AMBON, Siwalimanews – Dalam sidang lanjutan kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang di BNI Ambon, jaksa menghadirkan Danny Nirahua sebagai saksi, Jumat (29/5) di Pengadilan Tipikor Ambon.

Dalam sidang itu, Danny mengelak, kalau dirinya memiliki rekening pribadi di BNI Ambon. Ia mengaku rekening di BNI hanya rekening kantor. Sedangkan rekening pribadinya di BCA. “Yang mulia saya tidak mengetahui rekening itu,” ungkap Nirahua.

Lantaran Danny mengelak, hakim lalu mengungkap Berita Acara Pemeriksaan (BAB)nya di Ditreskrimsus Polda Maluku. Dalam BAP itu, Danny mengakui memiliki rekening pribadi di BNI Ambon.  Danny kaget, ketika hakim membacakan BAP itu.

Namun Danny tetap menegaskan, tidak memiliki rekening pribadi di BNI. Hakim lalu membaca lagi BAP dan menyebutkan ada transferan uang ke rekening itu dengan angka yang bervariasi. Diantaranya, 60 juta dan Rp 80 juta.

Lagi-lagi, Danny mengelak, dan mengaku tidak tahu soal BAP tersebut.  Hanya saja hakim tidak menyebutkan uang tersebut ditransfer oleh siapa. “Saya tidak tahu soal itu yang mulia,” ujarnya.

Baca Juga: Polisi Amankan Pembacok Tambang Gunung Nona

Mendengar jawaban Danny, tim JPU Ahmad Attamimi dan Awaluddin membaca BAP Danny di penyidik, seperti yang dilakukan oleh hakim. Tetapi, jawaban Danny tetap sama, kalau ia sama sekali tidak tahu.

Namun sayangnya, majelis hakim yang diketuai Pasti Tarigan, didampingi Berhard Panjaitan dan Jefry S Sinaga selaku hakim anggota dan jaksa tidak mendalami lebih jauh BAP Danny, yang adalah suami terdakwa Faradiba Yusuf ini.

Majelis hakim lebih banyak mencecar Danny soal aset-aset milik Faradiba Yusuf. Danny mengaku, aset Faradiba yang ia tahu hanya rumah di perumahan Bliss Village Lateri, karena dirinya beberapa kali diminta untuk membayar cicilan rumah senilai 33 juta.

Sementara lainnya, ia mengaku tidak tahu. Ia baru tahu aset-aset milik Faradiba lainnya saat diperiksa oleh penyidik. Seperti,  rumah di Kebun Cengkeh, satu unit rumah di Waiheru, dua unit bangunan di Bone Sulawesi Selatan serta satu unit rumah di BTN Manusela dan  di Halong.

Sementara terkait transaksi dari rekening terdakwa Soraya Pelu, Danny mengaku uang tersebut dititipkan untuk membeli kebutuhan usaha salon.

“Kalau transaksi dari Soraya Pelu, itu kebetulan posisi saya di Jakarta, saat itu saudari Pelu minta tolong untuk membeli perlengkapan salon, sehingga ditransfer sejumlah uang untuk kebutuhan itu,” katanya.

Selain Danny, jaksa juga menghadirkan Penyedia Administrasi Umum BNI Ambon, Berto Juniawan Lie dan Penyedia Uang Tunai di BNI Ambon, Olga Margareth Tuawaida sebagai saksi.

Dalam keterangannya Olga mengatakan, program investasi pembelian cengkih sebagaimana yang menjadi motif kejahatan Faradiba bukan merupakan program BNI, sehingga hal itu tidak menjadi pertanggungjawaban BNI.

Olga mengungkapkan, kejahatan Faradiba Yusuf Cs sangat merugikan BNI Cabang Ambon.

Usai mendengar keterangan para saksi, majelis hakim menunda sidang hingga Selasa (2/6), dengan agenda mendengar keterangan saksi lainnya.

Sidang yang dilakukan secara online itu, terdakwa Faradiba Yusuf dan  terdakwa Soraya Pelu alias Aya berada di Lapas Perempuan. Terdakwa lainnya, Marce Muskita alias Ace selaku pemimpin BNI Cabang Pembantu Masohi, terdakwa Krestiantus Rumahlewang alias Kres selaku pengganti sementara pemimpin Kantor Cabang Pembantu Tual, terdakwa Joseph Resley Maitimu alias Ocep selaku pemimpin Kantor Cabang Pembantu Kepulauan Aru, terdakwa Andi Yahrizal Yahya alias Callu selaku pemimpin BNI Kantor Kas Mardika berada di Rutan Kelas II A Ambon.

Kejahatan Faradiba

Jaksa Penuntut Umum Ahmad Attamimi sebelumnya membeberkan peran Faradiba Cs dalam membobol uang nasabah di BNI Ambon.

Pembobolan dana nasabah yang dilakukan Faradiba ternyata sudah berlangsung sejak tahun 2012. Namun baru pada 9 September hingga 4 Oktober 2019 kejahatan yang dia lakukan terendus.

JPU menyebut, Faradiba menerapkan modus mencari nasabah berduit. Faradiba secara aktif telah menawarkan ke beberapa orang nasabah yang dianggap sebagai nasabah BNI prioritas.

Ia menawarkan investasi dalam bentuk program cashback yaitu, penempatan dana pada produk tabungan dan deposito di BNI dengan menjanjikan pemberian imbal hasil dan bonus hingga mencapai 20% per bulan dari nominal penempatan dana.

Faradiba juga menawarkan investasi pada perdagangan hasil bumi (cengkeh) dengan persentase keuntungan tertentu yang ia janjikan. Program tersebut seolah-olah adalah produk resmi dari PT. BNI. Padahal BNI tidak pernah mengeluarkan program tersebut. Melainkan hanya program yang dibuat-buat untuk kepentingan pribadi Faradiba.

Namun karena Faradiba saat itu adalah salah satu pejabat di PT BNI, beberapa orang tertarik dan percaya dengannya. Terhitung sepanjang 2012 hingga 2015, sebanyak 37 orang menjadi nasabah Faradiba.

Pada 2012, Faradiba juga menjaring lima orang untuk melakukan investasi. Pada tahun tersebut, ia menggelapkan uang nasabah sebesar Rp. 7,310 miliar.

Kemudian pada 2013 hingga 2015, setidaknya 32 orang menginvestasikan uang kepada Faradiba berturut-turut sebesar Rp. 50,750 miliar, Rp 28,560 miliar, dan Rp. 28,650 miliar.

Selain itu, Faradiba juga melibatkan tiga kepala cabang BNI. Ia melakukan setoran uang tanpa disertai dengan fisik (fiktif) pada PT. BNI KCP Tual,  PT BNI KCP Masohi, dan PT. BNI KCP Aru.

Dalam rentang waktu 27 September 2019 hingga 1 Oktober 2019, BNI KCP Tual menyetor uang senilai Rp. 19,8 miliar. Uang itu ditransfer ke rekening terdakwa Soraya Pelu dan Jonny De Quelju sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi RTGS ke BCA.

Kemudian pada 9 September 2019 hingga 4 Oktober 2019, dari BNI KCP Masohi mentransfer uang senilai Rp. 9,5 miliar  ke rekening terdakwa Soraya Pelu sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi pembayaran hasil bumi.

Transaksi juga terjadi di BNI KCP Aru sebanyak 19 kali pada pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 sebesar Rp. 29,65 miliar.

Uang itu dikirim dari M. Alief Fiqry sebanyak 5 kali, Abd Karim Gazali sebanyak 5 kali, Jonny De Quelju 3 kali, Soraya Pelu 3 kali, dan Aryani sebanyak 3 kali. Keterangan transaksi tersebut untuk pembayaran kapal, pembelian hasil laut, pembayaran ruko, pembayaran tanah, dan pembelian barang toko.

Hal tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 58,950 miliar, sebagaimana tertuang dalam audit BPK tanggal 11 Februari 2020. Diketahui, Faradiba menggunakan uang senilai Rp. 45, 326 miliar untuk memperkaya dirinya sendiri. (Mg-2)