Dalam era digital yang terus berkembang, konsep smart city telah menjadi sorotan utama bagi banyak daerah yang ingin memajukan perkembangan wilayah mereka. Teknologi canggih dan aplikasi yang inovatif sering kali dianggap sebagai modal utama untuk memperoleh predikat sebagai smart city.

Ratusan aplikasi dibuat, kamera CCTV dipasang di mana-mana, dan berbagai program digitalisasi diluncurkan. Namun, apakah sejatinya konsep ini hanya tentang “gimmick” dan fitur touch screen semata kemudian sudah mencerminkan esensi sejati dari smart city? Padahal untuk menciptakan sebuah kota yang benar-benar komunikatif dan informatif, dibutuhkan lebih dari sekadar teknologi yang canggih.

Memang benar bahwa teknologi adalah bagian penting dari perkembangan smart city. Namun, fokus utama seharusnya adalah memberdayakan masyarakat dengan keterampilan dan literasi digital yang memadai. Tidak hanya memberikan akses kepada teknologi, tetapi juga mengajarkan masyarakat tentang penggunaan yang aktif, bermakna, dan aman dari teknologi tersebut.

Inilah yang menjadi perhatian pemerintah Singapura dalam Digital Readiness Blueprint mereka, di mana Singapura berusaha menjadi Smart Nation, tempat di mana teknologi mendukung kehidupan yang bermakna dan memberikan peluang bagi semua orang.

The Smart City Observatory oleh IMD World Competitiveness Center baru saja merilis daftar Smart City Index (SCI) 2023 atau daftar indeks kota pintar di dunia. Dari total 141 kota dari seluruh dunia yang diteliti, Kota Singapura (Singapura) ada di peringkat ke 7 dan menjadi satu-satunya kota dari Asia yang ada dalam posisi 10 besar.

Baca Juga: Mosi Tidak Percaya: Dapatkah Anggota DPR Diganti dengan AI?

Adapun tiga kota di Indonesia masuk ke dalam daftar tersebut. Ketiga kota tersebut adalah DKI Jakarta no 102, Medan, Sumatera Utara 112; dan Makassar, Sulawesi Selatan no 114.

Pentingnya Inklusivitas dalam Smart City

Dalam menciptakan kota komunikatif dan informatif, inklusivitas menjadi kunci utama. Semua lapisan masyarakat harus memiliki akses dan keterlibatan yang sama terhadap teknologi dan informasi.

Inklusivitas ini secara sederhana tercermin dalam sistem signage yang baik dapat membantu mengoptimalkan pengalaman warga, meningkatkan keamanan, dan mengurangi kebingungan atau ketidakpastian dalam menavigasi suatu lokasi.

Fungsi utama dari signage system berjalan dengan optimal karena mampu memberikan informasi yang jelas, tepat, dan mudah dipahami kepada pengguna, sehingga mereka dapat dengan mudah mencari tujuan yang diinginkan atau memahami aturan atau petunjuk yang berlaku di area tersebut.

Bahasa yang digunakan beragam pada berbagai tanda atau sign board informatif yang tersebar di seluruh ruas kota. Dengan demikian setiap orang, termasuk wisatawan, dapat dengan mudah memahami informasi yang disajikan.

Tak hanya itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa infrastruktur dasar, seperti jaringan internet dan transportasi, dapat diakses dengan mudah oleh semua orang, termasuk oleh penyandang disabilitas.

Mengirimkan ‘pesan keras’ bahwa orang yang terlemah dari komunitas layak mendapat perhatian terkuat dari sebuah kota dalam merumuskan kebijakan. Sejatinya kota yang ramah disabilitas akan menggambarkan sebuah masyarakat yang peduli dan inklusif terhadap seluruh anggotanya.

Interaksi masyarakat dan respons pemerintah sangat diperlukan dalam menghadirkan kota yang komunikatif. Kota selalu menjadi tempat berhimpunnya berbagai ide, kepentingan, dan budaya. Oleh karena itu, interaksi antarwarga menjadi modal dasar dalam perkembangan sebuah kota.

Tidak hanya itu, penerapan teknologi dan akses informasi yang mudah akan memungkinkan warga untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan. Survei daring, forum diskusi, dan mekanisme lainnya dapat digunakan untuk mengumpulkan masukan dari masyarakat. Partisipasi aktif ini akan meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama dalam pembentukan kota yang lebih baik.

Memang ada namanya selama ini Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan), namun dalam perkembangannya proses perumusan dan pengumpulan program hanya sebatas secara administratif dan seringkali satu sama lain tidak sinergis dari tingkat atas hingga bawah.

Pemerintah harus peka dan responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Kepekaan ini yang pada akhirnya menjadi suluh dalam menentukan program yang terukur dan lebih solutif. Relasi keduanya bersifat resiprokal dan kolaboratif, bukan ketergantungan dan berpangku tangan.

Kemudian tidak kalah pentingnya adalah memperkuat sumber daya manusia dalam jaringan informasi dan komunikasi sebuah kota. Pelatihan, pengembangan keterampilan, dan penguatan literasi digital bagi petugas dan front liner menjadi investasi penting dalam memaksimalkan manfaat teknologi bagi masyarakat.

Communicational City

Dalam menghadapi era digital ini, membangun kota komunikatif dan informatif bukan hanya tentang penerapan teknologi, tetapi juga tentang bagaimana teknologi tersebut dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Dengan memperhatikan inklusivitas, partisipasi aktif, dan responsivitas pemerintah, kita dapat men­ciptakan smart city yang sejati, tempat di mana setiap individu dapat tumbuh dan berkembang bersama dalam kehidupan yang lebih bermakna.

Menciptakan kota komunikatif dan informatif adalah langkah awal dalam mewujudkan masa depan yang lebih cemerlang. Sebuah kota yang mampu ber­adap­tasi dengan perkembangan teknologi dan meman­faatkannya secara bijaksana akan menciptakan lingkungan yang berkelanjutan dan nyaman bagi warganya.

Tantangan yang dihadapi dalam mencapai tujuan ini tidaklah sedikit, tetapi dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, potensi terbuka luas untuk menciptakan kemajuan yang lebih besar dari yang pernah kita bayangkan.

Dengan berkomunikasi secara baik dengan para pemangku kepentingan, baik secara internal maupun eksternal, kota dapat menciptakan citra dan reputasi yang dipercaya sebagai tempat yang ramah, berdaya saing, dan inovatif. Komunikasi yang transpa­ran, responsif, dan kolaboratif adalah kunci dalam mencapai tujuan tersebut yang mengarahkan kota menuju kesuksesan dan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Seperti yang disebutkan dalam konsep “Communicational City”, sebuah kota komunikatif adalah kota yang mampu membangun interaksi dan melakukan pertukaran pesan dengan seluruh pemangku kepentingannya. Hal ini membuat orang datang dan merasa menjadi bagian yang aktif dalam proses perjalanan kehidupan mereka di sebuah kota.

Dalam masyarakat perkotaan yang komunikatif, mobilitas menjadi praktik sekaligus nilai yang penting, mengutip gagasan Vincent Kaufmann tentang “motilitas”. Konsep motilitas menjadi relevan dalam konteks perkotaan dan perencanaan kota.

Ini karena mobilitas dan pergerakan penduduk memiliki peran penting dalam membentuk dinamika perkotaan, pola penggunaan lahan, aksesibilitas fasilitas dan layanan publik. Memahami motilitas penduduk adalah langkah penting dalam merancang kota yang lebih ramah lingkungan, inklusif, dan efisien.

Kota yang komunikatif memungkinkan setiap individu untuk bergerak secara bebas, dengan hubungan antarindividu, ruang, dan dunia yang didefinisi­kan ulang atau setara. Dalam suasana seperti ini masyarakat merasa didorong untuk memba­ngun interaksi positif, sementara pada saat yang sama dapat memenuhi kebutuhan informasi­nya secara mandiri tanpa bergantung pada pihak lain. (*)