SECARA umum berbagai lembaga internasional–sebut saja International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) – memberikan peringatan dini bahwa prospek perekonomian dunia di 2024 sangat menantang.

Salah satu yang disebutkan ialah efek lanjutan dari perang di Ukraina berlanjut ke perang kelompok Hamas (Palestina) versus Israel. Efek perang tentu tidak baik bagi perekonomian dunia dan kawasan mana pun karena mengganggu jalur distribusi global. Adapun inflasi global yang masih tinggi mendorong bank-bank sentral, terutama di negara-negara maju, tetap mempertahankan suku bunga acuan tinggi. Suku bunga acuan di Amerika Serikat (AS) pada level 5,25%-5,50% kemudian di Uni Eropa (UE) 4%, dan di Inggris 5,25%.

Sebagai tambahan faktor negatif, pemulihan ekonomi Tiongkok yang lambat juga menambah beban pemulihan ekonomi global, baik tahun ini maupun tahun depan. Tak kalah penting untuk dicermati ialah peristiwa politik di beberapa negara, yang salah satunya ditandai oleh agenda pemilihan presiden, misalnya di AS, yang hasilnya berpeluang mengubah konstelasi geokonomi dan geopolitik global pada 2025 dan seterusnya.

Divergensi pemulihan ekonomi

Yang menarik, di tengah ‘tekanan’ suku bunga tinggi, beberapa ekonomi negara yang tadinya dikhawatirkan tetap melemah justru menunjukkan sinyal pemulihan lebih cepat. Ketahanan ekonomi yang menggembirakan di AS, Jepang, dan India membantu meningkatkan prospek ekonomi global untuk 2024 tidak seseram yang dibayangkan sebelumnya.

Baca Juga: Kedaulatan Rakyat Dikorupsi

IMF memberikan perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia di 2023 ini sebesar 3% dan pada 2024 menurun tipis ke 2,9% karena dibayang-bayangi sinyal pelemahan yang berlanjut di Eropa (tumbuh 0,7% di 2023 dan 1,2% di 2024) dan Tiongkok (tumbuh 5,0% di 2023 dan 4,2% di 2024). Keduanya berjuang dengan lingkungan yang semakin sulit untuk perdagangan dan meningkatnya ketegangan geopolitik.

Jerman (tumbuh minus 0,5% di 2023 dan 0,9% di 2024), ekonomi terbesar di Eropa, sudah mengalami kontraksi karena perlambatan tajam dalam aktivitas manufaktur dan berkurangnya permintaan dari Tiongkok, mitra dagang terbesarnya. Sementara itu, aktivitas ekonomi di 20 anggota penuh zona euro dan Inggris (tumbuh 0,5% di 2023 dan 0,6% di 2024) terlihat mendatar dan memiliki waktu yang lebih lama untuk pulih jika harga energi terus naik seperti yang mereka rasakan selama dua tahun terakhir.

Kalaupun perekonomian UE diperkirakan membaik pada 2024 (tumbuh 1,2%), diyakini fase pemulihannya masih terlalu dangkal. Yang dikhawatirkan, telah terjadi fragmentasi pemulihan ekonomi di UE sebagaimana disitir mantan Kepala Ekonom IMF, Gita Gopinath, yang kini menjabat Wakil Pertama Ketua IMF, dalam salah satu pidatonya.

Menurutnya, sekarang ada tanda-tanda jelas bahwa investasi asing langsung (FDI) global, termasuk oleh UE, tersegmentasi di sepanjang garis geopolitik. Selama dekade terakhir, tujuan untuk FDI global semakin didorong oleh kedekatan geopolitik ketimbang kedekatan geografis. Hal ini terutama terjadi untuk FDI ke sektor-sektor strategis atau di mana negara penerima adalah pasar yang sedang berkembang.

Ketergantungan tidak langsung UE kepada negara-negara yang tidak selaras secara politik dengannya bahkan lebih tinggi dalam beberapa kasus penting. Ambil contoh, ketergantungan UE kepada Tiongkok. Pentingnya Tiongkok sebagai sumber utama input ke dalam produksi dan sebagai pasar akhir untuk produk buatan UE terus meningkat, termasuk untuk manufaktur. Dalam kasus sektor otomotif yang berbasis di UE, Tiongkok menyediakan 10% dari nilai tambah akhir dan merupakan pasar akhir untuk 7% mobil buatan UE.

Penelitian IMF menunjukkan, bentuk ekstrem fragmentasi geoekonomi dalam perdagangan dapat menghapus 7% dari produk domestik bruto (PDB) global dalam jangka menengah. Dengan blok ekonomi saingan dan hubungan global yang terasing, ini akan menjadi dunia yang tidak hanya kurang makmur. tetapi juga kurang aman dalam hal keamanan ekonomi dan nasional.

Jadi, kawasan UE mungkin menjadi tempat terbaik untuk menunjukkan bagaimana kerja sama atau kolaborasi dapat membantu menavigasi dunia yang terpecah. Ini lantaran keanggotaan UE yang besar dan beragam dari negara-negara maju dan berkembang menyediakan ruang lingkup dan skala untuk mendukung rantai pasokan yang berbasis di Eropa.

Ketika perekonomian UE bergerak lambat, sebaliknya dengan pertumbuhan ekonomi AS yang konsisten selama tiga kuartal terakhir (2,0%, 2,2%, dan 5,2% masing-masing di kuartal pertama, kedua, dan ketiga tahun ini), yang memberikan sentimen positif bagi pemulihan awal perekonomian dunia.

Kebangkitan ekonomi AS didorong oleh konsumsi yang tinggi, diikuti oleh perbaikan sektor manufaktur dan jasa, lantaran masyarakat dan pebisnis di AS mampu memahami dan menerima kenyataan bahwa kini mereka hidup di era suku bunga tinggi (suku bunga The Fed sebesar 5,25%-5,50%).

Mereka juga optimistis, cepat atau lambat laju inflasi akan menuju ke target 2% diikuti oleh penurunan suku bunga acuan. Bahkan saat ini diyakini The Fed sudah menghentikan kenaikan suku bunga acuan dan menahannya selama enam bulan ke depan. Untuk kemudian The Fed mencari momentum mulai menurunkan suku bunga acuan, setidaknya di akhir kuartal kedua atau awal kuartal ketiga 2024.

Sebagai ‘penyeimbang’ melemahnya perekonomian UE, kawasan Asia menunjukkan kinerja yang cemerlang, dimotori oleh India (tumbuh 6% di 2023 dan 2024) dan Indonesia (tumbuh 5% pada 2023 dan 2024) serta dua negara ASEAN, yaitu Vietnam dan Filipina (masing-masing tumbuh 6%).

Dalam laporan World Economic Outlook (WEO) edisi Oktober 2023, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara ASEAN setahun ke depan cukup cerah. Dari 11 negara ASEAN, ada delapan negara yang pertumbuhan ekonominya diprediksi menguat pada 2024, sementara tiga negara lainnya tumbuh stabil.

Negara ASEAN yang pertumbuhannya diproyeksikan menguat ialah Kamboja, Filipina, Vietnam, Malaysia, Thailand, Timor Leste, Singapura, dan Brunei Darussalam. Kemudian negara yang pertumbuhannya diramal stabil ialah Indonesia, Laos, dan Myanmar.

Arah suku bunga acuan

Menjalani periode 2024, perekonomian global tampaknya akan terpapar kabar baik, seiring berkembangnya asumsi bahwa sebagian besar bank sentral negara maju sudah selesai–atau setidaknya hampir selesai–menaikkan suku bunga acuan.

Penghentian kenaikan suku bunga acuan, diikuti periode masa jeda sekitar enam bulan, untuk kemudian memulai penurunan suku bunga acuan akan membawa insentif bagi pemulihan ekonomi dunia di semester kedua 2024 berlanjut di 2025 dan seterusnya.

Sinyal penguatan ekonomi dunia di 2024 juga membawa berkah bagi sektor keuangan yang selama ini berada di sisi hilir. Permintaan kredit diperkirakan meningkat, aktivitas pasar modal juga meningkat, akumulasi penghimpunan dana melalui berbagai instrumen investasi juga melonjak, sehingga secara akumulatif akan mendorong perbaikan ekonomi secara penuh di 2025.

Secara historis, jeda waktu antara akhir siklus kenaikan dan penurunan suku bunga acuan telah mengisyaratkan peluang penting bagi investor untuk memindahkan uang tunai mereka ke instrumen investasi–semisal saham dan obligasi–yang selama penantian suku bunga acuan cenderung dihindari.

Tahun 2024 memang akan menjadi ‘fase transisi’ bagi perekonomian dunia untuk mampu melewati berbagai tantangan besar yang membayangi–inflasi tinggi, suku bunga acuan tinggi, distorsi harga minyak dunia, risiko geopolitik dan geoekonomi, serta risiko perubahan iklim.

Selain itu, 2024 juga akan menjadi fase pemulihan yang sangat penting, tidak hanya di AS, tetapi juga di banyak negara lain, termasuk India, Rusia, Afrika Selatan, Taiwan, dan Inggris. Dengan demikian, secara global ini bisa menjadi tahun pemulihan paling berdampak dalam sejarah.

Oleh karena itu, sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi global melalui koordinasi dan kolaborasi antarnegara dan antarkawasan untuk menihilkan divergensi atau fragmentasi, sudah pada tempatnya jika setiap negara juga memikul tanggung jawab untuk mendukung penanganan perubahan iklim sesuai dengan Kesepakatan Paris 2015.

Jangan sampai pemulihan ekonomi dunia menyisakan lubang permasalahan baru berupa risiko perubahan iklim yang ekstrem. Hal yang akan membuyarkan upaya pemulihan ekonomi global ke depannya sehingga membebani generasi-generasi berikutnya.

Catatan penutup

Sementara fragmentasi geoekonomi telah menjadi kenyataan atau setidaknya masih dalam tahap awal, maka menjadi tanggung jawab setiap negara untuk menentukan sejauh mana hal itu akan memengaruhi lanskap ekonomi global.

Diperlukan beberapa penataan kembali hubungan ekonomi mengingat realitas geopolitik baru lantaran saat ini semua pihak sedang diuji oleh ketegangan geoekonomi dan geopolitik global. Menyamakan persepsi dan tujuan kolektif oleh para pengambil kebijakan di setiap negara untuk pemulihan ekonomi dunia–di tengah risiko suku bunga tinggi, krisis biaya hidup di sejumlah negara maju, kegentingan politik, dan peralihan kepemimpinan nasional di beberapa negara–menjadi mutlak untuk kepentingan kolektif global. Oleh: Ryan Kiryanto Ekonom senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia.(*)