SAMPAI di mana ujung dari gelombang disrupsi yang saat ini melanda media massa di seluruh dunia? Apakah pada akhirnya akan terjadi sebuah disrupsi total dalam arti sejarah media massa konvensional benar-benar tamat dan jagat komunikasi-informasi kemudian sepenuhnya menjadi panggung supremasi media baru? Pertanyaan semacam ini selalu menghantui diskursus tentang media massa belakangan.

Dalam konteks hubungan antara media massa dan platform digital, disrupsi total sebenarnya bukan satu-satunya kemungkinan. Kemungkinan lain ialah terwujudnya keseimbangan baru (new equilibrium) yang mana media lama dapat hidup berdampingan dengan media baru untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan informatif-komunikatif masyarakat yang sangat beragam dan berlapis-lapis.

Setiap jenis media, lama atau baru, sesungguhnya memiliki tujuan, karakter, dan segmentasi yang berbeda. Perbedaan itu menentukan model bisnis, pendekatan khalayak, dan sajian konten. Keberagaman media dibutuhkan untuk melayani keberagaman minat dan kebutuhan khalayak. Dalam konteks ini, keseimbangan baru semestinya menjadi keniscayaan. Satu jenis media tidak mungkin mampu memenuhi semua kebutuhan komunikatif-informatif masyarakat yang beragam dan terus berubah. Apa yang tidak bisa diberikan suatu jenis media diberikan oleh jenis media yang lain. Apa yang menjadi kelemahan suatu media menjadi peluang bagi eksistensi media yang lain.

Batas-batas platform digital

Disrupsi total mengandaikan platform digital memiliki keunggulan mutlak dan sama sekali tidak memiliki kelemahan. Sebaliknya, media massa konvensional diasumsikan sepenuhnya tak berdaya dan tidak memiliki keunggulan komparatif. Faktanya tidak demikian. Platform digital memang unggul dalam hal skala jangkauan khalayak, interaktivitas pengguna, kemampuan penambangan data pengguna, serta sistem distribusi dan monetisasi konten yang terintegrasi.

Baca Juga: Perempuan untuk Pemilu 2024

Namun, platform digital kesulitan dalam memastikan pembaca yang baik akan bertemu dengan konten yang baik, iklan yang baik akan berasosiasi dengan konten yang baik. Proses kurasi algoritmis yang mengandalkan intervensi robotik–alih-alih intervensi manusia–tidak mampu memilah mana konten yang layak dikonsumsi publik dan mana yang sebaliknya. Semua jenis konten, sejauh menarik perhatian orang, sejauh mampu menstimulasi percakapan sosial, diberi tempat dalam proses kurasi tersebut. Dalam konteks inilah muncul tuduhan platform media sosial telah menjadi sarana penyebaran kabar bohong, ujaran kebencian, ekspresi permusuhan, bahkan rasialisme.

Konten buatan pengguna ialah keunggulan kompa­ratif media sosial. Pada ruang interaksi media sosial, siapa pun dapat menghasilkan konten apa pun dan menyebarkannya tanpa proses moderasi. Tak ada lagi gradasi yang rigiditas antara komunikator dan komu­nikan, pakar dan orang awam, elite dan massa. Semua orang dapat mengutarakan gagasan dan maksud apa pun. Namun, pada akhirnya, keunggulan komparatif ini juga menjadi titik lemah yang sulit ditanggulangi.

Tanpa moderasi dan penyuntingan, konten buatan pengguna berujung pada anarki. Pada ruang media sosial, sikap-sikap antisosial diperagakan begitu bebas. Semua pihak, termasuk yang kurang beradab atau yang jahat, bebas berbicara dan memengaruhi orang lain di sana. Semua jenis konten, termasuk yang bermuatan ujaran kebencian dan semangat rasialis, mendapatkan tempat di sana.

Ruang media sosial menjadi keruh oleh permusuhan, kebencian, dan pesan rasial. Meskipun sudah melaku­kan beberapa perbaikan, platform media sosial tetap bisa mengendalikan keadaan. Mereka dianggap meng­ambil ‘kesempatan dalam kesempitan’, meraup keun­tungan bisnis dari epidemi hoaks yang memecah belah masyarakat.

Dalam konteks inilah kampanye bertajuk Stop Hate for Profit meluncur di Amerika Serikat pada Juni 2020. Digerakkan organisasi seperti Color Of Change, NAACP, ADL, Sleeping Giants, Free Press, dan Common Sense Media, Stop Hate for Profit mendesak para produsen besar untuk berhenti beriklan di platform Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube dengan alasan tersebut.

Gayung bersambut, brand besar, seperti Unilever, Starbuck, The North Face, REI, Patagonia, Ben and Jerry’s, Upwork, Eddie Bauer, Arc’teryx, Magnolia Pictures, dan Honda Motor Co telah menyatakan berhenti beriklan di platform media sosial. Hingga 3 Juli 2020, dukungan atas Stop Hate for Profit telah menembus angka 400 perusahaan besar.

Tentu saja perusahaan platform media sosial tidak berdiam diri. Mereka memiliki teknologi, kemampuan finansial, dan SDM yang dapat diandalkan untuk terus-menerus memperbaiki kelemahan-kelemahan yang muncul. Namun, gangguan terhadap kemapanan platform media sosial terus terjadi, misalnya, dalam fenomena digital ad misplacement. Sejak 2014, iklan-iklan Johnson Johnson, Starbuck, PepsiCo, Toyota, General Motors, Hyundai, Walmart Stores, dan lain-lain beberapa kali menempel di video Youtube dengan konten pornografi, rasialisme, antisemitis, pedofilia, bahkan konten eksekusi penggal kepala oleh serdadu ISIS di Suriah atau Irak. Algoritma Youtube dengan sangat pintar mengenali penonton video-video itu ialah para pembeli potensial untuk produk-produk dari perusahaan di atas.

Persoalannya kemudian jelas sekali, tidak ada pengiklan yang mau iklannya menempel pada video-video berkonten kekerasan, keasusilaan, pornografi, atau rasialisme! Video-video itu merusak reputasi pro­duk dan produsen. Kontan saja perusahaan besar di atas menarik iklannya di Youtube meskipun hanya sementara waktu. Dalam hal ini, Youtube terus memperbaiki sistem algoritmanya, katakanlah dengan menambahkan fitur pemblokir konten ilegal. Namun, setidaknya hingga 2019 fenomena digital ad misplacement itu masih terjadi.

Samuel C Woolley dan Philip N Howard dalam Computational Propaganda, Political Parties, Politicians, and Political Manipulation on Social Media (2019) men­jelaskan fenomena itu sebagai ‘ketidakmampuan platform digital untuk mengendalikan mesin-mesin yang mereka ciptakan sendiri’. Youtube tidak sepenuhnya mampu mengendalikan mesin komputasionalnya agar tidak menayangkan konten-konten negatif dan menem­pelkannya ke iklan-iklan tertentu. Facebook dan Twitter tidak sepenuhnya mampu membersihkan platform me­dia sosial mereka dari ujaran kebencian dan rasialisme.

Meskipun bukan penanda akhir dari dominasi raksasa media sosial global, gerakan Stop Hate for Profit dengan jelas menunjukkan munculnya kesadaran tentang batas-batas media sosial. Media sosial memang memberikan skala pembaca yang sangat besar, tetapi kedodoran da­lam menjamin kualitas konten dan kredibilitas sumber. Media sosial menawarkan kecepatan penyebaran kon­ten dan interaktivitas di seputar konten. Namun, sering gagal dalam memastikan pesan yang baik berasosiasi dengan konten atau khalayak yang baik. Platform media sosial menghadirkan demokratisasi digital, tetapi kebingungan mengendalikan mesin-mesin penggerak demokratisasi itu ketika terjadi penyalahgunaan.

Pada titik ini, gagasan tentang keseimbangan baru dalam jagat media menemukan rasionalitasnya. Khalayak pembaca dan pengiklan semakin memahami kelebihan sekaligus kekurangan media sosial. Ternyata media sosial tidak bisa sepenuhnya menggantikan fungsi media massa sebagai ruang komunikasi publik. Ternyata media sosial menyajikan sesuatu yang berbeda. Ternyata khalayak dan pengiklan tetap membutuhkan media yang lebih menjamin verifikasi atas fakta dan kelayakan konten. Ternyata pengiklan juga alergi terhadap ruang media yang memecah belah. Fakta-fakta itu merupakan peluang bagi para pengelola media massa untuk kembali meyakinkan masyarakat dan pengiklan.

Membangun kemandirian relatif Keseimbangan baru tidak akan sekonyong-konyong terwujud tanpa kerja keras para pengelola media massa. Titik tolaknya ialah kemampuan dalam membangun diferensiasi. Media massa harus mampu menyajikan sesuatu yang secara umum sulit didapatkan khalayak dari media sosial, yakni konten berkualitas dan diskusi yang bermartabat. Meskipun terdengar klise, good journalism ialah faktor pembeda. Konsistensi dalam menjalankan good journalisme semestinya merupakan garis pembatas antara media massa dan media baru di mata khalayak.

Hal serupa juga berlaku untuk hubungan media massa dengan pengiklan. Platform digital boleh saja cuek terhadap kritik masyarakat. Namun, jika para pengiklan telah mengorganisasi diri untuk melakukan boikot seperti dalam kasus Stop Hate for Profit, apakah platform digital masih akan cuek? Sikap penuntut pengiklan agar iklan yang baik berasosiasi dengan konten dan khalayak yang baik, dalam konteks ini, sesungguhnya merupakan peluang bagi media massa untuk kembali ke gelanggang persaingan media dengan bermodalkan keunggulan komparatifnya, yakni good journalism.

Tren tabloidisasi pemberitaan media dan clickbait dalam jurnalisme seperti yang menggejala dewasa ini tentu saja menjadi faktor yang sama sekali tidak produktif dalam hal ini. Bukannya menjadi sumber informasi yang lebih baik, sebagian media massa kita justru terpancing mengikuti model komunikasi media sosial dengan menyajikan konten-konten berkualitas rendah, semata-mata untuk memancing klik dari pembaca.

Pada akhirnya, penting untuk sungguh-sungguh dipikirkan bagaimana agar media massa tidak sepenuhnya tergantung pada platform digital. Media massa semestinya tidak hanya mengandalkan kerja sama dengan platform digital dalam mendistribusikan konten, meraih pendapatan, dan mengelola data pengguna. Mereka harus senantiasa memiliki opsi lain di luar kolaborasi dengan platform digital untuk tiga hal tersebut. Kemandirian relatif di hadapan platform digital di sini menjadi sangat fundamental untuk keberlanjutan hidup media massa.

Dalam kerangka yang sama, media massa di Indonesia harus mampu memelihara jarak dan membangun independensi relatif terhadap platform digital global. Mereka harus selalu bersikap terbuka sekaligus penuh selidik terhadap perubahan yang dibawa sekaligus kerja sama yang ditawarkan platform global dalam kaitannya dengan distribusi konten jurnalistik, pengelolaan data pengguna, atau periklanan digital. Membangun kemandirian relatif media di sini bukan berarti bahwa media massa mesti putus hubungan sama sekali dengan platform digital, melainkan bagaimana agar media massa tidak tergantung sepenuhnya secara ekonomi dan teknologi kepada platform digital.

Menyehatkan ekosistem media

Media massa perlu membangun model bisnis atau pendekatan jurnalistik yang memungkinkannya secara independen berkolaborasi sekaligus berkompetisi dengan platform digital. Membuka diri untuk bekerja sama dengan platform digital bukan pilihan yang sepenuhnya buruk, bahkan merupakan pilihan yang realistis. Namun, di sisi lain, penerbit semestinya juga siap berhadap-hadapan dengan platform digital dalam negosiasi yang bisa jadi konfliktual serta untuk mendukung langkah-langkah yang mengoreksi monopoli platform digital.

Perlu dipastikan kolaborasi antara media massa dan platform digital, apa pun bentuknya, harus benar-benar melahirkan pertukaran dua arah yang saling menghidupi (two-way value exchange). Jika media massa telah membagikan konten dan kredibilitasnya kepada platform digital, sudah semestinya platform digital secara bermakna juga berbagi keuntungan ekonomi dan data pengguna (mutually beneficial relationship between the news publisher and the digital platform).

Dalam konteks inilah campur tangan negara dibutuhkan. Bukan untuk membela industri media massa an sich, tetapi untuk menyehatkan ekosistem media, untuk mengendalikan praktik monopoli distribusi konten, periklanan digital, dan penambangan data pengguna oleh perusahaan platform digital global. Monopoli, apa pun bentuknya dan pada bidang mana pun, ialah suatu hal yang tidak sehat. Apalagi monopoli pada urusan yang secara langsung memengaruhi kehidupan publik dan pelembagaan demokrasi. Inilah latar belakang institusi negara hadir untuk mengatur hubungan antara media massa dan platform digital di Australia dan Uni Eropa.

Negara di sini hadir untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat di bidang media dengan mengendalikan monopoli platform digital terhadap tiga hal di atas. Iklim persaingan usaha yang sehat di bidang media mesti diupayakan karena secara signifikan memengaruhi kualitas arus informasi, ruang publik, dan demokrasi di suatu negara. Hal yang sama, menurut penulis, juga semestinya dipertimbangkan dalam konteks Indonesia.

Intervensi negara, dalam hal ini, tidak dilakukan dengan semangat antikekuatan asing atau antiplatform digital global. Namun, semata-mata untuk menyehatkan iklim bermedia secara nasional dengan tujuan akhir mewujudkan kebebasan pers yang berkualitas,dan fungsional bagi nilai-nilai keterbukaan, keadilan, dan kemanusiaan.

Hal yang sama, misalnya, mendasari upaya komunitas media dan pemerintah Australia untuk melembagakan News Media Bargaining Code pada awal 2021. Tujuan dari regulasi itu kurang lebih ialah mewujudkan kolaborasi yang memungkinkan praktik berbagi konten benar-benar menghasilkan, praktik berbagi pendapatan antara media massa dan platform digital.

Keadaan yang diharapkan bukanlah putus hubungan sama sekali antara keduanya, melainkan pertukaran dua arah yang saling menghidupi (two-way value exchange). Terang sekali bukan sikap antiplatform digital yang dikedepankan di sana, melainkan kemendesakan untuk meletakkan operasionalisasi platform digital dalam iklim persaingan usaha yang sehat dan tidak monopolistik di suatu negara.

Tidak kalah penting intervensi negara pada urusan hubungan antara penerbit dan platform digital, khususnya dalam hal pelembagaan Publisher Right, harus dilakukan secara hati-hati. Intervensi itu mesti dilakukan paling tidak dengan batasan berikut: (1) tidak melahirkan regulasi berlebihan (overregulation), yang justru menghambat proses alih daya, adopsi teknologi, dan inovasi berbasis teknologi informasi; (2) tidak memfasilitasi proses sekuritisasi terhadap ranah kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi warga negara; (3) serta tidak mereduksi dampak positif digitalisasi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, pembangunan ekonomi kreatif, dan penguatan nilai-nilai kewargaan.

Publisher Right, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, serta Undang-Undang Media Sosial, pada dasarnya ialah inisiatif regulasi untuk mengatasi residu-residu transformasi digital agar tidak berdampak eksesif terhadap tatanan masyarakat yang demokratis dan kepentingan pribadi setiap orang. Namun, perlu ditegaskan bahwa transformasi digital tidak hanya melulu melahirkan residu.

Transformasi digital melahirkan banyak manfaat bagi kehidupan setiap orang dan tatanan hidup bersama. Transformasi digital juga memberikan kontribusi yang signifikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pelembagaan ide-ide kebebasan. Perlu dihindari keadaan yang mana upaya untuk mengatasi residu-residu digitalisasi justru berdampak pada pudarnya nilai-nilai deliberatif-demokratis dari transformasi digital. Oleh: Agus Sudibyo Penulis buku Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital. Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/551943/membangun-keseimbangan-baru-jagat-media