PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2023 menjadi momentum untuk menguji visi pendidikan dari para capres 2024. Upaya itu penting untuk menjadikan diskursus publik semakin substantif. Apalagi akhir-akhir ini ruang publik semakin menggeliat oleh perbincangan politik elektoral yang kian memanas dan hanya tampak di permukaan. Substansi pendidikan kerap teralienasi dalam wacana politik elektoral. Pendidikan seolah tidak memiliki nilai politis untuk menaikkan angka elektabilitas. Pasalnya, buah dari proses pendidikan tidak dapat dipetik dan dipamerkan secara instan. Output dan outcome pendidikan hanya akan terlihat dengan kondisi kemajuan daya saing bangsa di masa depan. Oleh karenanya, visi pendidikan yang progresif dan visioner dari para capres patut untuk diperhitungkan sebagai pertimbangan untuk memilih pemimpin masa depan.

Bagaimana para capres menempatkan visi pendidikan mereka dalam kebijakan pembangunan nasional patut dinantikan. Apakah mereka akan menempatkan pendidikan pada posisi yang sentral atau sebaliknya, menempatkan aspek pendidikan di pojokan ruang yang sempit dan gelap. Hal itu penting mengingat capres yang terpilih pada 2024 nanti akan menakhodai babak baru pembangunan nasional. Pasalnya, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) akan berakhir pada 2025. Dengan demikian, capres terpilih nantinya akan memulai babak awal grand design pembangunan nasional yang menentukan era bonus demografi 2045.   PR problematika pendidikan Siapa pun capres terpilih nantinya, ia akan memikul beban berat PR terkait dengan problematika pendidikan di Tanah Air. Secara global, problematika pendidikan terkait dengan daya saing yang masih rendah. Laporan Human Development Report 2021/2022 yang diterbitkan UNDP menunjukkan indeks pendidikan negara Indonesia masih di bawah negara Asia lainnya. Sebagai contoh, dalam aspek angka rata-rata lama sekolah, Indonesia baru sebesar 8,6, masih di bawah negara Thailand sebesar 8,7, lalu Malaysia sebesar 10,6, dan Singapura sebesar 11,9. Dalam konteks makro pendidikan nasional masih menunjukkan indeks yang relatif rendah. Misalnya angka rata-rata lama sekolah (RLS), secara nasional berdasarkan data BPS RI (2022) pada 2022 baru 8,69 atau dapat dikatakan hampir lulus dengan SMP. Begitu pun, dengan angka harapan lama sekolah (HLS) secara nasional berdasarkan data BPS RI (2022) pada 2022 masih sebesar 13,10 atau dapat dikatakan baru memiliki peluang menamatkan pendidikan formal setara dengan diploma 1 (D-1).

Untuk meningkatkan indeks pendidikan itu, negara Indonesia masih terseok-seok karena mengalami pertumbuhan yang amat lambat. Lebih parah lagi berdasarkan data BPS RI 2022, angka partisipasi kasar perguruan tinggi (APK PT) di Indonesia masih begitu rendah, yakni sebesar 31,16. Problematika regulasi dan kebijakan pendidikan nasional pun menjadi PR yang rumit untuk diselesaikan. Sebagai contoh, terkait dengan RUU Sisdiknas yang sampai saat ini mengalami kemandekan. Padahal, RUU Sisdiknas yang lebih memiliki aspek hukum pendidikan yang progresif sangat dinantikan guna mengatasi tantangan pendidikan masa kini dan masa depan. Begitu pun, dengan kebijakan sistem pendidikan nasional yang terbelah secara vertikal dan horizontal pun menjadi benang kusut problematika pendidikan yang tak kunjung usai. Secara vertikal, sistem pendidikan nasional terbelah antara pusat dan daerah, utamanya terkait dengan persoalan otonomi pendidikan. Kewenangan urusan pendidikan masih tumpang-tindih, saling lempar, dan inkonsisten antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah. Padahal, pendidikan merupakan urusan pemerintahan yang diotonomikan. Sementara itu, secara horizontal, sistem pendidikan nasional terbelah dan tidak terpusat oleh satu garis komando, yakni Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek). Dalam realitasnya, urusan pendidikan pun dijalankan kementerian lain dan bahkan pada pendidikan tinggi dijalankan beberapa lembaga negara.

Problematika lainnya pun mencakup permasalahan karakter, tata kelola, dan kesejahteraan guru, disparitas kualitas pendidikan, inkonsistensi kurikulum belum terpenuhinya standar nasional pendidikan di berbagai daerah, lemahnya link and match-nya dunia pendidikan, inefisiensi anggaran pendidikan, iklim dunia pendidikan yang belum kondusif, dan masalah klasik pendidikan lainnya. Tantangan digitalisasi pendidikan pascapandemi covid-19 pun menjadi persoalan yang harus segera diakselerasi di era teknologi digital saat ini. Standar digitalisasi pendidikan perlu dirumuskan secara khusus guna menjadi acuan dalam penyelenggaraan pendidikan. Jika tidak, dunia pendidikan berpotensi akan terdisrupsi dan mengalami kemunduran yang signifikan.

Capres dengan visi pendidikan ideal Berbagai problematika pendidikan di atas tentu menjadi pekerjaan rumah tangga yang berat bagi capres terpilih nantinya. Untuk itu, seorang capres penting memiliki visi pendidikan yang ideal guna mengurai problematika secara sistemis, terstruktur, terarah, dan berkelanjutan. Setidaknya, terdapat beberapa bekal penting yang harus dipikirkan dan dilakukan para capres guna mewujudkan visi pendidikan yang ideal. Langkah utama ialah perlu merekonstruksi RUU Sisdiknas secara komprehensif dan holistis guna mengatasi problematika regulasi dan kebijakan pendidikan nasional.

Baca Juga: Hamili Anak Dibawah Umur, Tua Bangka Ini Diringkus Polisi

Evaluasi dan refleksi terhadap sejauh mana capaian arah pembangunan dalam bidang pendidikan di RPJPN pun penting dilakukan. Apakah arah dan tujuan pembangunan yang telah dirumuskan telah tercapai atau sebaliknya, masih belum memenuhi target. Sebagai contoh aspek pendidikan di RPJPN ialah pelaksanaan program wajib belajar pendidikan 12 tahun, sebagai kelanjutan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Apakah hal itu telah terpenuhi dan berjalan secara optimal? Berdasarkan data Kemendikbud, dalam Neraca Pendidikan Nasional 2021 masih terdapat siswa yang putus sekolah jenjang SD sebanyak 38.633, SMP 14.972, SMA 10.055, SMK 12.063, dan SLB 272 siswa. Lalu, dalam RPJPN pun disebutkan aspek peningkatan kualitas dan profesionalisme pendidik. Nyatanya, berdasarkan data dari Kemendikbud dalam Neraca Pendidikan Nasional 2021, guru yang belum tesertifikasi masih sebesar 96,5% di jenjang PAUD, 63,3% di jenjang SD, 60,3% di SMP, 57,9% di SMA, dan 65,5% di jenjang SMK. Kemudian, masih di RPJPN juga disebutkan pelaksanaan paradigma baru pendidikan tinggi melalui pemberian kewenangan yang lebih luas pada perguruan tinggi dalam pengelolaan pendidikan.

Dalam realitasnya, otonomi perguruan tinggi justru diberikan masih setengah hati. Bahkan, bisa dikatakan otonomi kampus semakin hari semakin terkikis dan terdegradasi akibat berben­turan dengan birokratisasi peme­rintahan. Pembentukan road map atau peta jalan pendidikan nasio­nal pun harus menjadi prioritas bagi para capres guna memberi­kan arah pembangunan pendidi­kan jangka panjang. Para capres pun harus memiliki gagasan terobosan kebijakan dalam dunia pendidikan guna mengakselerasi peningkatan baik kualitas mau­pun kuantitas pendidikan di Indonesia. Terakhir, aspek yang se­ring kali diabaikan dalam peru­musan kebijakan pendidikan terkait dengan adanya partisipasi publik secara bermakna dari seluruh elemen pendidikan.

Pemimpin yang ideal harus mampu mengajak rakyatnya un­tuk berkolaborasi dan berparti­sipasi secara aktif dalam perumu­san kebijakan yang hendak dibuatnya. Berbagai bekal itu setidaknya menjadi rambu-rambu prioritas untuk merumuskan visi pendidikan yang ideal guna me­ngatasi problematika pendidikan secara sistemis dan berkesi­nambungan. Oleh: Cecep Darmawan Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia dan Sekretaris I Pengurus Harian Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Profesor/Guru Besar Indonesia.