Sebelum era reformasi, tidak ada lembaga eksternal yang secara khusus berfungsi mengontrol tindakan pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan-pelayanan publik. Masyarakat tidak diberikan ruang untuk menyampaikan keluhan atau pengaduan mengenai pelayanan yang buruk dari pemerintah. Setelah era reformasi, semangat menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien melalui pengawasan pelayanan publik yang berbasis partisipasi masyarakat, diakomidir sebagai implementasi prinsip demokrasi. Politik hukum pelayanan publik yang dibangun oleh pemerintah salah satunya dengan melakukan pembenahan struktur kelembagaan di bidang pelayanan publik, melalui berbagai lembaga yang telah dibentuk oleh Pemerintah, yaitu Ombudsman Republik Indonesia (ORI) melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, yang bertugas melakukan kontrol penyeleng­garaan pelayanan publik serta memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dari penyalagunaan wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan Publik.

Pembenahan pada aspek kelembagaan di bidang pelayanan publik tidak dapat berdiri sendiri dan terlepas berbagai aspek dari lainnya. Pembenahan dilakukan secara menyeluruh pada aspek lainnya diluar struktur kelembagaan, yaitu pembenaan substansi hukum dibidang pelayanan publik melalui Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik. Kemudian  disusul dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Ketiga undang-undang ini, secara substansi telah mengakomidir peran serta masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik.

Partisipasi masyarakat menjadi salah satu isu strategis untuk mewujudkan pelayanan publik transparan, akuntabel, dan adil. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu kondisi yang diperlukan agar penyelenggaraan pemerintahan dapat berhasil dengan baik. Dengan keterlibatan masyarakat yang semakin tinggi, maka berbagai kebijakan pembangunan daerah akan dapat merespresentasikan kepentingan masyarakat luas. Partisipasi masyarakat juga diperlukan agar mereka dapat mengawasi jalannya penyelenggaraan Pemerintahan daerah.

Dalam konteks pemerintahan daerah, otonomi daerah sejatinya bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Namun, tujuan ini sangat paradoks dengan praktik ekonomi daerah yang terjadi dewasa ini, dimana ruang untuk partisipasi masyarakat belum sepenuhnya difasilitasi. Pada sisi lainnya, kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah juga tidak terwujud. Hal ini tergambar dari beberapa survey yang dilakukan oleh Ombudsman RI. Terkait tingkat partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik.

Partisipasi masyarakat yang sangat rendah dalam mengawal jalannya perbaikan pelayanan publik disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama: penyusunan standar pelayanan tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat. Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009, mengamanatkan bahwa dalam pelayanan, penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait. Kedua: tidak ada sarana maupun mekanisme penyampaian aduan dari masyarakat. Partisipasi masyarakat selain memberikan penilaian terhadap Kepuasan layanan yang diberikan, juga dapat menyampaikan pengaduan kepada instansi terkait, namun sarana untuk penyampaian aduan masih jarang dijumpai, terutama pelayanan dasar di tingkat kecamatan dan kelurahan yang notabene sebagai ujung tombak pelayanan. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan mengontrol kinerja pemerintah maupun aparaturnya. Ketiga: Tidak adanya tindak lanjut penyelesaian pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat. Hal demikian menumbuhkan sikap masyarakat yang apatis terhadap perbaikan pelayanan publik. Pengaduan masyarakat yang masuk ke instansi, bahkan sering tidak dicatat dan ditanggapi. Permasalahan pengaduan yang tidak dicatat lebih dominan pada aspek teknis, seperti sarana prasarana serta kemauan penyelenggara pelayanan melakukan tertib administrasi. Permasalahan pengaduan tidak ditanggapi lebih dominan pada aspek kompetensi dan motivasi kerja pegawai unit pengelolaan pengaduan. Pasal 40 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 menjamin hak masyarakat untuk mengadukan

Baca Juga: Tantangan Baru Pembelajaran Tatap Muka

Penyelenggara pelayanan publik kepada penyelenggara baik itu DPR/DPRD maupun Ombudsman. Pengaduan pelayanan publik dari masyarakat kepada penyelenggara yang sangat sedikit ini dikarenakan adanya stigma di masyarakat yang belum mempercayakan penyelesaian kepada instansi yang dilaporkan. Sebagian lagi masyarakat menyampaikan pengaduan kepada DPR atau DPRD, namun laporan tersebut sering berujung tanpa penyelesaian konkrit. Hal ini disebabkan belum adanya mekanisme penyelesaian pengaduan yang terlembaga. Pengawasan yang dilakukan oleh DPR atau DPRD lebih banyak aspek politiknya, sehingga laporan/pengaduan masyarakat tidak berujung penyelesaian. Keempat : masyarakat takut salah dalam melapor. Kendala minimnya partisipasi masyarakat juga disebabkan adanya ketakutan “salah alamat” dalam melapor jika ada penyimpangan dalam pelayanan publik. Oleh karena itu perlu diwujudkan sistim pengaduan pelayanan publik yang terintegrasi secara nasional.

Dalam konteks otonomi daerah, pelibatan masya­rakat sangat penting, karena hal tersebut berkaitan dengan hak masyarakat untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan tugas  daerah adalah mem­beri ruang kepada warganya. Partisipasi amat penting untuk menjamin agar penyelenggara pemerintahan daerah benar-benar mengabdi pada kepentingan warga, sebagai pengguna pelayanan publik, untuk menyampaikan keluhan serta mekanisme penyelesaian sengketa antara masyarakat dan penyelenggara pelayanan publik.

 

Peranan APIP (Aparat Pengawas Internal Peme­rintah) dalam mendukung peningkatan pelayanan publik serta peningkatan reformasi birokrasi merupakan salah satu program pemerintah yang berfokus pada penerapan prinsip-prinsip clean government dan good governance. Prinsip-prinsip tersebut diyakini akan mengarahkan pada Pemerintahan Berbasis Kinerja dengan berdasarkan pada prinsip 3E (efektif, Efisien, dan Ekonomis), serta berorientasi pada ( berintegritas tinggi dan akuntabel ) bersih dari Praktik KKN dan akuntabel terhadap publik.Dengan menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efisien untuk kepentingan pelayanan publik yang berkualitas yang mampu memenuhi publik needs. Peranan penting APIP dalam implementasi inovasi birokrasi tertuang pada tugas dan fungsi APIP sebagai Tim Penilai Internal pembentukan Zona Integritas menuju wilayah bebas dari Korupsi dan wilayah bersih dan melayani serta penilaian mandiri pelaksanaan reformasi birokrasi, dengan tujuan untuk mening­katkan pelayanan publik. Sistim pengawasan, ibarat sistim imun tubuh yang melindungi sistim pemerintah dari dalam dengan tujuan peningkatan kualitas transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini menjadi tantangan untuk tercapainya sistim pengawasan yang kuat. Sistim pengawasan yang kuat merupakan elemen penting untuk menjaga agar reformasi birokrasi dapat terwujud. Reformasi ini diharapkan dapat membuahkan hasil yang positif khususnya dalam perbaikan pelayanan publik, efektifitas dan akuntabilitas serta kegiatan pencegahan korupsi.semoga.( WELLEM RIRIHATUELA, SE. MM. Pengawas Pemerintahan (PPUPD) Inspektorat Provinsi Maluku)