PEMBELAJARAN jarak jauh (PJJ) yang ‘terpaksa’ dilakukan satuan pendidikan selama hampir satu setengah tahun terakhir ini, sebagai akibat dari merebaknya covid-19, ditengarai akan memicu terjadinya kesenjangan kualitas pencapaian hasil pembelajaran siswa; di samping potensi kehilangan pembelajaran (learning loss). Meskipun studi yang lebih komprehensif pada dampak pandemi covid-19 terhadap pembelajaran siswa pada semua jenjang dan jenis pendidikan belum pernah dilakukan, penelitian dan pengamatan secara terbatas terhadap hasil pembelajaran siswa mengindikasikan bahwa kesenjangan hasil pembelajaran (quality discrepancy) diperkirakan akan semakin menganga. Kesenjangan kualitas hasil pembelajaran siswa diperkirakan disebabkan sejumlah faktor, di antaranya keterbatasan sosio-ekonomi dan pendidikan sebagian masyarakat (orangtua) sehingga menimbulkan permasalahan pada pendampingan siswa dalam belajar di rumah, ketidaksiapan manajemen sekolah, guru, siswa, teknologi, dan kurikulum.

Andreas Schleicher (2020) mengatakan aspek yang paling mengganggu ialah pandemi telah memperbesar banyak ketidakadilan dalam sistem Pendidikan, termasuk akses yang tidak setara ke komputer dan internet broadband yang diperlukan untuk pendidikan daring, kurangnya lingkungan rumah yang mendukung untuk belajar, dan kegagalan sekolah untuk menarik guru berbakat ke ruang kelas yang paling menantang. Sebaliknya dikatakan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga yang memiliki keistime­waan, sedikit diuntungkan secara ekonomi dan akses. Mereka tidak hanya mendapat dukungan kuat dari orangtua untuk dapat fokus pada pembelajaran, tetapi juga menemukan jalan keluar dari ditutupnya sekolah dengan membukakan kesempatan pembelajaran alternatif melalui tutor pribadi dan ruang belajar lainnya. Sebaliknya, anak-anak yang berasal dari latar belakang yang kurang beruntung secara ekonomi, kesempatan serupa tetap tertutup ketika sekolah mereka ditutup dan kemungkinan besar mereka juga akan tidak sanggup menjembatani kesenjangan yang semakin lebar.

Penelitian Puslitjak pada Januari 2021, sebagaimana dikemukakan Handayani M (2021), menemukan kesenjangan serupa. Menurut guru yang disurvei, selama belajar dari rumah berdam­pak pada ketertinggalan pelajaran yang angkanya mencapai 31%, hambatan pada pemahaman pelajaran sebesar 42%. dan ketidaktuntasan kurikulum sebesar 44%.   Kurikulum dan penilaian standar  Kesenjangan (baca: ketidakadilan) hasil pembelajaran bukanlah merupakan sesuatu yang baru diketahui, yaitu sebagai akibat pandemi. Data hasil penilaian berskala besar (large-scale assessments), seperti ujian nasional (UN) sebelumnya dan penilaian eksternal lainnya menunjukkan kesenjangan kualitas itu, baik antarsiswa dalam suatu sekolah, antarsekolah, maupun daerah/wilayah. Namun, upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan persoalan kesenjangan kualitas itu selalu dengan menggunakan pendekatan dan strategi yang relatif sama dari tahun ke tahun, yaitu dengan terus meneguhkan keberadaan kurikulum standar nasional dan penilaian standar nasional (standardized assessment).

Dengan pendekatan ini, setiap individu siswa menda­patkan pembelajaran dengan kurikulum yang sama dan mereka pun dinilai dengan cara yang sama. Sementara itu, perbedaan hasil penilaian dianggap mencerminkan perbedaan dalam kemampuan dan/atau usaha belajar siswa. Nilai rapor yang diterima siswa pada setiap akhir tahun ajaran diasumsikan mencerminkan seberapa baik mereka telah belajar selama tahun ajaran tersebut. Sistem penilaian kurikulum ini dianggap sebagai meritokratis karena memung­kinkan setiap siswa untuk bersaing dengan pijakan yang sama dan dinilai berdasarkan kemampuan mereka (Geoff Masters, 2021). Setiap persaingan yang sehat memiliki yang disebut dengan ‘pemenang’ dan ‘pecundang.’ Yang penting ialah setiap individu yang memulai balapan berangkat dari titik awal yang sama (Sandel, 2020). Kalimat terakhir dari Sandel ini akan menjadi dasar dalam diskusi tentang kesenjangan/keadilan pendidikan. Apakah sekolah sudah seperti itu, setiap individu siswa awalnya berada pada titik yang sama? Dengan beragam latar sosioekonomi, geografis, dan lingkungan, siswa pada waktu memulai pembelajaran realitanya memang sudah berbeda-beda titik (points of depature). Perbedaan itu terus berlanjut sampai ke jenjang-jenjang berikutnya. Meskipun sebagian siswa mungkin masih mengalami kesulitan untuk memahami pokok bahasan atau konsep tertentu pada suatu kurikulum pembelajaran, guru harus terus bergerak maju (seperti ban berjalan) guna mengejar target pencapaian kurikulum.

Siswa yang masih membutuhkan bantuan guna pemahaman konsep materi itu harus mengikuti penilaian bersamaan dengan siswa yang sudah paham. Kondisi semacam ini dilukiskan Geoff Masters (2021), ‘Suka atau tidak suka, sekolah terus memiliki fungsi pemilahan sosial yang penting. Siswa yang berprestasi di sekolah kemudian akan menjadi anggota elite profesional; banyak juga yang tidak sehingga harus berakhir dengan pekerjaan keterampilan rendah atau tidak memiliki pekerjaan sama sekali’. Lebih lanjut Masters (2021) mengatakan, ‘Menyadari kekuatan pendidikan, sistem sekolah di mana pun berusaha bekerja untuk memberikan kesetaraan kesempatan, terutama dengan memberikan akses kepada setiap siswa ke kurikulum berkualitas tinggi yang sama dan dengan memastikan proses umum untuk menilai pembe­la­jaran siswa dan menghargai kesuksesan. Tujuannya ialah untuk menyediakan lingkungan pembelajaran yang setara, yakni setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan berhasil, terlepas dari perbedaan latar belakang mereka’.

Baca Juga: Paskah Menjadikan Hidup Merekah

Diversifikasi kurikulum  Kurikulum yang adil, me­nurut Masters (2021), akan mengenali bahwa siswa berada pada titik yang sangat berbeda dalam pembelajaran dan mereka juga memiliki kebutuhan belajar yang sangat berbeda. Desain pembelajaran model ‘ban berjalan’ yang mengharapkan semua siswa untuk maju dengan kecepatan yang sama diupayakan diubah. Kurikulum dirancang sebagai kerangka acuan untuk menetapkan poin yang telah dicapai individu dalam pelajaran mereka. Kemudian memastikan setiap siswa diajar dan ditantang pada level mereka saat itu. Kurikulum tidak disekat-sekat berdasarkan tahun sekolah.

Tingkat kurikulum semacam itu akan menentukan urutan dan pembelajaran yang umum untuk semua siswa sambil memungkinkan perbedaan dalam titik awal individu dan tingkat kemajuan. Kurikulum ialah sarana dan alasan di mana sekolah dapat mengoordinasikan pengalaman pendidikan, materi, dan pengajaran serta membimbing sekolah dalam menciptakan kondisi siswa dapat belajar. Kurikulum yang dikembangkan dengan benar mencakup lebih dari sekadar pernyataan tujuan, standar, dan target pembelajaran (Nitko: 1994). Mengingat kepercayaan masyarakat pada keadilan kurikulum dan proses penilaian saat ini, kepercayaan umum bahwa hasil pendidikan meritokratis wajar dan pantas, sementara diversifikasi kurikulum masih sebatas gagasan dan harapan. Kita sebagai pendidik memiliki tanggung jawab untuk terus melipatgandakan upaya guna membuat keadilan pendidikan lebih dari sekadar asa. Wallahualam bissawab.( Syamsir Alam, Divisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma)