HARI-HARI ini ada rasa syukur dan sukacita yang mewarnai langkah-langkah perjalanan hidup umat kristiani. Betapa tidak, dua hari raya gerejawi; Jumat Agung (Kematian Yesus Kristus) dan Paskah (Kebangkitan Yesus Kristus) diperingat umat kristiani pada 2 dan 4 April 2021. Kedua perayaan ini terjadi secara berangkai— pada Jumat dan Minggu- memiliki makna yang amat signifikan, bahkan determinan dalam konteks kekristenan. Kedua perayaan ini, tanpa mengecilkan yang lain, menjadi penentu, menjadi mahkota dari perayaan-perayaan keagamaan kristiani yang lain. Kedua perayaan ini menjadi amat unik dan spesifik yang tak pernah dicari paralelnya dan analoginya dalam kehidupan sekuler.

Kita patut bersyukur bahwa Jumat Agung dan Minggu telah lama dijadikan hari libur nasional sehingga umat kristiani memiliki keleluasaan untuk melaksanakan ibadahnya pada hari-hari tersebut. Umat kristiani Indonesia meyakini kondisi ini akan berlangsung selamanya di semua wilayah Negara Kesatuan RI sebagai implementasi tanggung jawab dan jaminan negara terhadap warganya mewujudkan keberagamannya secara utuh dan konsisten. Bahwa kedua perayaan itu semata-mata suatu rancangan Allah, suatu skenario dari kuasa transenden, ialah hal yang tak bisa dimungkiri. Para murid sebagai the inner circle yang setiap saat berjalan mengiring Yesus ternyata tidak siap dan tidak mengerti tentang dua peristiwa itu. Oleh karena itu, mereka tidak mampu memahami terminologi yang digunakan Yesus, mereka tak bisa menangkap dengan tepat idiom-idiom yang diungkap Yesus. Hal itu terjadi bukan saja karena ada kesenjangan pemikiran antara Yesus dan para murid, melainkan juga karena ada asumsi-asumsi tertentu yang dimiliki para murid tentang Yesus dan pelayanan-Nya yang tidak pas. Tatkala Yesus bicara tentang Kerajaan Allah, misalnya, para murid dan keluarga mereka membayangkan Yesus akan mendirikan sebuah kerajaan seperti pada zaman Daud dan mereka sebagai the inner circle mengharapkan mendapat kursi empuk dalam kerajaan itu.

Dalam konteks itulah Yakobus dan Yohanes mengajukan permintaan agar mereka dapat duduk di sebelah kanan dan kiri Yesus dalam kerajaan yang akan Yesus dirikan (Mat. 20:20-21; Mrk. 10:36-37). Masyarakat, bahkan para murid, juga tak mampu menangkap dengan tepat makna yang terkandung dalam istilah Kerajaan Allah. Mereka terjebak pada pemahaman-pemahaman yang lebih berdimensi politik sehingga mereka, para murid, saling mencari muka di depan Yesus dengan harapan akan mendapat jabatan basah di kemudian hari. Itulah sebabnya ketika Yesus menyatakan akan menderita sengsara, mati, dan bangkit, para murid tidak mau mengerti, bahkan menolak hal itu. Mereka ingin Yesus tetap berada di gunung kemuliaan, bahkan melarang Yesus turun ke lembah penderitaan ke Yerusalem (Mat. 17:4; Mrk. 9:5; Luk. 9:33).

Gelombang pemikiran Yesus tidak sama dengan gelombang pemikiran para murid. Yesus memarahi Petrus dengan amat keras. Ketika Petrus merespons negatif informasi Yesus bahwa ia akan menderita (Mrk. 8:33). Peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus berada di luar kategori pemikiran para murid. Mereka menolak Yesus yang menderita, mereka panik ketika Yesus mati, mereka tidak solid, mereka tercerai-berai karena pemahaman mereka tentang Yesus dan misi-Nya amat lemah, dangkal, dan sumir.

Kebersamaan mereka secara fisik nyata tidak menjamin luasnya wawasan mereka tentang Yesus. Mereka lebih terfokus pada profit atau keuntungan apa yang akan mereka terima sebagai murid Yesus, bukan pada nilai-nilai luhur yang dipresentasikan Yesus melalui perkataan dan perbuatan-Nya. Mereka terjebak menjadi murid yang simbolis dan formalistis, tidak menjadi murid yang mampu memancarkan dan membagi misi Yesus ke spektrum yang lebih luas. Hari-hari ini tatkala gereja-gereja dan umat kristiani memasuki Jumat Agung dan Paskah ialah saat yang amat tepat untuk merenung ulang arti hakiki peristiwa itu serta menimba makna aktual bagi kekinian zaman.

Peringatan Jumat Agung dan Paskah akan jatuh menjadi sebuah seremoni dan selebrasi tanpa makna, bahkan nilai-nilai sakral dan transendentalnya akan tereduksi jika pemahaman kontemporer dari kedua hari raya itu tidak mendapat ruang. Ada beberapa hal substansial yang mesti digarisbawahi ketika kita memperingati Jumat Agung dan Paskah. Pertama, gereja-gereja di Indonesia harus menjadi ‘gereja bagi orang lain’; gereja yang menderita dan solider dengan umat manusia yang terkapar di pinggir-pinggir kehidupan. Tidak boleh menjadi gereja yang hidup bagi dirinya sendiri, gereja yang introver dan eksklusif; gereja yang teralienasi dari konteksnya; yang tercerabut dari dunia sekitar. Kedua, gereja dan persekutuan kristiani harus mampu menampilkan kekristenan autentik yang melalui ajaran Yesus Kristus tentang cinta kasih, perdamaian, kejujuran, pengorbanan, pengampunan, dan pembebasan direfleksikan di dalam tindakan nyata.

Gereja harus menanggalkan kekristenan simbolis dan formalistis, kekristenan yang mandul, apatis, dan nonkontributif. Dengan cara itu, kredibilitas dan akuntabilitas gereja memberi makna bagi dunia. Ketiga, gereja dan persekutuan kristiani harus benar-benar menjadi gereja yang bangkit, yang mampu membangkitkan dan mencerahkan umat serta masyarakat sehingga mereka dapat menatap dengan mantap keakanan yang disediakan Allah dalam Kristus. Peringatan Paskah harus mampu mem­bangkitkan Gereja dan umat Kristen untuk memberi perspektif baru bagi warga bangsa yang terpapar covid-19, bagi setiap orang yang terpapar di pinggir-pinggir kehidupan. Selamat Paskah!( Weinata Sairin, salah Satu Ketua di Lembaga Alkitab Indonesia (LAI))