INDONESIA dicatatkan menjadi salah satu negar potensial dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Asia. Pada 2014, laporan World Bank and Education in Indonesia mencatatkan bahwa sistem pen­didikan di Indonesia merupakan sistem ketiga terbesar di Asia dan keempat terbesar di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti) mencatatkan terdapat lebih dari 4.600 institusi pendidikan tinggi, dengan 296.040 dosen dan lebih dari 6 juta mahasiswa pada 2022.

Banyak kajian yang telah dilakukan para ahli membahas kesenjangan kualitas yang dimiliki perguruan tinggi negeri (PTN), perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH), hingga perguruan tinggi swasta (PTS). Hal itu dapat dilihat dari data akreditasi nasional yang diselenggarakan BAN-PT, dari ribuan institusi penyelenggara pendidikan tinggi, hanya 27 di antaranya yang mendapatkan akreditasi unggul. Dalam skala internasional, hanya satu dari ribuan institusi tersebut masuk jajaran 250 besar kampus terbaik di Asia berdasarkan pemeringkatan Asia University Ranking 2022 yang diselenggarakan Times Higher Education.

Jika menilik kembali realitas yang terjadi, pendidikan tinggi di Indonesia yang diyakini memiliki potensi untuk mendorong pencetakan talenta-talenta unggul mengalami ketertinggalan yang begitu dalam jika dibandingkan dengan negara-negara serumpun. Setidaknya dua universitas di Singapura masuk jajaran lima besar, satu universitas dari Malaysia tercatat dalam deretan 50 besar, bahkan salah satu universitas di Brunei Darussalam masuk jajaran 60 besar. Apa yang terjadi dengan pendidikan tinggi di Indonesia? Saya memiliki keyakinan bahwa Indonesia tidak kekurangan sumber daya untuk bisa bersaing dengan negara-negara besar di Asia ini.

Sejak zaman dahulu, ketika saya masih di sekolah dasar hampir tidak pernah mendengar teman-teman memiliki cita-cita sebagai guru atau dosen. Rupanya profesi sebagai pendidik tidak menjadi cita-cita favorit anak-anak di Indonesia. Sampai sekarang, masih banyak celoteh ‘Kalau mau jadi orang kaya, jangan jadi dosen/guru’, “Jadi dosen/guru itu harus punya ‘panggilan’, kalau enggak punya, enggak akan bisa deh”. Apakah celoteh ringan itu menjadi sebuah refleksi bahwa profesi pendidik tidak dapat diandalkan untuk sebuah kehidupan yang berada? Apakah profesi pendidik akhirnya menjadi profesi eksklusif hanya untuk mereka yang ‘terpanggil untuk mendidik?’ Apakah demikian?

Ketika memutuskan untuk terjun dalam pendidikan tinggi, saya ditugasi pada salah satu program studi pendidikan jarak jauh pada 2018. Saya merasa tertantang untuk bisa mem­berikan kontribusi dalam me­ngakselerasi pen­didi­kan tinggi yang inklusif melalui pembelajaran daring yang pada saat itu masih sa­ngat asing bagi kebanyakan dosen, apalagi mahasiswa. Pergelutan selama dua tahun pertama untuk meningkatkan penerimaan teknologi dalam kegiatan belajar-mengajar pada skala pendidikan tinggi, membuat saya menarik kesimpulan; memperkenalkan teknologi kepada mahasiswa yang memang memiliki tugas untuk belajar ternyata lebih mudah daripada memper­kenalkan teknologi kepada dosen yang naturnya mengajar, bukan diajar.

Baca Juga: REFLEKSI AKHIR BULAN JUNI

Blessing in disguise terjadi ketika pandemi covid-19 masuk ke Indonesia pada awal 2020. Pandemi menjadi sebuah momentum percepatan pemanfa­atan teknologi untuk menyelenggarakan pembela­jaran jarak jauh (PJJ) yang tidak bisa dielakkan. Setiap pemangku kepentingan ‘dipaksa’ untuk adaptif terhadap penggunaan teknologi dalam pen­didikan yang memisahkan jarak fisik antara dosen dan mahasiswa. Dengan persiapan yang minim, pendidikan tinggi di Indonesia berjuang untuk ber­tahan dan terus berupaya memberikan pendidikan berkualitas bagi para mahasiswa. Berbagai cara dilakukan para dosen untuk bisa mengajar dari rumah. Hal yang sama juga dilakukan para maha­siswa. Bahkan tidak sedikit testimoni dari dosen yang akhirnya merasakan ‘diajar mahasiswa’ dalam menggunakan teknologi komunikasi untuk mengajar.

Fenomena itu membuat rasa penasaran saya semakin kuat untuk meneliti; apakah literasi digital (kompetensi seorang individu dalam menggunakan perangkat digital untuk mencari, menggunakan, membuat dan menyebarkan informasi) dosen dalam konteks belajar-mengajar secara daring memiliki korelasi dengan bagaimana para dosen menakar kemampuan mereka dalam merancang kelas daring selama pandemi berlangsung. Partisipan studi itu terdiri 275 dosen dari baik PTN maupun PTS yang aktif mengajar dan sudah memiliki jenjang akademik.

Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara kompetensi literasi digital seorang dosen dan keyakinan bahwa dirinya mampu merancang kelas berbasis daring. Hasil studi juga menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran daring yang dilaksanakan dengan minimnya persiapan pada saat itu, 69,5% dosen partisipan studi lebih menguasai penggunaan media video conference dalam mengajar dan hanya 30,5% memilih menggunakan learning management system (LMS) sebagai media belajar-mengajar.

Praktik pembelajaran daring yang terjadi di Indonesia masih jauh dari idealisme berbagai teori distance education–yang dicetuskan pertama kali oleh Charles Wedemeyer dengan istilah independent study. Kemudian dilanjutkan Boerje Holmberg (1961) yang memperkenalkan teaching by correspondence, Otto Peters (1966) yang mempertajam kajian Holmberg menjadi istilah distance education, dan Michael Graham Moore (1991) yang mencetuskan transactional distance theory. Namun, pergerakan dosen dalam mengadopsi teknologi di masa pandemi ini menjadi sebuah titik terang awal bagi penyelenggara pendidikan tinggi untuk berupaya keluar dari zona nyaman, berpikir kreatif, dan fleksibel dalam ekosistem pendidikan daring yang dipercaya memiliki potensi untuk menjadi masa depan pendidikan tinggi Indonesia di waktu yang akan datang.

Ketika pemerintah Indonesia mengubah status pandemi menjadi endemi, pada kuartal pertama 2022, istilah hybrid learning mulai bergaung di berbagai universitas. Hybrid learning dapat diadopsi dari level institusi, fakultas, program studi, bahkan dari mata kuliah dengan karakteristik yang beragam. Sebagai contoh, strategi hybrid learning pada level mata kuliah dapat diimplementasikan dalam berbagai kerangka, seperti 1) pengaturan sesi pertemuan kuliah tatap muka dapat juga diikuti mahasiswa secara sinkronus menggunakan video conference atau 2) jumlah sesi dalam satu mata kuliah (umumnya 16 sesi termasuk UTS dan UAS) dapat dibagi dalam komposisi tertentu, misalnya 40% sesi perkuliahan dilakukan secara daring (sinkronus dan/atau asinkronus). Sementara itu, 60% sesi perkuliahan dilakukan secara tatap muka dan masih banyak sekali potensi skema implementasi hybrid learning lainnya.

Setiap universitas, fakultas dan program studi hendaknya tidak terjebak dalam perdebatan mendefinisikan hybrid learning. Namun, justru melupakan hal yang lebih substansif, yaitu bagaimana meningkatkan kompetensi literasi digital pendidik untuk menyajikan desain pembelajaran bermakna. Caranya dengan memanfaatkan teknologi pendidikan yang dapat mendorong mahasiswa mencapai tujuan pembelajaran dengan keberagaman profil dan latar belakang mereka. Selain itu, keberagaman karakteristik mata kuliah yang dimiliki setiap program studi.

Para pendidik diharapkan dapat terus memupuk keinginan untuk mempelajari hal baru karena sudah saatnya pendidikan berpusat pada mahasiswa, bukan lagi menjadikan kita, para pendidik, sebagai pusat dari seluruh sistem pendidikan. Dalam era keterbukaan informasi digital, kita memiliki akses belajar melalui berbagai opsi modul pembelajaran terbuka (open resources) dalam skala baik nasional maupun internasional. Begitu juga dengan ketersediaan berbagai literatur yang menyajikan kajian pemanfaatan teknologi dalam pendidikan yang dapat diakses secara gratis.

Meningkatkan pengetahuan saja rupanya tidak cukup. Keterampilan dan kompetensi literasi digital sebagai pendidik diharapkan dapat menjadi faktor pendorong untuk memfasilitasi pembelajaran yang bermakna. Sesuatu yang dapat meningkatkan motivasi belajar dan keterlibatan aktif mahasiswa dalam proses pembelajaran hingga akhirnya mahasiswa kita dapat menjadi talenta unggul yang dapat menjadi pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Technology in the classroom is not the end goal. Enabling learning everywhere is the goal (Andrew Barras). Oleh: Stella Stefany Dosen, peneliti online learning Universitas Pelita Harapan (*)