AMBON, Siwalimanews – Masa jabatan Murad Ismail sebagai Gubernur Maluku, dipastikan akan berakhir pada 31 Desember 2023.

Menteri Dalam Negeri kembali memastikan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur hasil Pilkada ta­hun 2018 harus berakhir 31 Desember 2023.

Penegasan tersebut tertuang dalam Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 100.2.1.3/6066/SJ tanggal 10 November 2023 yang ditujukan kepada Ketua DPRD Provinsi Maluku.

Dalam copy surat yang diterima Siwalima, Rabu (22/11) Mendagri menegaskan berdasarkan ketentuan pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada maka Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Wali­kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.

Sehubungan dengan ketentuan tersebut maka Wakil Gubernur Riau, Gubernur Lampung, Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur, Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku serta Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara akan berakhir masa jabatannya pada tanggal 31 Desember 2023.

Baca Juga: Praktisi Hukum Soal Gugatan Murad: MK Pasti Tolak

Berkenan dengan ketentuan ter­sebut, Mendagri pun meminta DPRD melalui Ketua DPRD segera meng­usulkan tiga nama calon penjabat gubernur untuk menjadi pertim­bangan Presiden dalam menetapkan pejabat gubernur.

Usulan nama calon penjabat gubernur disampaikan paling lambat 6 Desember 2023 kepada Mendagri.

Merespon surat Mendagri terse­but, Pakar Hukum Tata Negara Unpatti, Revency Vania Rugebregt menegaskan, Murad Ismail mestinya taat terhadap ketentuan UU No 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada yang me­ngatur terkait masa jabatan ke­pala daerah hasil pemilihan tahun 2018 berakhir menjabat pada 31 Desember 2023.

Dijelaskan, UU tersebut telah ada sebelumnya Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku dilantik artinya secara sadar Gubernur Maluku mengetahui adanya pemotongan masa jabatan tersebut.

“Kalau memang mau gugat itu hak beliau dan sah-sah saja, tetapi UU ini ada sebelum dilantik. Artinya sudah mengetahui adanya keten­tuan tersebut,” jelas Rugebregt saat diwawancarai Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (22/11).

Gubernur kata Rugebregt, mes­tinya menaati ketentuan tersebut sebab tidak ada pelanggaran terha­dap hak konstitusionalnya.

Apalagi, pemotongan masa ja­batan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku diikuti dengan pembayaran kompensasi. “Gubernur harus mengikuti dan menaati itu, karena UU itu tidak merugikan beliau  ka­rena semua hak-hak tetap dibayarkan sesuai dengan masa jabatannya dan  gubernur su­dah tahu konsekuensi itu,” tegasnya.

Menurutnya, berbeda jika pemo­tongan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur tidak diikuti dengan pembayaran kompensasi sesuai ketentuan peraturan perun­dang-undangan.

Rugebregt menegaskan, pemoto­ngan masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dalam rangka pe­laksanaan pilkada serentak, artinya kebijakan negara tersebut harus didukung penuh.

Nama Penjabat

Sementara itu, Ketua DPRD Provinsi Maluku Benhur George Watubun dalam rapat paripurna penyerahan Dokumen KUA-PPAS APBD Tahun 2024 telah memastikan akan menyerahkan tiga nama calon penjabat gubernur sebelum batas waktu yang ditentukan Mendagri.

“Sebelum batas waktu yang ditentukan kita sudah serahkan tiga nama sesuai perintah Mendagri,” tegasnya.

MK Pasti Tolak

Sebelumnya sejumlah praktisi hukum yakin Mahkamah Konstitusi akan menolak gugatan akhir masa jabatan yang diajukan Gubernur Maluku, Murad Ismail.

Kendati pengajuan gugatan merupakan hak konstitusi Murad, namun akhir masa jabatannya sebagai Gubernur Maluku bersama dengan sejumlah kepala daerah di Indonesia, tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.

“Saya yakin 100 persen MK tolak, karena didasarkan pada putusan MK sebelumnya dalam perkara No. 18/PUU-XX/2022. maka upaya upaya hukum Gubernur Maluku untuk menguji norma Pasal 201 ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 pasti ditolak MK,” jelas praktisi Hukum Hendrik Lusikooy kepada Siwalima di Ambon, Selasa (21/11).

Murad menempuh langkah hukum ke MK, lantaran tak terima diber­hentikan 31 Desember 2023.

Selain Murad, sejumlah kepala daerah juga melakukan hal yang sama, seperti, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto, Dedi A Rahim Wakil Walikota Bogor, Marthen Taha Walikota Gorontalo, Hendri Septa Walikota Padang dan Wali­kota Tarakan Chairul.

Sejatinya, masa jabatan Murad-Orno akan berakhir pada 24 April 2024. Hal ini sesuai dengan Kepu­tusan Presiden Republik Indonesia Nomor 189/P Tahun 2018, tanggal 28 September 2018.

Namun, berdasar ketentuan Pasal 201 Ayat (5) UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Peneta­pan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemi­li­han Gubernur, Bupati, dan Wali­kota menjadi Undang-Undang, Gu­bernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2018, menjabat sampai de­ngan Tahun 2023.

Menurut Lusikooy, dalam Pasal 201 ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur tentang batas waktu mau pemilu 2019 dimana disebutkan, batas masa jabatan bupati, walikota hingga gubernur pada tahun 2023.

“Jadi kalau sekarang Pak Murad mau berpatokan kepada masa jaba­tan 5 tahun berarti keliru, Undang-undang sudah membatasi akhir tahun 2023. Sehingga pak gubernur punya hak gugat, tetapi saya yakin 100 persen MK tolak,” tuturnya.

Yakin Ditolak

Senada dengan Lusikooy, praktisi hukum Ronny Samloy juga berpendapat MK akan menolak gugatan yang diajukan MI, sapaan akrab Murad.

Penolakan ini, lanjut Samloy kepada Siwalima di Pengadilan Negeri Ambon, Selasa (21/11) disebabkan sejumlah alasan fundamental, yakni pertama, pokok permohonan MI ke MK tidak beralasan menurut hukum.

Hal ini karena Pasal 201 UU No.10/2016 adalah bersifat transisional atau sementara atau sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024, sehingga pemilihan-pemilihan berikutnya berakhirnya masa jabatan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati serta walikota dan wakil walikota bersamaan periodisasi pemilihan gubernur, bupati dan walikota yakni setiap lima tahun sekali secara serentak nasional.

Alasan kedua, selain merupakan ranah kebijakan pembentuk undang-undang, pemotongan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati,  dan walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud pada Pasal 201 ayat (7) UU No.10/2016 tidak bertentangan dengan  konsepsi Hak Asasi Manusia sebab sebagaimana hak politik, maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yakni (a) dilakukan dengan undang-undang; (b) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain ; (c) untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Alasan ketiga, lanjutnya, hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan in casu masa jabatan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi termasuk hal ini dalam rangka memahami kebijakan pemilihan gubernur, bupati dan walikota serentak nasional dan tidak bersifat diskriminatif.

Alasan keempat, norma pasal 201 ayat (7) UU.10/2016 telah diuji MK sehingga oleh karena itu lahir putusan MK No.18/PUU-XX/2022  yang bersifat final. Artinya, MK tidak mungkin lagi mengeluarkan keputusan baru yang kontraproduktif dengan keputusannya sebelumnya dengan objek yang sama.

Dalam konteks ini, gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah harus mendukung apapun yang menjadi keputusan pemerintah pusat yang bersumber dari norma Pasal 201 ayat (7) UU. No.10/2016 sehingga terjadi harmonisasi dalam mendukung kebijakan nasional in casu pemilihan gubernur, bupati dan walikota serentak nasional.

Terakhir terhadap gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, serta walikota yang masa jabatannya belum sampai lima tahun dengan pertimbangan sejak dilantik tetap diberikan kompensasi hak-haknya secara penuh oleh negara sehingga tidak ada yang dirugikan haknya berdasarkan kebijakan transisional tersebut.

Argumentasi Harus Kuat

Sebelumnya, pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, kepada Siwalima, Minggu (19/11) mengatakan, argumentasi yang disiapkan MI, harus kuat dan dapat meyakinkan hakim MK.

Menurut Margarito, MI memiliki hak untuk mengajukan gugatan ke MK terkait dengan akhir masa jabatannya, namun agar gugatannya diterima, maka itu sangat tergantung ahli-ahli yang diajukan dalam persidangan.

Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Khairun ini menilai, gugatan yang diajukan MI ke MK sudah agak terlambat, dan apakah MK akan menolak atau menerima itu juga tergantung.

Kata dia, sekarang masalahnya adalah bagaimana konstruksi hukum dari gubernur sebagai pemohon agar alasan itu layak dan diterima oleh MK. Jadi sangat tergantung dari bagaimana merumuskan kerugian konstitusional akibat dari pembatasan masa jabatan itu.

Dia menilai, kebijakan pembatasan masa jabatan gubernur itu kebijakan itu bertentangan dengan UUD. (S-26)