Budi membaca buku Wati mencuci pakaian Bapak membaca koran Ibu menyapu halaman  (Bahasa Indonesia-Belajar Membaca dan Menulis 1a)

KUTIPAN di atas berasal dari buku teks wajib pelajaran bahasa Indonesia kelas 1 SD. Bagi pelajar SD era 80-an, pasti semua ‘kenal’ Budi dan keluarganya dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan keluarga tersebut setiap pagi; Budi membaca buku, Wati mencuci pakaian, bapak membaca koran, ibu menyapu halaman, dan Iwan bermain. Tiap-tiap anggota keluarga Budi sudah memiliki peran dan fungsi sosialnya masing-masing. Peran dan fungsi sosial sudah ditanamkan sejak dini melalui keluarga, hikayat-hikayat, cerita rakyat, dan bahkan pendidikan formal. Kutipan di atas adalah contoh bentuk penanaman peran dan fungsi sosial tersebut, secara tidak langsung, melalui pelajaran bahasa Indonesia, pendidikan formal. Tentu saja dalam masyarakat berbudaya patriarki seperti di Indonesia, kutipan di atas terlihat seperti tidak ada persoalan.

Peran dan fungsi tiap-tiap anggota keluarga seperti dalam kutipan di atas dapat dimaklumi, bahkan dianggap sudah seperti itu adanya. Hal tersebut akan menjadi persoalan ketika peran dan fungsi sosialnya kita putar, yaitu Wati membaca buku, Budi mencuci pakaian, ibu membaca koran, bapak menyapu halaman, dan Iwan bermain, karena ia masih kecil. Di mana persoalannya? Persoalannya adalah pada nilai kepatutan dan kepantasan—sudah umum dimaklumi dalam masyarakat patriarki—yang dilegitimasi adat, kebiasaan, dan bahkan tafsir doktrin agama.   Diperkasakan adat Dominasi laki-laki begitu kuat dalam kehidupan sosial kita yang dilegitimasi oleh adat dan tafsir atas doktrin agama. Secara tidak langsung dominasi ini merupakan ‘kesepakatan’ yang terbentuk dari interaksi sosial manusia satu dengan manusia lainnya berdasarkan norma adat yang dilegitimasi tafsir doktrin agama. Kondisi ini menempatkan perempuan secara sosial pada ruang domestik yang mengurus pekerjaan rumah. Padahal banyak potensi yang dimiliki perempuan dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan publik yang umum didominasi oleh laki-laki. Sejarah Aceh membuktikan betapa perkasanya perempuan-perempuan Aceh pada masa kejayaan kesultanan. Perannya pun bukan peran yang umum disematkan kepada perempuan yang menggoda, merayu untuk mengalihkan perhatian, atau memasak di dapur umum dan sebagainya.

Peran para perempuan Aceh ini adalah peran sentral seperti panglima dalam pertempuran di darat maupun di laut; peran sebagai ratu dalam sebuah kerajaan dan sebagainya. Peran para perempuan di medan tempur ini tidak hanya seorang saja, melainkan dua puluh satu (21) perempuan sudah terdata dan terverifikasi keberadaan dan perannya dalam masyarakat melalui sebuah penelitian yang sangat panjang. Hasil penelitian ini sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul 21 Perempuan Perkasa yang Ditempa oleh Budaya Aceh, ditulis Qismullah Yusuf, diterbitkan oleh Pustaka Alvabet-Yayasan Sukma (Oktober 2021).

Temuan yang menarik adalah ‘keperkasaan’ perempuan-perempuan tersebut bukan hanya di medan tempur, tapi juga berperan dalam menata kehidupan politik kerajaan Sultan Iskandar Muda. Saat itu, Putroe Phang mengusulkan perempuan masuk dalam Majelis Syura (parlemen). Sultan menyetujui gagasan tersebut sehingga, sebagai penghormatan kepada Putroe Phang, dibuatlah hadih maja (kata-kata berkhidmat) dalam bahasa Aceh, yang berbunyi ‘Adat bak Po Teumeureuhom; Hukom bak Syi-yah Kuala; Qanun bak Putroe Phang; Resam bak Laksamana; Hukom ngon adat lagee zat ngon sifuet’. Secara bebas dapat diartikan sebagai berikut; Kekuasaan eksekutif ada di tangan Sultan; yudikatif ada di tangan ulama; qanun atau legislatif diserahkan kepada Putroe Phang; resam dipercayakan kepada Laksamana Malahayati; adat, qanun, dan resam tidak boleh dipisahkan dari hukum atau ajaran Islam (Yusuf, 2021). Dari kutipan di atas terlihat bagaimana kekuasaan, adat, dan ajaran agama tidak menghalangi, apalagi meniadakan sama sekali peran perempuan dalam politik.

Baca Juga: Dana Desa Rawan Kepentingan Bisnis Aparat Hukum

Doktrin agama ditafsirkan secara bijak dan luwes, tidak diskriminatif terhadap perempuan. Dalam satu masa pemerintahan ada dua perempuan yang ‘diperkasakan’ oleh politik dan adat serta dilegitimasi oleh tafsir doktrin agama, yaitu Putroe Phang dan Laksamana Hayati.   Sejarah dan pendidikan Sejarah membuktikan bahwa sejak dulu masyarakat Aceh terbuka terhadap adat dan doktrin dalam menempatkan posisi perempuan dalam kehidupan sosial. Pemberlakukan qanun dan syariat Islam tidak menghalangi peran perempuan di ranah publik. Peran Putroe Phang sebagai penasihat sultan dan kepala legislasi (qanun) Kesultanan Iskandar Muda; Putri Ratna Keumala dan Putri Nurul A’la sebagai pembuat sistem dan tata Kelola keuangan Kerajaan Jeumpa; Putri Lindung Bulan menggagas pendidikan vokasi dan pengembangan ekonomi rakyat melalui kerajinan tangan; atau Laksamana Maharani dan Laksamana Malahayati sebagai panglima perang di darat maupun laut; juga tokoh seperti Cut Nyak Dien yang seluruh hidupnya memimpin perjuangan membebaskan rakyatnya dari penjajahan Belanda melanjutkan perjuangan suaminya, adalah bukti bahwa adat dan ajaran agama tidak melarang atau mengekang peran-peran perempuan dalam ranah publik. Islam yang datang ke Aceh yang dibawa oleh Pangeran Salman al-Farisi ketika mendakwahkan Islam kepada Raja Jeumpa adalah Islam yang luwes dan tidak melawan adat lama, tetapi membaurkannya sehingga adat lama tetap tumbuh dan terpelihara (Yusuf, 2021: 61).

Proses penelitian yang cukup panjang dan dengan literatur yang terbatas, penulis memulai penelitian dari mendengar cerita-cerita rakyat maupun dari guru-guru beliau dalam pelajaran sejarah, dan mencatatnya secara telaten dalam buku. Langkah berikutnya ialah memilah dan mengeluarkan tokoh dari mitos untuk membuktikan eksistensi dan peran tokoh berdasarkan bukti-bukti sejarah. Langkah ini dilakukan dengan mewawancarai lebih dari 250 narasumber dan informan, di antaranya 25 ulama Aceh masa 60-an dan 70-an. Selain itu, observasi, visitasi, diskusi, Google search, imajinasi dan ilustrasi juga dilakukan, mengingat minimnya literatur. Langkah berikutnya ialah analisis data dan penulisan cerita-cerita tersebut didasarkan pada bukti sejarah.

Berbagai versi cerita dimunculkan dengan bukti-bukti sejarahnya untuk memberi ruang penelitian lanjutan bagi peneliti-peneliti sejarah berikutnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa karakter generasi mendatang ditentukan oleh penyebaran nilai-nilai baik masa lalu melalui cerita-cerita rakyat dan pendidikan agar tidak terjadi distorsi sejarah. Kondisi bangsa saat ini, khususnya Aceh, hanya mampu membanggakan masa lalu tanpa kemampuan mengambil hikmah masa lalu yang egaliter dan ajaran Islam yang luwes dan toleran. Wallahu a’lam.( Mahyudin, Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma)