Benarkah sejarah ditulis oleh para pemenang – history has been written by the victors – sebagaimana pendapat Winston Chruchill?. Saya tak tahu apakah sang perdana menteri menuliskan ini saat London luluh lantak dibombardir pesawat-pesawat Jerman ataukah saat Inggris menang dalam perang dunia. Nyatanya, adagium ini memiliki dua wajah berbeda. Yang pertama sarat dengan sarkasme. “Para pemenang” akan lebih fokus menuliskan narasi-narasi reliabel untuk mengenang kedigdayaan mereka. Kedua, “para pemenang” menghidupkan bias sekaligus skeptisisme radikal bagi mereka yang kalah. Sejarah tak lurus jika “hanya” terlahir dari mereka yang menang.

Yang menang disini biasanya adalah penguasa. Mereka akan mengatur segalanya sesuai hasrat kekuasaan. Tapi apakah sejarah juga mesti ditafsir ulang saat sebuah regime berganti?. Saya membaca ulang keputusan Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang penetapan “Hari Penegakan Kedaulatan Negara” yang menyulut banyak debat. Kontraversi berkepanjangan terfokus pada poin C dalam tiga helai keputusan itu yang “menghapus” nama Soeharto dari epos Serangan Umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta. Tak hanya itu, ada juga nama baru yang dituliskan. Soekarno dan Hatta disebut sebagai tokoh yang menggerakan Serangan Umum. Lengkapnya, SU yang heroik ini hanya menyisakan nama Sultan Hamengkubuwono, Jenderal Sudirman dan Soekarno-Hatta.

Padahal sejak SMP puluhan tahun lalu, memori saya tentang SU hanya tentang Soeharto. Kami bahkan dengan bangga menggunakan “janur kuning” ketika bermain perang-perangan. Letnan Kolonel Soeharto – sebagaimana tertulis dalam banyak dokumen resmi Belanda – menjalankan perintah Jenderal Sudirman untuk menyerang Jogja dan membuktikan bahwa Indonesia masih ada. Perang melawan Belanda bahkan sudah dimulai sejak akhir Desember 1948 dengan beberapa serangan sporadis sebagaimana tertulis dalam dokumen 6739 yang tersimpan di National Archief. “Perintah operasi dengan rencana penyerangan Djokja pada tanggal 30 Desember 1948 disusun oleh letnan kolonel Suharto dengan sketsa pada 27/12/1948”.

Soeharto sebagai Komandan Brigade 10/Wehrkreise III diminta untuk berkoordinasi dengan Sultan sebelum memulai serangan. Dalam hirarki militer, prajurit hanya tunduk pada perintah atasan langsung. Dan Soeharto konsisten menuruti perintah Jenderal Sudirman yang kala itu memilih bergerilya dalam hutan. Perang adalah pilihan paling rasional saat Presiden Soekarno dan Wakilnya Hatta sudah ditangkap dan diasingkan ke pulau Bangka. Tak ada komunikasi. Indonesia saat itu malah dijalankan secara darurat oleh Safruddin Prawinegara sebagai Presiden.

Saya tak akan ikut berdebat tentang Keppres itu karena bagi saya sejarah boleh “dilupakan” dengan campur tangan kekuasaan tapi tak bisa dihapus begitu saja. Memang dalam naskah akademik yang panjang lebar mengurai Serangan Umum itu, nama Soeharto paling banyak disebut. Tapi naskah akademik hanya semacam “pelengkap penderita”. Orang ramai tak akan membacanya. Bagian penting dari Keppres yang akan diingat adalah tiga lembar kertas berlogo Garuda yang meniadakan nama Soeharto. Sebuah ironi karena Soeharto adalah aktor lapangan SU. Tanpa Soeharto, sebagus apapun ide menyerang Belanda hanya akan jadi pepesan kosong.

Baca Juga: Kripto, Cara Cepat Kaya (atau Miskin)

Jogja tak akan dikuasai selama enam jam. Dunia tak akan terkejut dan buru-buru sadar telah ditipu Belanda yang menyebut Indonesia telah raib.

Fokus saya ada pada Hari Penegakan Kedaulatan Negara 1 Maret. Kedaulatan negara apa yang ditegakkan?. Indonesia?. Apa Indonesia ketika itu hanya Jogja?. Apa Belanda sudah mengusai seluruh wilayah Indonesia?.

Menurut saya, negara sedang berselebrasi dan menjurus pada glorifikasi. Mengingat masa lalu secara berlebihan. Tak ada urgensi dalam selebrasi itu yang bahkan diatur dengan sebuah keputusan tertinggi. Penentuan hari itu pada satu titik perjuangan hanya mengulang upaya “Jawa Sentris” yang telah berpuluh tahun dimanipulasi negara. Seolah-olah mereka yang menderita lalu berjuang dan mati hanyalah mereka yang berjuang di tanah Jawa. Itulah mengapa kita dipaksa merayakan Hari Pahlawan seolah-olah perang melawan Inggris di Surabaya adalah segalanya.

Kita abai pada puluhan perang lain yang merengut begitu banyak pahlawan – orang-orang yang tanpa pamrih berjuang menegakkan daulat bangsa dan tak berharap dirayakan kematiannya.

Perempuan kita juga diminta berkebaya untuk merayakan Hari Kartini. Kita berselebrasi merayakan hari lahir seorang perempuan Jawa yang hanya bisa mengeluhkan kondisinya dengan menuliskan surat-surat kepada beberapa temannya di Belanda. Perempuan itu diujung hidupnya bahkan tak bisa melepas diri dari kungkungan tradisi. Kita sekali lagi mengabaikan begitu banyak nama perempuan hebat yang berjuang dan mati untuk melawan kolonialisme. Saya lebih bangga pada Martha Cristina Tiahahu, perempuan tujuhbelas tahun yang berdiri di depan dalam palagan melawan Belanda di Maluku. Kebanggaan yang sama untuk Tjut Nyak Dien yang bahkan tak dikenal orang ramai saat menjalani hukuman Belanda dan meninggal di Sumedang. Mereka – perempuan hebat itu – tak sekedar menulis surat.

Glorifikasi sejarah yang masif membuat saya juga menyesal mengapa dulu rajin menghafal nama pahlawan dari luar sana demi nilai sepuluh di mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Padahal mayoritas dari mereka yang kita hafal nama-namanya itu “gagal” mengusir kolonial. Saya bahkan tak diberitahu negara lewat PSPB itu tentang kebesaran Baabullah Datu Sjah, Nuku Kaicil Paparangan, Banau, Haji Salahuddin dan banyak lagi hero di tanah Moloku Kie Raha.

Balik ke Hari Penegakan Kedaulatan, saya lebih suka mengenang beberapa anak muda Santiong yang gagah berani mengibarkan bendera Merah Putih sambil menyanyikan Indonesia Raya di hadapan tentara Australia. Hari itu, 12 September 1945, tentara Australia yang membonceng Belanda mendarat di Ternate dan berhasrat menguasai kembali pulau yang berabad lamanya dikuasai kolonial. Akan tetapi mereka dihadang dengan pengibaran bendera Merah Putih di lapangan kecil di kawasan Santiong. Tentara Australia menurut sejarawan Adnan Amal dalam bukunya : “Kepulauan Rempah-Rempah”, terkejut dan marah besar. Mereka tak menyangka akan ada aksi heroik itu. Hari itu penegakan kedaulatan berlangsung dengan gagah berani. Hari itu, daulat Indonesia masih ada di Ternate.

Peristiwa ikonik ini seperti mengulang heroisme Sultan Nuku mengusir Belanda dari Tidore beberapa abad sebelumnya. Tanggal 12 April 1797, Nuku dengan puluhan armada perang mengepung ibukota Soasiu dan memaksa Belanda melarikan diri ke Ternate. Tidore dikuasai penuh dan Nuku kemudian bertahta sebagai Sultan yang memerintah tanpa kompromi dengan Belanda. Belanda yang malu besar sempat menyerang balik dengan kekuatan penuh untuk menumbangkan Nuku tapi dipukul mundur. Dua tahun kemudian, Nuku menyerang Belanda di Ternate dan bahkan mengusir Belanda untuk hengkang selamanya dari Tidore dan Ternate.

Mengapa Nuku berkelindan dengan “penegakan kedaulatan”?. Karena Sultan terbesar Tidore inilah yang menyatukan Papua dalam epos perjuangan melawan Belanda dulu dan hingga kini. Karena Nuku dan orang-orang Tidore maka kedaulatan Indonesia utuh dari Sabang hingga Merauke.

Sekali lagi sejarah mungkin bisa terlupakan sesaat tetapi sungguh tak elok jika dihapus secara sistimatis oleh negara yang selama ini doyan berucap : bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan. Pahlawan disini bukan mitos seperti superhero karangan Marvel tetapi Ia adalah realitas yang universal dan humanis. Ia tak terjebak pada ruang dan waktu yang sarat dengan kepentingan.

Dalam bukunya “Architects of Deception – Secret History of Freemasonry”, penulis Estonia, Juri Lina memberi pengingat penting terkait keberlangsungan sebuah bangsa. Ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri. Pertama ; kaburkan sejarahnya. Kemudian ; hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tak bisa diteliti dan dibuktikan kebenarannya dan terakhir ; putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan leluhurnya itu bodoh dan primitif. Kita jangan sampai tersesat secara sadar di jalan ini. oleh: Asghar Saleh
Penulis Senior dari Kota di bawah Gamalama (*)