AMBON, Siwalimanews – Penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku akan mema­nggil ulang Kepala Dinas Kehutanan Maluku Haikal Baadila yang mangkir di­periksa pekan kemarin.

Polisi menduga pembangunan gully plug (bronjong) milik Dinas Kehutanan Maluku yang tersebar di empat desa di Pulau Moa, tak tepat sasaran lantaran dibangun di kali mati.

Pembangunan bronjong yang dibangun menggunakan APBD Maluku tahun 2022 senilai Rp3,5 miliar, berada di kali mati yang bukan merupakan lokasi banjir dan longsor.

Penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku kembali akan memanggil Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Haikal Baadila dan Man­sur Umar selaku penyedia atau pihak ketiga yang mengerjakan proyek tersebut.

Kepala Dinas Kehutanan, Haikal Baadila dan Mansur Umar selaku diketahui tidak hadir memenuhi panggilan penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku pada Rabu (6/12) untuk dimintai keterangan terkait proyek bronjong tersebut.

Baca Juga: KPK Warning Pemkab Malteng Jangan Korupsi

“Akan panggil ulang,” jawab Ditreskrimsus Polda Maluku, Kom­bes Harold Huwae kepada Siwa­lima, Jumat (8/12).

Huwae enggan berkomentar lebih jauh soal proyek tersebut karena masih dalam proses penyelidikan.

Tak Tepat Sasaran

Sementara itu, sejumlah sumber yang berhasil ditemui Siwalima pada beberapa desa di Pulau Moa me­ngaku bronjong tersebut dibangun di kali mati dan diduga tidak tepat sasaran, serta tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Pembangunan bronjong itu dibiayai APBD Maluku tahun 2022, milik Dinas Kehutanan, meliputi empat desa, yaitu Desa Pati, Toun Wawan, Kaiwatu dan Desa Klis, di Kecamatan Moa, dengan satu mata anggaran saja.

Sumber Siwalima di Desa Kai­watu membenarkan ada pekerjaan bronjong di Desa Kaiwatu tahun 2022 lalu.

Menurut dia, proyek bronjong dibangun di kali mati, bukan di wilayah pemukiman warga

“Lokasi bronjong itu di kali mati. Memang pada saat hujan kali itu benar, tapi tidak meluap dan mem­bahayakan. Kenapa tidak dibangun di sekitar pemukiman saja. Bangun ini kan jauh dari pemukiman, sama saja dengan kerja ngawur saja itu,” ujar sumber itu Sabtu (9/12) siang, sembari meminta namanya tidak ditulis.

Selain itu tambahnya, proyek tersebut juga tak terlalu mencolok, lantaran kesibukan pekerja tidak terlalu mencolok, disamping tidak ada papan proyeknya.

“Mereka kerja sebentar saja. Kita juga tidak pernah melihat adanya papan proyek yang dipasang di depan jalan,” ujar sumber tadi.

Harus Diproses

Sementara itu, Direktur Executive Voxpol Network Indonesia, Adhy Fadhly mengatakan, prinsipnya kasus yang diduga menyebabkan kerugian negara, maupun malad­ministrasi, harus diproses sesuai aturan yang berlaku.

Sebab Maluku saat ini termasuk daerah darurat korupsi, bukan cuma soal infrastruktur, dana-dana ben­cana sosial pun terindikasi disalah­gunakan.

Terkait persoalan kasus dugaan korupsi pada proyek bronjong di Moa dirinya memberikan apresiasi positif terhadap aparat penegak hukum dalam hal ini pihak kepo­lisian.

“Walaupun secara riilnya penun­tasan kasus-kasus korupsi di Ma­luku masih jauh panggang dari api. Artinya kurang begitu sejalan de­ngan komitmen pemberantasan ko­rupsi,” ujar Adhy Fadhly saat dimintai tanggapannya, Jumat (8/12) malam.

Kata dia, publik sebenarnya di­tun­tut untuk tetap mengawal kasus-kasus tersebut agar tetap dilanjut­kan dan dituntaskan, terutama pers.

“Sebab kalau tidak Maluku akan menjadi lahan basah bagi para koruptor. Terlebih ada fenomena baru yang mana masyarakat hadir dan siap membela oknum-oknum yang saat ini terindikasi kuat berada dalam pusaran korupsi,” pung­kasnya.

Dukung Panggil Ulang

Terpisah praktisi hukum, Ronny Samloy mendukung langkah hukum yang dilakukan Ditreskrimsus Polda Maluku dengan memanggil ulang Kadishut Maluku, Haikel Baadila dan rekanan Mansur Umar.

“Jadi pada prinsipnya kasus korupsi adalah musuh bersama masyarakat, memang itu sudah menjadi sebuah keputusan final di negara ini bahwa korupsi harus diberantas. Termasuk mendukung langkah hukum di Ditreskrimsus Polda Maluku,” ujar Samloy saat di­wawancarai Siwalima melalui sam­bungan selulernya, pekan kemarin.

Kata dia, proyek-proyek yang tidak bermanfaat bagi kepentingan banyak orang, proyek vital yang punya dampak bagi kemaslahatan banyak orang, lalu kemudian ang­garannya dikorupsi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, maka hal itu harus mesti menjadi catatan bagi aparat penegak hukum, entah itu menjadi skala prioritas agar supaya ada efek jera dan kemudian ada kepastian hukum.

Menurutnya, masyarakat berha­rap kasus bronjong milik Dishub Maluku di Kabupaten MBD, dimana pihak penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku telah meminta keterangan dari Kadishut sebagai kuasa peng­guna anggaran, maka kasus ini menunjukkan bahwa ada keseriusan dari aparat penegak hukum.

Karena itu masyarakat berharap bahwa kasus ini tetap dilanjutkan dan memeriksa siapapun entah, KPA, Pejabat Pembuat Komitmen atau rekanan atau siapapun yang bertanggung jawab dan berada dibalik dugaan korupsi kasus ini harus tetap diproses hukum.

Dia mendukung langkah hukum yang dilakukan penyidik dan ber­harap juga pihak-pihak yang diundang untuk dimintai keterangan oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku haruslah kooperatif.

Polisi Garap Dishut

Seperti diberitakan sebelumnya, penyidik Ditreskrimsus Polda Ma­luku, memeriksa Karel Lelepary, satu staf teknis di Dinas Kehutanan Ma­luku, terkait pembangunan bronjong (gully plug) di Kecamatan Moa.

Lelepary diperiksa terkait kasus dugaan korupsi pembangunan bron­jong di kali mati, pada empat desa di Kecamatan Moa, Kabupaten Malu­ku Barat Daya.

Sedianya polisi juga memeriksa Kepala Dinas Kehutanan, Haikal Baadila dan Mansur Umar selaku penyedia atau pihak ketiga yang me­ngerjakan proyek tersebut, namun keduanya tak hadir dengan alasan sakit.

Pembangunan bronjong itu dibiayai APBD Maluku tahun 2022, milik Dinas Kehutanan, meliputi empat desa, yaitu Desa Pati, Toun Wawan, Kaiwatu dan Desa Klis, di Kecamatan Moa, dengan satu mata anggaran saja.

Total anggaran yang dipakai un­tuk membangun bronjong di kali mati tersebut, cukup fantastis, yaitu senilai Rp3,5 miliar.

Ada dugaan pekerjaan tersebut tidak sesuai bestek dan tak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati dalam lelang.

Proyek tersebut meliputi dua mata anggaran dan dikerjakan oleh dua perusahaan berbeda.

Perusahaan pertama adalah CV Putra Palindo Jaya, beralamat di BTN Manusela, RT 001/RW 21, Batu Merah, menggarap proyek senilai Rp2.810.000.000.

Perusahaan kedua adalah CV Putra Karya Perkasa, beralamat di Batu Merah, RT 002/RW 011, yang mengerjakan proyek Rp750.000.000.

Kuat dugaan dua perusahaan itu digunakan Mansyur Umar untuk me­nggarap proyek jumbo ber­masalah.

Kadis Sakit

Informasi yang dihimpun Siwa­lima di markas Ditreskrimsus Polda Maluku, di kawasan Batu Meja, Kecamatan Sirimau Ambon, Rabu (6/12) menyebutkan, saksi Lelepary mendatangi penyidik sekitar pukul 09.00 WIT.

Saksi selanjutnya masuk ke ruangan Subdit III Tipikor, untuk diperiksa dan dimintai keterangan, yang dilakukan secara split atau terpisah dan baru berakhir sore hari.

Kepala Dinas Kehutanan, Haikal Baadila dan Mansur Umar yang mengerjakan proyek tersebut, tidak menghadiri panggilan polisi dengan alasan sakit.

Penyidik akan kembali memanggil keduanya untuk dimintai kete­rangan dalam waktu dekat.

Kabid Humas Polda Maluku, Kombes Roem Ohoirat yang dikon­firmasi Siwalima melalui sambu­ngan selulernya, membenarkan pemeriksaan dimaksud. Namun dirinya enggan berkomentar lebih jauh lantaran proses pemeriksaan yang masih berlangsung dan kasus­nya masih berstatus penyelidikan.

“Iya benar terkait kasus ini saksi hari yang dimintai keterangan, lebih ke dalamnya belum bisa disampaikan karena proses masih berjalan,” jelasnya.

Ohoirat menyebutkan, tidak menutup kemungkinan akan ada pemeriksaan saksi lain, jika hasil pemeriksaan hari ini ditemukan petunjuk baru. (S-10/S-26)