Ladang Basah Korupsi Dana Desa
SEKTOR pemerintahan dan infrastruktur menjadi ladang basah korupsi Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) dalam satu dekade terakhir. Minimnya pengawasan dan akuntabilitas pelaksanaan program di desa menjadi faktor maraknya rasuah dana desa.
Penguatan ekonomi desa dan pembangunan infrastruktur melalui Dana Desa menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Tahun 2019, anggaran Dana Desa mencapai Rp70 triliun atau meningkat 16,67 persen dari tahun sebelumnya.
Anggaran DD berasal dari APBN dan dimulai sejak 2015, sementara ADD bersumber dari APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan jumlah minimal sebesar 10 persen dari Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil. Keduanya sumber pendapatan asli desa.
Kedua postur anggaran tersebut rawan dikorupsi oleh perangkat desa atau pihak swasta. Dari salinan putusan Mahkamah Agung (MA) berkekuatan hukum tetap yang diolah Beritagar.id, sejak 2006 hingga 2017 terdapat 115 kasus dengan 122 terdakwa korupsi dana desa yang menyebabkan kerugian negara Rp20,16 miliar. Dalam rentang 10 tahun, rasuah paling banyak pada 2009, mencapai 21 kasus.
Sektor korupsi pemerintahan seperti penyalahgunaan dana operasional kantor, rehabilitasi kantor desa, serta pembelian sarana dan prasaran seperti alat tulis kantor yang paling merugikan negara, sebanyak Rp9,43 miliar.
Baca Juga: Konsisten Berantas NarkobaMisalnya, mark up dalam pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) Haria, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah tahun 2018 senilai Rp 2 miliar.
Merujuk Kementerian Keuangan, anggaran ADD diprioritaskan untuk operasional perkantoran seperti pemenuhan sarana dan prasarana kantor serta gaji perangkat desa. Sementara DD untuk pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam praktiknya, penggunaan DD dan ADD bisa berbeda tiap desa, tergantung prioritas pengembangan desa. Sektor lain yang menjadi sasaran empuk yakni sosial, pendidikan, dan pertanian.
Misalnya, pembangunan gedung pendidikan yang tak berlangsung sesuai rencana, laporan fiktif untuk perjalanan dinas, serta program pemberdayaan masyarakat untuk pengembangan ekonomi yang tak sampai sasaran.
Kepala Desa menjadi aktor rasuah yang paling banyak dibandingkan perangkat desa lainnya atau pihak rekanan. Dalam beleid UU Desa, pengelola dana desa adalah kepala desa. Artinya, ia punya kuasa penuh atas penggunaan uang dengan pengawasan dari Badan Pemberdayaan Desa (BPD).
“Kekuasaan kepala desa sangat besar dalam pengelolaan dana desa, jadi mekanisme (penggunaannya) harus terbuka. Selama ini tidak terbuka karena takut ketahuan,” ujar Direktur Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi.
Dari 122 terdakwa, 78,7 persen merupakan kepala desa, disusul dengan bendahara desa (8,2 persen), staf desa lainnya (4,9 persen), dan lainnya (8,2 persen). Laporan ICW menunjukkan minimnya pengawasan dan pelibatan masyarakat dalam seluruh proses pengelolaan dana desa mendorong terjadinya korupsi.
“Dari proses perencanaan, kemudian saat pengadaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban harus diperbaiki. Pengawasan terhadap proses-proses tersebut di desa selama ini lemah,” ujar Egi, ICW.
Egi berpendapat lembaga seperti BPD belum bisa menjalankan tugasnya untuk mengawasi anggaran desa. Bahkan di sejumlah kasus, pelaku korupsi adalah BPD sendiri atau bersama dengan kepala desa.
Salah satu penghambat pengawasan anggaran dana desa adalah akuntabilitas penggunaan anggaran yang minim dilakukan. Padahal, undang-undang mengamanatkan penggunaan dana desa mesti dipublikasikan ke masyarakat. “Dengan adanya keterbukaan partisipasi publik akan meningkat,” kata Egi.
Dalam publikasi tersebut, dibutuhkan penulisan laporan kegunaan dana yang jelas. Alhasil, kepala desa dan aparat desa lainnya perlu memiliki kemampuan pengelolaan anggaran dan penulisan laporan.
“Perlu dievaluasi juga apakah upaya penguatan kapasitas perangkat desa sudah efektif atau tidak. Tetapi, jangan hanya aspek teknis pengelolaan keuangan yag disampaikan, tapi juga membangun integritas perangkat desa,” ujar Egi.
Egi berharap Kementerian Dalam Negeri lebih giat meningkatkan kapasitas perangkat desa untuk mengelola anggaran. Perlu adanya kesadaran bahwa dana tersebut tidak bisa digunakan untuk fasilitas dan kepentingan pribadi, tetapi milik masyarakat.
Selain itu Kementerian Desa juga mesti meningkatkan kapasitas BPD agar fungsi pengawasan bisa berjalan dan dapat mencegah rasuah. (*)
Tinggalkan Balasan