sekolahku (baitiy madrasatiy)’. Slogan ‘rumahku sekolahku’ menunjukkan kesiapan mereka mendidik anak-anak.

Baca Juga: SDGs dan Tantangan Desa Wisata

Para orangtua yang terdidik, juga dapat bermitra dengan guru untuk menyukseskan pendidikan anak. Anak-anak yang berada dalam pendidikan dan pengasuhan keluarga terdidik, dapat tumbuh kembang dengan baik (child wellbeing). Sementara itu, untuk keluarga yang tidak well educated, kebijakan BDR menghadirkan masalah. Bukan hanya kesiapan mendidik dan mengasuh anak, mereka juga memiliki keterbatasan sarana penunjang PJJ. Bagi keluarga dari kelompok sosial menengah ke bawah, musim pandemi mengakibatkan kesulitan ekonomi.

Sebagian mereka kehilangan pekerjaan karena terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) Jangankan untuk membeli perangkat penunjang PJJ, dapur mereka saja sudah tidak berasap.

Karena itulah, mereka berharap anak-anak kembali belajar di sekolah bersama guru. Dengan demikian, mereka dapat bekerja untuk menghidupi keluarga. Ancaman lost generation Banyak pihak mengkhawatirkan terjadinya fenomena generasi yang hilang (lost generation) akibat terabaikannya pendidikan anak-anak selama era pandemi.

Padahal, pemerintah sudah memproyeksikan program menyongsong generasi emas 2045. Peta jalan menuju terwujudnya generasi emas tepat pada saat negeri ini merayakan hari ulang tahun kemerdekaan (HUT) ke-100 RI juga telah dirancang. Pada 2045 itulah negeri tercinta akan menikmati bonus demografi. Generasi emas usia produktif yang berkarakter, berkompeten, dan berliterasi tinggi berlimpah. Impian itu terancam gagal, seiring terjadinya pandemi covid-19, yang sudah berlangsung hampir setahun. Bahkan, program Kemendikbud untuk melaksanakan asesmen kompetensi minimum (AKM) dan survey karakter mulai 2021 juga belum jelas. Siaran pers Mendikbud Nadiem Anwar Makarim pada Rabu (20/1), menegaskan bahwa pelaksanaan AKM dan survei karakter yang kini berubah nomenklatur menjadi asesmen nasional (AN), ditunda pelaksanaannya dari Maret-Agustus menjadi September-Oktober.

Jika pandemi terus berlangsung, tidak tertutup kemungkinan pelaksanaan AN ditiadakan untuk tahun ini. Padahal, AN sejak awal dirancang untuk menggantikan ujian nasional (UN). Jika AN gagal dilaksanakan pada 2021, berarti selama dua tahun tidak ada evaluasi terhadap capaian pendidikan nasional. Itu karena pada 2020, UN juga tidak dilaksanakan dengan alasan kondisi negeri sedang terjadi pandemi. Padahal, evaluasi pendidikan selama musim pandemi sangat penting untuk mengukur efektivitas pembelajaran di tengah keterbatasan.

Dalam kondisi serbatidak menentu itulah semua elemen bangsa tidak boleh berpangku tangan, seraya bersikap fatalistik dengan dampak yang diakibatkan pandemi covid-19. Jika anak-anak yang sedang tumbuh kembang tidak terfasilitasi pendidikannya dengan baik, fenomena lost generation benar-benar akan menjadi kenyataan. Seakan ingin menjawab tantangan ini, pemerintah menerbitkan panduan tentang PTM. Namun, karena pandemi covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda melandai, semua pihak harus menempatkan kesehatan dan keselamatan jiwa peserta didik menjadi prioritas. Kemendikbud dan Kemenag sebagai dua departemen yang paling bertanggung jawab pada nasib pendidikan anakanak bangsa, harus menemukan solusi yang tepat. Sementara itu, masyarakat dapat membantu keberlangsungan pendidikan dan pengasuhan anak-anak melalui penguatan keluarga. Harus diingat, keluarga merupakan madrasah yang pertama dan utama. Langkah ini strategis untuk meminimalkan terjadinya lost generation sepanjang era pandemi. (Biyanto, Guru Besar UIN Sunan Ampel, Anggota Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Nonformal (BAN PAUD dan PNF)