AMBON, Siwalimanews – Penggiat anti korupsi mendesak KPK mengajukan banding terhadap vonis 5 tahun hakim kepada mantan penguasa Ambon itu.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia, (MAKI) Boya­min Saiman, meminta Komisi Pem­berantasan Korupsi mengajukan banding terhadap vonis ringan mantan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy.

Saiman menilai, vonis 5 tahun penjara kepada RL, sapaan akrab Richard Louhenapessy, ringan jika dibandingkan dengan tuntutan Jaksa KPK 8,.6 tahun penjara.

“Atas putusan 5 tahun dari tuntutan 8,6 tahun penjara, saya rasa masih terlalu ringan, meskipun saya tetap menghormati keputusan hakim dan untuk itu, saya meminta dari jaksa KPK untuk mengajukan banding, karena sebenarnya kita berharap keputusan-keputusan Tipikor itu vonisnya tinggi,” ungkap Saiman kepada Siwalima melalui pesan suaranya di whatsapp, Senin (13/2).

Saiman mendorong, KPK meng­ajukan banding karena hukuman yang diberikan kepada mantan orang nomor satu di Maluku itu terlalu rendah.

Baca Juga: Bui 20 Tahun & Denda 10 M

“Mestinya diatas 10 tahun semua dan Kejaksaan Agung biasa me­nun­tut  seumur hidup, bahkan pernah menghukum hukuman masih diba­wah 10, saya berharap dalam kasus-kasus suap itu saya berharap hukuman 10 sampai 20 tahun. Nah kalau korupsi antara 20 sampai seumur hidup. Karena ini masih sangat rendah 5 tahun, maka saya mendorong jaksa KPK untuk mengajukan banding,” pintanya.

Tuntaskan TPPU

Saiman juga mendesak KPK menuntaskan dugaan tindak pidana pencucian uang yang menjerat mantan Ketua DPRD Maluku ini.

“Saya juga mendesak KPK untuk segera menuntaskan dugaan TPPU dari mantan Walikota Ambon, karena apapun ini dalam pemahaman saya disamarkan disembunyikan, se­hingga seakan-akan sulit dilacak atau sulit ketahuan dengan maksud dia tidak terjerat hukum. Nah itu apabila uang-uang yang didapat itu diduga disamarkan maka memang harus diproses dengan TPPU,” katanya.

Dikatakan, jika RL sudah ditetap­kan sebagai tersangka TPPU, maka KPK harus segera tuntaskan serta mengungkapkan aliran dana yang diperoleh yang bukan saja berasal dari suap atau gratifikasi tetapi dari kegiatan-kegiatan lainnya yang kemudian disamarkan menjadi aset.

“KPK bisa segera tuntaskan ini sehingga terbuka semua, dugaan TPPU, bisa saja uang yang dida­patkan dari suap atau gratifikasi yang didapatkan dari dugaan perusahaan mini market, bisa saja didapatkan dari kegiatan lain misalnya, dari izin. Karena kepala daerah itu ada tiga hal yang biasanya dijerat yaitu, izin, proyek-proyek pembangunan  dan dugaan perdagangan jabatan,” katanya.

Ia berharap, KPK bisa mengendus ke arah tersebut yang kemudian bisa menemukan bukti-bukti.

“Saya kenapa menginginkan hukuman harus berat, karena kepala daerah ini kan mengemban amanah, dan ketika diduga menerima dugaan suap dan gratifikasi izin-izin dan dugaan-dugaan yang lain berarti berhianat, dan hukumannya harus berat,” tuturnya.

Pasal Berlapis

Sebelumnya, Saiman meminta KPK juga untuk mengenakan pasal berlapis bagi mantan Ketua DPRD Maluku itu, yang tidak saja suap dan gratifikasi tetapi juga TPPU.

“Saya sebenarnya berharap, KPK bisa lapis pasal dengan Tindak Pidana Pencucian Uang, karena atau diduga juga bukan saja uang-uang yang lain berdasarkan gratifikasi yang suap kasus ini, atau bisa saja uang-uang yang lain yang bukan saja berasal dari gaji yang sah,” ujarnya kepada Siwalima melalui pesan suaranya di what­sapp, pada pertengahan Januari 2022 lalu.

Kata dia, KPK dalam mengemba­ngan kasus yang berkaitan dengan kepala daerah, tidak saja fokus pada dugaan suap tetapi juga TPPU.

“Biasanya KPK mengembangkan itu kepada kepala daerah-kepala daerah yang menerima suap, itu dikenakan TPPU. Dan hampir semua kepala daerah dikenakan TPPU,” ujarnya.

Karena itu dia berharap, KPK bisa kenakan pasal berlapis dengan melakukan penyidikan baru atas dugaan TPPU yang diduga melibat­kan RL. Karena selain suap dan gratifikasi maka TPPU atas uang-uang lain yang diduga dimiliki RL.

“Maka saya berharap kemudian KPK bisa berlapis untuk menangani penyidikan baru terhadap dugaan TPPU atau mantan Walikota Ambon. selain dugfaan suap  dan gratifikasi maka dikenaikan TPPU atas uang-uang yang lain yang diduga dimiliki yang bersangkutan, tetapi tetap asas praduga tak bersalah dan tugas KPK lah yang mencari alat bukti,” katanya.

Dia menambahkan, KPK tidak pernah melepaskan kepala daerah menerima suap dan gratifikasi,  tetapi juga dugaan TPPU.

“Biasanya proyek dan promosi jabatan itu biasanya dicari oleh KPK dan mudah-mudahan KPK bisa menemukan itu,” harapnya.

Harap Tuntas

Terpisah, Praktisi hukum Rony Samloy mengatakan hakim men­jatuhkan putusan lebih ringan dari tuntutan jaksa merupakan hal biasa dan memang dapat terjadi, sebab berdasarkan hukum acara maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana melampaui 2/3 tuntutan jaksa.

“Soal mengajukan banding atau tidak itu tergantung dari jaksa KPK, tetapi pasti mereka ajukan banding karena itu hak mereka. Lagi pula proses banding bisa juga datang dari terpidana kalau merasa terlalu berat,” ungkap Samloy kepada Siwalima di Ambon, Senin (13/2).

Dikatakan, dari sisi keadilan putusan hakim tindak pidana korupsi 5 tahun sudah cukup tetapi bagi jaksa merasa belum cukup setimpal dengan perbuatannya, maka banding dapat dilakukan oleh jaksa penuntut umum.

Terkait dengan penetapan RL sebagai tersangka dalam kasus  TPPU ujarnya, memang merupakan kewenangan KPK ketika telah mengantongi dua alat bukti yang cukup.

Samloy menegaskan, masyarakat harus dapat memisahkan antara kasus korupsi yang terkait suap dan TPPU karena merupakan dua kasus pidana yang berbeda.

“Memang KPK merasa bahwa penetapan tersangka wajar, karena sudah menemukan dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka dalam perkara yang lain diluar yang telah diputuskan,” tegas Samloy.

Menurutnya, sebagai lembaga superbody, KPK pasti akan menuntaskan kasus TPPU yang sebelumnya telah didahului dengan penetapan tersangka, sebab KPK akan mempertaruhkan kredibilitas sebagai lembaga penegak hukum.

“Apa yang sudah ditetapkan oleh KPK, jaksa akan tindaklanjuti karena tidak mungkin sudah ditetapkan sebagai tersangka lalu diniatkan begitu saja,” cetusnya.

Sementara itu, juru bicara KPK, Ali Fikri yang dikonfirmasi Siwalima terkait apakah KPK akan melakukan banding terhadap putusan hakim tersebut, melalui telepon selulernya namun tidak direspon.

Tindakan Tepat

Seperti diberitakan sebelumnya, selain tersandung kasus korupsi dan gratifikasi, Komisi Pembe­rantasan Korupsi juga menjerat mantan penguasa Ambon 10 tahun itu dengan pasal pencucian uang.

Kepastian RL, sapaan akrabnya bakal dijerat dengan tindak pidana pencucian uang, diungkap langsung Ketua Tim JPU KPK, Taufiq Ibnu­groho kepada wartawan di Peng­adilan Negeri Ambon, Kamis (9/2).

Dalam proses penyidikan, KPK menemukan alat bukti baru yang tidak saja fokus pada dugaan suap dan gratifikasi, tetapi juga TPPU, sehingga langkah KPK ini meru­pakan langkah yang tepat dan perlu diapresiasi.

Demikian diungkapkan akademisi Hukum Unidar, Rauf Pellu saat diwawancarai Siwalima melalui telepon selulernya, Minggu (12/2).

Menurut Pellu, ditetapkannya mantan walikota dua periode sebagai tersangka kasus TPPU, itu juga merupakan bagian dari upaya KPK untuk membongkar kejahatan penyalahgunaan keuangan daerah. Karena KPK dalam menjerat kepala-kepala daerah di Indonesia, tidak saja fokus pada dugaan suap mau­pun gratifikasi, tetapi juga TPPU.

Menurutnya, KPK pasti memiliki bukti kuat adanya dugaan TPPU yang melibatkan RL, sehingga dia kembali ditetapkan sebagai ter­sangka TPPU.

Tindak pidana korupsi dan TPPU kata Pellu, merupakan dua hal berbeda yang dapat dilakukan penyidikan KPK, karena sama-sama merugikan keuangan daerah atau negara, sehingga penetapan ter­sangka terhadap RL telah sesuai.

Dia meminta, masyarakat tidak perlu memperdebatkan terkait dengan langkah KPK yang kembali menetapkan RL sebagai tersangka, sebab KPK tidak mungkin meng­ambil langkah melampaui kewena­ngan yang diberikan oleh UU, karena itu berpotensi digugat dalam praperadilan.

“Benar Pak RL sudah berbuat banyak untuk memajukan Kota Ambon, tetapi yang namanya tindak pidana korupsi harus tetap diproses, sebab tidak ada alasan memaaf atau pembenaran dalam perkara ini,” tegasnya.

Pellu menambahkan, KPK akan bekerja secara profesional dalam mengusut dugaan TPPU, dan seba­gai masyarakat, dirinya memberikan dukungan penuh kepada KPK untuk dapat melakukan tugas sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UU.

Sementara terkait putusan hakim 5 tahun penjara bagi RL, kata Pellu, hakim memiliki keyakinan penuh atas peran RL dalam kasus dugaan suap, sehingga pidana 5 tahun menurut hakim sudah tepat.

Dijerat TPPU

RL divonis ringan oleh majelis hakim Pengadilan Tipokor Ambon, Kamis (9/2).  Vonis RL lebih ringan 3,6 tahun, dari tuntutan jaksa KPK yang menuntutnya 8,6 tahun penjara.

Kendati begitu, RL belum boleh bernafas lega, karena dari rangkaian penyelidikan, KPK menemukan sejumlah fakta yang mengarah ke tindak pidana pencucian uang yang dilakukan mantan orang nomor satu di Kota Ambon itu.

Karenanya KPK langsung me­netapkan RL sebagai tersangka TPPU. “Sudah kita tetapkan sebagai tersangka,” ujar Ketua Tim JPU KPK, di Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (9/2).

Ditanya soal berapa nilai TPPU yang sementara diusut, Taufiq belum bisa menyebutkan lantaran masih dalam pengembangan. “Soal itu prosesnya masih terus dikem­bangkan,” tandasnya.

Untuk mengusut lebih jauh kasus ini, pihak KPK akan melakukan sejumlah pemeriksaan termasuk pemeriksaan saksi saksi. “Proses sementara jalan termasuk sejumlah pemeriksaan,” jelas Taufiq.

Fakta Persidangan

Dalam amar putusan majelis hakim yang diketuai Wilson Shiver, mantan Ketua DPRD Maluku itu dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersama melakukan tindak pidana berupa suap dan gratifikasi, seba­gaimana diatur dalam pasal 12C ayat (2) UU Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun1999 tentang Pembe­rantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain pidana badan, RL juga divonis membayar denda sebesar 500 juta rupiah, subside satu tahun penjara.

RL juga divonis membayar uang pengganti sebesar Rp.8.045.910.000 dengan ketentuan jika tidak mampu membayar diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.

Hakim berpendapat hal yang memberatkan, RL tidak peka ter­hadap program pemerintah tentang pemberantasan korupsi, selain itu selaku Walikota, RL tidak mem­berikan contoh yang baik bagi masyarakat serta telah menerima gratifikasi sebesar Rp.8.045.910.000 dan tidak melaporkan.

Sementara hal yang meringankan, RL tidak pernah dihukum sebelum­nya.

Selain RL, anak buahnya, Andre Erin Hehanusa juga divonis ber­salah. Orang kepercayaan RL ini divonis 2.6 tahun penjara, denda Rp.200 juta subsider 3 bulan penjara.

Atas putusan tersebut kedua terdakwa dan penasehat hukum maupun JPU KPK menyatakan pikir-pikir.

Vonis hakim ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa KPK, yang menuntut RL dengan pidana 8,6 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 1 tahun penjara, serta membayar uang pengganti sebesar Rp8.045.000.000 dengan ketentuan jika tidak mampu membayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.(S-20)