KONTRAKSI ekonomi yang dialami Indonesia memang tidak sedalam sejumlah negara lain. Meski demikian data-data yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa tekanan yang ditimbulkan Covid-19 tidak mainmain.

Konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama produk domestik bruto (PDB) ambruk hingga kuartal III/2020. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/ 2020 kembali terkontraksi minus 3,49%. Pada kuartal III/2020 tersebut satu-satunya yang menjadi penopang ekonomi adalah sisi konsumsi pemerintah.

Sementara itu beberapa komponen penyumbang PDB lainnya masih negatif. Di antaranya konsumsi rumah tangga minus 4,04%, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi minus 6,48%, konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT) minus 2,12%, ekspor minus 10,28%, dan impor minus 21,86%.

Sejatinya struktur PDB dari sisi pengeluaran tidak banyak berubah karena 88,4% PDB berasal dari konsumsi rumah tangga dan investasi.

Sementara konsumsi pemerintah menyumbang 9,69%. Oleh sebab itu apabila ketiga komponen ini terganggu, pertumbuhan ekonomi juga mengalami tekanan.

Baca Juga: Peta Kemiskinan Indonesia

Reformasi Struktural Investasi Teori Harrod-Domar menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kegiatan investasi dan proses pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Harrod-Domar menunjukkan bahwa kegiatan investasi merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan ekonomi suatu negara. Pentingnya investasi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadikan pemerintah di setiap negara berlomba-lomba untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dalam negaranya.

Perekonomian Indonesia sampai saat ini masih terbilang “boros” dan tidak efisien lantaran tingginya biaya investasi di dalam negeri. Ini terlihat dari angka incremental capital output  ratio(ICOR) yang cukup tinggi.

Tahun 2019 ICOR Indonesia mencapai 6,77 lebih buruk daripada tahun 2018 yang sebesar 6,44. Sebagai perbandingan, ICOR Negara tetangga Indonesia lebih rendah, di antaranya Filipina (3,6), Vietnam (4,1), India (4,2), Malaysia(5), dan Thailand (6).

Selain itu data juga menunjukkan saat ini tingkat ease of doing business (EoDB) di Tanah Air masih berada di level 73. Angka tersebut juga berada di bawah negara- negara ASEAN lainnya seperti

Singapura (2), Malaysia (12), Thailand (21), Brunei(66), dan Vietnam (70). Indonesia hanya lebih unggul atas Filipina (95), Kamboja (144), Laos (154), dan Myanmar (165).

Tak dapat dimungkiri bahwa saat ini Indonesia memerlukan investasi untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi. Kontribusi PMTB (investasi) merupakan yang terbesar kedua pada

PDB setelah konsumsi rumah tangga dengan kontribusi sekitar 30%. Selain itu hasil riset internal Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1% investasi mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi 0,3% yang selanjutnya berdampak pada penciptaan lapangan kerja 0,16% atau jika ditransaksikan sebesar 75.000 tenaga kerja. Oleh sebab itu reformasi struktural untuk memangkas obesitas regulasi dalam investasi perlu segera dilakukan.

Masih tertinggalnya tingkat kemudahan dan efisiensi investasi Indonesia bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga lainnya di Asia Tenggara mutlak mengharuskan Indonesia mulai berpikir keras untuk mencari terobosan dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan nasional di tengah pandemi saat ini.

Pembentukan lembaga sejenis Sovereign Wealth Fund (SWF) yang bernama Indonesia Investment Authority (INA) pada Januari 2021 merupakan langkah antisipatif yang dilakukan pemerintah terhadap semakin terbatasnya kapasitas investasi dalam negeri, yaitu kini Indonesia sedang menghadapi beberapa tantangan berupa tingginya kebutuhan pembiayaan di masa depan serta tingkat investasi asing masuk ke Tanah Air yang relatif stagnan.

Pandemi telah menyebabkan rasio utang terhadap PDB yang meningkat dan kapasitas pembiayaan BUMN yang semakin terbatas.

Pembentukan SWF diharapkan dapat menciptakan tenaga kerja baru melalui bertambahnya investasi. Berdasarkan hitungannya setiap 1% kucuran modal dapat berkontribusi 0,3% pertumbuhan ekonomi dan menyerap 75.000 tenaga kerja.

Melalui SWF pemerintah akan jadi mitra investasi yang tepercaya yang dapat memberi kepastian hukum bagi mitra investor strategis Kebebasan Investasi yang Terukur

SWF sejatinya bukan barang baru di dunia. SWF atau Indonesia Investment Authority (INA) ini diharapkan bisa menyediakan alternative pembiayaan pembangunan yang bukan berbasis pinjaman. Payung hukum pembentukan INA adalah Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang secara spesifik diatur kembali melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73/2020 tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi dan PP Nomor 74/2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi.

Melalui kewenangan yang besar, INA idealnya bisa menjadi penopang pendanaan proyek-proyek strategis pemerintah, terutama dalam menyediakan alternatif pendanaan selain dari APBN dan perbankan, dengan tingkat risiko pembiayaan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan keduanya.

Meskipun memiliki kewenangan luas terkait pengelolaan aset negara dan menghimpun modal domestik maupun asing, hal itu tidak serta-merta menjadi karpet merah yang “membebaskan” investasi. Semua proses tetap harus governance sejalan dengan aturan dan perundangan yang berlaku.

Ketentuan tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) yang membatasi kepemilikan asing di sector usaha tertentu harus tetap dipegang teguh.

Misalnya di sektor perdagangan dan konstruksi, investasi asing dibatasi maksimal 67%. Bahkan di sektor ritel haram bagi pemodal asing untuk masuk karena 100% diperuntukkan bagi pemodal dalam negeri.

Selain itu mengingat keleluasaan wewenang yang dimiliki INA, lembaga yang dalam modal awalnya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut harus dipastikan transparan dalam pelaksanaan pengelolaan dana hingga penyaluran dana yang dilakukan. Lembaga auditor negara pun perlu turut memastikan dan mengambil peran dalam pengawasan serta audit ketika INA telah beroperasi. Sebagaimana SWF di negara lain, INA juga memiliki aturan tata kelola yang universal, termasuk dalam hal pengawasan dan pelaporan audit.

Permasalahan investasi Indonesia tidak hanya berhenti pada pembentukan INA yang merupakan salah satu bentuk implementasi dari UU Cipta Kerja. Bagian lain dari permasalahan investasi yang harus diperhatikan, yang tertuang juga dalam terkait UU Cipta Kerja, adalah terkait perburuhan. UU Cipta Kerja merupakan komitmen dan kebijakan pemerintah yang harus didukung dan diimplementasikan dengan baik. Sebab selain memperbaiki iklim investasi, regulasi tersebut juga bertujuan menciptakan lapangan pekerjaan secara lebih luas, mengoptimalkan bonus demografi pada 2035.( Prof Candra Fajri Ananda, PhD,  Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia)