SEBAGAI sebuah negara yang memiliki 17.504 pulau, terbanyak keenam di dunia setelah Swedia, Norwegia, Finlandia, Kanada, dan Amerika Serikat (World Atlas, 2020), tentunya Indonesia berpotensi meningkatkan pendapatan melalui pemanfaatan pulau-pulau kecil (PPK) dan perairan di sekitarnya yang memiliki keanekaragaman hayati laut, antara lain terumbu karang, mangrove, padang lamun, ikan karang, mamalia laut, crustacea, penyu, sponge, soft coral, dan jasa-jasa kelautan seperti benda muatan kapal tenggelam (BMKT), wisata bahari, dan garam. Pemanfaatan PPK, dalam pelaksanaannya, wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan dan kelestarian sistem tata air setempat, serta menggunakan teknologi yang ramah lingkungan sesuai dengan Undang-Undang No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PPK. Selain ketiga hal tersebut, pemanfaatan pulau sangat kecil (tiny island) berukuran di bawah 1 hektare berjumlah 8.837 pulau, atau lebih dari 50% dari jumlah pulau, yang luasannya mencapai 2.114 ha, hanya diperuntukkan bagi kegiatan pertahanan keamanan maupun konservasi agar kelestarian pulau tetap terjaga.

Luasan pulau dan tarif Dengan terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja No 11 Tahun 2020, yang memudahkan perizinan berusaha, termasuk pemanfaatan PPK pada kawasan hutan dan pulau berpenduduk, maka peluang investasi semakin mudah dan terbuka lebar. Pemanfaatan PPK pada kawasan hutan harus dilakukan secara hati-hati untuk menjaga kelestarian pulau yang kewenangannya diatur KLHK. Adapun di PPK berpenduduk, pemanfaatannya harus dikelola dengan baik agar tidak terjadi konflik dengan masyarakat lokal. Mengacu pada data toponimi pulau, garis pantai gazetir pulau, status dan fungsi kawasan hutan, serta pulau berpenduduk yang dianalisis overlay secara geospasial menggunakan aplikasi SIG (Sistem Informasi Geospasial), maka diperoleh 3.863 PPK tidak berpenduduk, bukan kawasan hutan, dan bukan tiny island dengan luas lebih dari 510.000 ha. Luas lahan di pulau inilah, jika dikelola dan dikerjasamakan dengan baik, berpotensi besar menghasilkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Dari jumlah PPK tersebut di atas, sebanyak 69 pulau-pulau kecil terluar (PPKT) dan 1 pulau yang terbentuk dari tanah timbul telah dan akan disertifikatkan atas nama pemerintah Indonesia c.q KKP sebagai barang milik negara (BMN), dengan luas kurang lebih 800 ha, yang 30 ha di antaranya telah dikerjasamakan dengan pihak swasta. Dengan demikian, kurang lebih 770 ha sisanya dapat dikerjasamakan dengan mitra pemanfaat BMN berupa tanah di pulau, baik dari BUMN, swasta, koperasi, maupun UMKM. Regulasi pemanfaatan lahan di PPK mengacu pada tiga hal, yakni kerja sama pemanfaatan lahan di pulau sebagai BMN dengan besaran kontribusi tetap dan profit sharing harus melalui kajian/persetujuan Kementreian Keuangan, izin pemanfaatan PPK dalam rangka PMA dengan tarif Rp30,8 juta/ha, dan rekomendasi pemanfaatan PPK dengan luas di bawah 100 km2, yang tarifnya diusulkan Rp25,4 juta/ha melalui revisi PP No 75/2015, tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Perolehan PNBP Hingga saat ini, pemanfaatan lahan di PPK masih terbatas pada jumlah pulau maupun nilai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Di antaranya, kerja sama pemanfaatan BMN Pulau Nipa di Kota Batam seluas 30 ha selama 30 tahun akan menghasilkan PNBP sebesar Rp1,52 triliun, yang terdiri atas kontribusi tetap lebih kurang Rp120 miliar dan profit sharing mencapai Rp1,4 triliun, serta izin pemanfaatan PPK melalui PMA di Kabupaten Belitung seluas 20,5 ha dengan nilai PNBP mencapai Rp631 juta. Apabila dari 800 ha lahan PPKT termasuk tanah timbul yang merupakan BMN, 300 ha di antaranya dikerjasamakan selama 30 tahun seperti halnya Pulau Nipa di Kota Batam, maka PNBP yang diperoleh mencapai Rp15,2 triliun, yang berasal dari kontribusi tetap Rp1,2 triliun dan profit sharing Rp14 triliun. Tentunya, nilai PNBP sangat dipengaruhi oleh investasi pemerintah untuk merehabilitasi pulau, menyertifikatkan pulau, nilai keindahan alam, dan keunikan ekosistem pulau. Selain pemanfaatan lahan BMN pulau, sumber PNBP lainnya berupa izin pemanfaatan PPK melalui PMA dan rekomendasi pemanfaatan PPK di bawah 100 km2 yang potensi lahannya lebih dari 500.000 ha.

Jika diasumsikan, pemanfaatan lahan pulau sebesar 300.000 ha terdiri atas 100.000 ha dimanfaatkan melalui izin pemanfaatan PPK dalam rangka PMA dengan nilai PNBP mencapai Rp3,08 triliiun dan 200.000 ha melalui rekomendasi pemanfaatan PPK dengan luas di bawah 100 km2 (PNBP mencapai Rp5,08 triliun). Dengan demikian, total perolehan PNBP mencapai Rp8,16 triliun. Melihat potensi PNBP dari pemanfaatan lahan di PPK, maka pemerintah harus bergerak cepat menuntaskan semua turunan UU Cipta Kerja, baik peraturan pemerintah maupun peraturan menteri K/L terkait, sekaligus menyosialisasikannya kepada pemerintah daerah, pelaku usaha, perbankan, masyarakat pulau, dan NGO/LSM.

Baca Juga: Peran Bakteri Mulut dalam Penanganan Covid-19

Dengan dukung­an pengawasan yang kuat dalam pemanfaatan PPK, juga disertai sanksi tegas, maka kontribusi perolehan PNBP akan sangat signifikan, yang dapat mendorong peningkatan pendapatan negara dan kesejahteraan bagi masyarakat di PPK. (Rido Miduk Sugandi Batubara, Ahli Madya Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir (PELP) Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, KKP)