TIAKUR, Siwalimanews – Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengungkapkan Hari Kebangkitan Nasional harus dijadikan sebagai bahan refleksi.

“Refleksi atas pilihan tersebut bisa kita rujuk dengan berkunjung kembali kepada gagasan awal menjadikan dan membentuk Indonesia, kata Menkominfo dalam sambutan yang dibacakan inspektur upacara Dandim 1511 Pulau Moa, Letkol Inf Galih Perkasa saat upacara yang berlangsung di halaman Kantor Bupati, Senin (20/5).

Dikatakan bagaimana sejarah telah membentuk kebangsaan kita. Sejarah diperlukan bukan karena sensasi politiknya. Juga bukan sebagai sumber keteladanan nilai semata-mata.

“Hari-hari ini kita dihadapkan pada suatu realitas yang terpampang terang yakni, kemajuan teknologi yang melesat cepat,” ujarnya.

Hari-hari ini hingga dua dekade ke depan, lanjutnya merupakan momen krusial yang akan sangat menentukan langkah dalam mewujudkan itu semua.

Baca Juga: Soal Caleg Terpilih Wajib Mundur, KPU Tunggu PKPU

Tetapi, lanjutnya pada percakapan terus menerus tentang kemajuan, kemanusiaan dan kesejahteraan. Keteladanan tidak harus diikatkan pada masa lalu. Namun dapat dikaitkan dengan masa depan, yaitu pada ide-ide yang membuka ruang imajinasi peradaban.

Lebih dari seabad lalu, tepatnya pada 20 Mei 1908, lahir organisasi Boedi Oetomo, yang di masa itu telah menumbuhkan bibit bagi cita-cita mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

“Hari berdirinya Boedi Oetomo inilah yang kelak menjadi simbol dari Hari Kebangkitan Nasional yang kita rayakan hari ini,” ucapnya.

Organisasi Boedi Oetomo bermula dari sejumlah dokter dan calon dokter di Batavia yang berkumpul mendirikan suatu organisasi modern.

“Banyak orang menaruh harapan pada organisasi ini dan menganggapnya sebagai motor penggerak gerakan kemerdekaan di tanah Hindia Belanda. Bahkan Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis Belanda, menyatakan, Sesuatu yang ajaib sedang terjadi, Insulinde molek yang sedang tidur, sudah terbangun”, urainya.

Boedi Oetomo juga menjadi awal mula tempat orang belajar dan berdebat tentang banyak hal, seperti pentingnya pendidikan barat bagi rakyat Hindia Belanda serta penyebaran pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang priyayi atau bukan.

Dari sana timbul pula pemikiran tentang pentingnya memperluas keanggotaan yang mencakup seluruh rakyat hindia Belanda.

“Apa yang telah dirintis Boedi Oetomo dilanjutkan oleh banyak organisasi lain yang muncul belakangan. Nasionalisme Jawa khas Boedi Oetomo diperluas menjadi nasionalisme yang mencakup keseluruhan orang-orang di Hindia Belanda. Pendidikan yang hanya ditujukan pada priyayi Jawa diperluas menjadi pendidikan untuk seluruh rakyat Bumiputera,” katanya.

Perjuangan memajukan kebudayaan Jawa katanya, diperluas menjadi perjuangan politik mengusir penjajahan Belanda. Perluasan dari cita-cita yang telah ditumbuhkan oleh Boedi Oetomo mencapai titik puncaknya pada proklamasi kemerdekaan.

Sebelum Boedi Oetomo, adalah Kartini, perempuan dari kota kecil Jepara, yang mengawali lahirnya gagasan kemerdekaan, kebebasan, kesetaraan, keadilan, persaudaraan dan kemajuan, melalui tulisan-tulisannya yang tersiar ke penjuru dunia.

“Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan di Indonesia untuk pertama kali muncul sejak lebih dari seabad lalu. Di tangannya kemajuan itu dirumuskan, diperinci, dan diperjuangkan, untuk kemudian menjadi milik seluruh bangsa Indonesia,” jelasnya.

Ia sadar betul bahwa dalam zaman baru yang modern, peralatan paling mumpuni adalah pendidikan. Pendidikan adalah wahana untuk membebaskan manusia, sekaligus membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan. Bagi Kartini, pendidikan merupakan jalan yang dapat menguak horizon dan peradaban baru bagi kaum Bumiputera.

Menurutnya, Kartini merupakan pembaharu dalam menggagas sebuah imajinasi mengenai sebuah tatanan masyarakat yang merdeka, dan sebuah cita-cita ideal baru tentang bangsa yang lebih besar dibandingkan asal-usul sosialnya sendiri.

Apa yang digagas Kartini telah jauh melampaui kisah hidupnya sendiri. Ia telah memberikan inspirasi penting bagi sumbu-sumbu kecil, yakni para kaum muda embrio bangsa yang perlahan menjadi menyala, berkobar yang kemudian kita kenal sebagai pergerakan kebangkitan nasional.

Embrio Indonesia lahir dari kemajuan modern dan pencerahan, dari kaum muda berpendidikan yang tidak kehilangan identitas ke-Indonesiaannya. Embrio Indonesia lahir dari keragaman pikiran para “kaum muda” sebagai embrio bangsa”.

Di tangan kaum muda terdidik inilah cita-cita kemerdekaan dan kebebasan dirumuskan dan diperjuangkan.

“Apa yang digagas Boedi Oetomo, Kartini dan para embrio bangsa, kemudian dirumuskan Bung Karno sebagai jembatan emas,” ujarnya.

Kemerdekaan dibayangkan Bung Karno sebagai sebuah jembatan emas yang akan membawa bangsa Indonesia menikmati kehidupan sejahtera lahir dan batin di atas tanah sendiri. Bung Karno juga menekankan bahwa di ujung “jembatan emas” akan selalu ada kemungkinan yang dapat membawa Indonesia menuju kebaikan ataupun sebaliknya, yang dalam bahasa Bung Karno “bahagia bersama atau menangis bersama”.

“Hari ini, kita berada pada fase kebangkitan kedua, melanjutkan semangat kebangkitan pertama yang telah dipancangkan para pendiri bangsa. Berbeda dengan perjuangan yang telah dirintis lebih dari seabad yang lalu, kini kita menghadapi berbagai tantangan dan peluang baru. Kemajuan teknologi menjadi penanda zaman baru,” tandasnya.(S-27)