AMBON, Siwalimanews – Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Pro­vinsi Maluku, Hendrita Tuankota akhirnya me­ngakui kesalahannya dalam pengelolaan ke­uang­an Medical Check up antara RSUD Hau­lussy dan KPU.

Hal tersebut disampai­kan terdakwa dalam per­sidangan di Pengadilan Tipikor Ambon saat dice­car JPU Ahmad Attamimi dalam persidangan yang dipimpin Marta Maitimu sebagai hakim ketua, didam­pingi dua hakim anggota dengan agenda pemeriksaan terdakwa. Selasa (5/9).

Ketika ditanya soal daftar nama-nama penerima honor yang mengaku dipalsukan tanda tangan dan cap, ter­dakwa mengaku membuat laporan fiktif.

“Ada pertanggung­ja­waban fiktif yang telah saya pakai dan tidak memberikan kepada mereka yang punya nama,” ujar terdakwa Singkat.

Selain itu terdakwa sendiri yang mengelola anggaran makan minum baik bagi tim pendampingan maupun yang kaitannya dengan persoalan tersebut, dimana pembuatan lapo­ran fiktif juga terjadi dalam item makan malam.

Baca Juga: Akademisi: Tepat Kejati Usut Remunerasi Bank Maluku

Hal itu dimana dalam keterangan sejumlah saksi makan untuk proses medical check up hanya sampai jam lima sore.

Dalam sidang pemeriksaan ter­dakwa itu juga Terdakwa mengakui jika dirinya mengetahui ada regulasi, dimana anggaran tersebut tidak boleh dikelola oleh IDI tetapi terdakwa tetap melakukan berda­sarkan kesepakatan dengan RSUD dan juga tidak adanya keberatan dari pihak KPU.

“Saya yang mengusulkan ang­garan dengan rincian lewat RSUD Haulussy kepada pihak KPU yang juga ikut setuju terkait besaran anggaran meski ada regulasi yang bertentangan dengan tindakan yang kami ambil” akui terdakwa.

Sementara dari total nilai kerugian negara 800 juta terdakwa telah mengembalikan 44 juta dan berjanji di depan hakim akan berusaha kembalikan sebagian.

Akui Kelola Dana Rp2 M

Terdakwa juga mengaku menge­lola anggaran MCU di  RS Haulussy Ambon sebesar Rp2 miliar lebih.

“Iya memang benar, tapi itu sesuai MoU seperti itu,” ucap terdakwa menjawab pertanyaan JPU Chate­rina Lesbata.

JPU juga mengejar terdakwa soal nota kesepakatan dalam MoU. Menurut JPU, sesuai konsep yang ada dalam MoU, terdakwa sendiri yang buat MoU lalu menyerahkan ke KPU.

“Iya benar, saya yang buat, tapi KPU yang setujui anggaran,” papar terdakwa.

Mendengar pengakuan terdakwa, ketua majelis hakim Martha Maitimu menyarankan agar terdakwa berkata jujur dan segera mengembalikan uang negara yang sudah digunakan. Mengingat fakta persidangan sudah menemukan bukti materil jika ter­dakwa yang dikelola sendiri uang tersebut.

“Terdakwa dalam perkara ini jumlah kerugian Rp800 juta lebih, saudara hanya baru pengembalian sekitar Rp.44 juta, sisanya belum kembalikan. Semoga sebelum  agenda putusan saudara sudah kembalikan uangnya agar bisa menjadi pertimbangan meringankan saudara,” jelas hakim.

Usai mendengar pengakuan ter­dakwa, hakim menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda tuntutan JPU.

Di sisi lain, kuasa hukum terdak­wa, Fileo Pistos Noija mengaku, yang namanya  tindak pidana ko­rupsi harusnya tidak bisa tersangka tunggal, dan itu pun kliennya tidak bisa dijadikan sebagai tersangka. Namun pihak RS Haulussy bersama KPU.

Menurutnya, terdakwa dalam mengelola anggaran tersebut hanya sebagai penyelenggara terkait pemeriksaan para calon-calon Legislatif dan Kepala Daerah. Tetapi yang menjadi kuasa pengguna anggaran adalah KPU Maluku.

“Karena itu tidak bisa klien saya atau mantan Ketua IDI sendiri yang dijadikan tersangka. Tapi harusnya KPU dan pihak lain di RS Haulussy juga,” jelas Noija, usai sidang.

Menurutnya, walaupun kliennya salah mengelola uang, itu pun tidak bisa dituntut secara pidana korupsi, tapi harus masuk ranah pengge­lapan.

“Jadi semestinya jaksa penyidik lebih perhatikan hal ini, karena klien saya itu bukan KPA atas anggaran ini,” pungkasnya.

Rugikan Negara 800 Juta

Peran dokter senior itu dibongkar jaksa dalam sidang perdana yang digelar, Selasa (30/5).

Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Maluku, membeberkan peranan mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Maluku, dokter Hendrita Tuanakotta di sidang perdana yang digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Selasa (30/5).

Dia digiring ke pengadilan lantaran terlibat dalam kasus korupsi pembayaran jasa medical check up calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada Pilkada 2016 hingga 2020 di RS Haulussy Ambon.

Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim, Orpha Marthina, JPU mengungkapkan, terdakwa selaku Ketua IDI wilayah Maluku berdasarkan Surat Kepu­tusan Ikatan Dokter Indonesia Nomor 02452/PB/A.4/09/2018 masa bakti tahun 2018-2021 yang mengelola anggaran serta mengatur jalannya proses medical check up calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah kabupaten/kota dan Provinsi Maluku Tahun 2016 sampai dengan Tahun 2020.

Dia didakwa melakukan penyim­pangan dengan tujuan meng­untung­kan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi meng­akibatkan kerugian negara sebesar Rp829.299.698.

Terdakwa diduga telah menyalah­gunakan kewenangan, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, sebagai Ketua IDI Wilayah Maluku dalam melakukan kegiatan pengelolaan anggaran MCU calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah kabupaten/kota dan Provinsi Maluku pada tahun 2016 sampai dengan tahun 2020.

Selain itu, terdapat kegiatan penggunaan keuangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga mengakibatkan kerugian keuangan atau perekonomian negara sejumlah Rp829.299.698.

Hal ini berdasarkan laporan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara atas perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi Pembayaran Jasa Medical Check Up Pemilihan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi Maluku Tahun 2016 s/d 2020 Nomor: PE.03.02/R/SP1915/PW25/5/2022 tanggal 24 Oktober 2022.

JPU mendakwa terdakwa me­langgar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberan­tasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Subsider sebagaimana diatur dan diancam pidana pada pasal 3 jo pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – undang no 31 tahun 1999.

Untuk diketahui, Pada tahun 2017, tercatat dilaksanakan tiga Pilkada, yang proses MCU dilaksanakan di RS Haulussy yakni, Kota Ambon dan KKT.

Selanjutnya pada tahun 2018 lalu, dilaksanakan kegiatan serupa untuk Pilkada Kota Tual, Maluku Tenggara dan Pilgub Maluku.

Kemudian pada tahun 2020, tercatat empat kabupaten yang melaksanakan Pilkada, dimana seluruhnya melakukan medical check up di RS Haulussy, yaitu Kabupaten Buru Selatan, Kepu­lauan Aru, Maluku Barat Daya dan Seram Bagian Timur.(S-26)