AMBON, Siwalimanews – Sidang lanjutan kasus dugaan tindak pidana korupsi dan gra­tifikasi pembangunan gerai Alfa­midi yang menyeret mantan Wa­likota Ambon, Richard Louhena­pessy kembali di gelar di Penga­dilan Tipikor Ambon, Kamis (5/1).

Sidang yang digelar secara virtual itu, tim Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan saksi ahli bidang Hukum Tata Negara dari Unpatti Ambon, Jeffry Pitersz

KPK dalam persidangan terse­but menanyakan saksi ahli terkait diskresi yang diberikan Richard Louhenapessy kepada salah satu kepala dinas di lingkup Peme­rintah Kota Ambon saat dirinya masih menjabat.

“Saksi ahli saya ingin bertanya?, apakah dokumen atau kelengka­pan administrasi terkait pemba­ngunan atau apapun itu dengan anggapan dokumen tidak lengkap, namun intervensi walikota akhirnya pekerjaan tetap jalan termasuk dalam diskresi atau kah tidak?”.

Saksi ahli dalam pernyataannya menjelaskan bahwa dirinya tidak dapat memastikan namun, meli­hat aturan yang ada dalam Un­dang-undang No 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerinta­han Pasal 1 angka 9, dijelaskan di sana bahwa pejabat pemerintahan bisa membuat aturan dalam rangka mengatasi masalah konkrit yang dihadapi dalam penyeleng­garaan pemerintahan.

Baca Juga: Kasus MTQ Mandek, Kejari Buru Diminta Beri Kepastian

Demikian diungkapkan Piterss menjawab perrtanyaan JPU KPK dalam sidang yang di pimpin hakim ketua Wilson Shiriver.

Saksi Telanjangi RL

Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kembali mengge­lar sidang dengan terdakwa, man­tan Walikota Ambon, Richrad Lou­henapessy dan Andre Hehanussa.

Sidang yang berlangsung, Jumat (9/12) siang hingga malam dipim­pin majelis hakim yang diketuai Wilson Shiver dengan agenda pemeriksaan saksi.

Dalam persidangan tersebut Jaksa Komisi Pemberantasan menghadirkan 6 saksi diantaranya 3 saksi dari Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kota Ambon dan 3 saksi lainnya merupakan kon­traktor yang pernah menanggani sejumlah proyek di Pemkot Ambon kala dipimpin RL sapaan akrab terdakwa Richard Louhenapessy.

3 saksi yang merupakan bawa­han RL kala RL memerintah di Pem­kot Ambon yaitu, Kepala Dinas Perhubungan Kota Ambon Robert Sapulette, Asisten II Bidang Kesra Fahmi Salatalohy dan Kadis PUPR Kota Ambon, Melianus Latuhamalo.

Menariknya para saksi yang ada­lah bekas bawahan RL mene­lanjangi atasannya di persidangan dengan memberikan sejumlah uang ke kantong RL.

Kepala Dinas Perhibungan Kota Ambon, Roberth Sapulette dalam persidangan mengaku pernah memberikan uang sebesar Rp8 juta Kepada terdakwa RL setelah dicecar JPU KPK.

“Saya pernah menyerahkan uang kepada Pa Richard Sebanyak Delapan Juta rupiah dalam Bentuk Tunai di rumah dinas di Karpan pada tanggal 27 Desember 2019. Uang itu adalah insentif yang saya berikan untuk nasar, sebab saya sudah menganggap pak Richard sebagai orang tua saya dan imam bagi saya” Ungkap Robert

Namun pernyataan tersebut ter­ban­tahkan oleh tanggapan JPU se­bab saat itu saksi belum men­jabat se­bagai Kepala Dinas Perhu­bungan. Ketika ditanya JPU berapa kali saksi memberikan uang yang merupakan insentif itu kepada Terdakwa Richard? Jawab Robert hanya sekali.

Jawaban tersebut diraguan JPU dan diduga uang tersebut diberikan kepada RL sebutan akrab Richard Louhenapessy sebagai pemulus jabatan kepala dinas pada tahun 2021 lalu, namun saksi tetap pada pernyataannya bahwa itu uang Untuk nazar.

Selain itu, Kadis PUPR Kota Ambon Melianus Latuhamallo me­ngaku, dirinya menyerahkan uang sebanyak 100 juta rupiah dalam bentuk tunai kepada terdakwa RL melaui sopirnya.

“Saya menyerahkan uang seba­nyak 100 juta rupiah hasil pem­berian rekanan jontraktor masing-masing 25 juta rupiah. Saya serah­kan kepada Pak Richard melalui sopirnya di rumah dinas. Uang itu dibungkus dengan plastik berwar­na merah,” tutur saksi.

Selain itu, lanjut Melianus, ter­dapat sisa uang yang belum dise­rahkan oleh rekanan kontraktor berkat paket yang mereka kerjakan namun uang itu tidak lagi diminta karena mereka takut sebab saat itu terdakwa RL telah diproses oleh KPK,” ungkap Melianus.

Hakim kemudian meminta agar yang berangkutan tidak perlu menutupi semua persoalan sebab hakim yang akan menilai apakah pernyataan itu benar atau salah, bahkan hakim meminta Melianus berterus terang.

Terima 11 M

Mantan Walikota Ambon Richard Louhenapessy menjalani sidang perdana dugaan korupsi dan TPPU di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (29/9) siang lalu.

RL didakwa jaksa penuntut umum KPK menerima aliran dana menca­pai Rp 11 miliar, dari aparatur sipil ne­gara dan sejumlah pengusaha.

Sidang dengan agenda pem­bacaan dakwaan oleh JPU KPK itu dipimpin hakim Nanang Zulkarnain Faisal dan digelar secara online, yang menghadirkan RL dari Ge­dung KPK di Jakarta.

Mantan Ketua DPRD Maluku itu didakwa atas dua kasus yaitu, penerbitan ijin prinsip gerai Alfamidi di wilayah Kota Ambon serta gratifikasi.

Selain mantan walikota dua periode Kota Ambon ini diadili, anak buahnya, Andre Erin Heha­nusa, dan Perwakilan Alfamidi Cabang Ambon, Amri.

Tim JPU KPK yang diketuai Taufiq Ibnugroho membeberkan aliran dana yang mengalir ke kan­tong mantan Ketua DPRD Maluku itu sebesar Rp11 miliar.

JPU mengungkapkan, terdakwa RL selaku Walikota Ambon pada ta­hun 2011 sampai bulan Maret 2022 melakukan dan turut serta mela­kukan beberapa perbuatan yang harus dipandan sebagai per­buatan yang berdiri sendiri, sehi­ngga merupakan beberapa kejahatan.

JPU menyebutkan, terdakwa menerima gratifikasi yaitu, selaku walikota secara langsung maupun tidak langsung telah menerima uang yang seluruhnya berjumlah Rp11.259.960.000 yang berhubu­ngan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.

Aliran dana dengan jumlah fan­tastis itu diketahui diterima dari beberapa ASN pada Pemkot Ambon dan para rekanan atau kon­traktor.

Pada tahun 2011 sampai Maret 2022 terdakwa menerima uang la ng­sung berjumlah Rp8.222.250. 000.

Dari ASN uang yang diterima Rp824.200.000 dengan rincian menerima dari Alfonsus Tetepta selaku Plt Direktur PDAM Kota Ambon sebesar Rp260.000.000, dari ke­pala Dinas PUPR Enrici Matita­puty sebesar Rp150.000.000.

Berikutnya, dari mantan Kadis Pendidikan Fahmi Sllatalohy se­besar Rp240.000.000, Kepala Ba­dan Pengeluaran dan Aset Daerah, Roberth Silooy Rp50.200.000,

Kepala Bidang Lalu lintas Dinas Perhubungan Kota Ambon Izack Jusac Said Rp116.000.000 dan pada bulan Desember 2018 di ru­mah Dinas Walikota Ambon, ter­dakwa menerima uang dari Kepala Dinas Perhubungan kota Ambon, Robert Sapulette Rp8.000.000.

Sementara dari rekanan Richard diketahui menerima uang sebesar Rp.7.398.050.000 dengan rincian menerima dari Pemilik PT Hoatyk, Victor Alexander Loupatty, sebesar Rp.342.500.000 yang diberikan secara bertahap.

Selanjutnya dari Direktur Utama PT Azriel Perkasa Sugeng Siswanto sebesar Rp.55.000.000, kontraktor Benny Tanihattu USD 2.500 atau Rp.34.950.000, Direktur CV Waru Mujiono Andreas Rp.50.000.000.

Kemudian dari pemilik Toko Buku NN Sieto Nini Bachry Rp.50. 000.000, dari Tan Pabula Rp.85. 000.000, dan Direktur CV Glen Pri­manugrah Thomas Souissa Rp70.000.000.

Berikutnya, Direktur CV Angin Timur Anthoni Liando Rp740. 000.000, Komisaris PT Gebe In­dustri Nikel Maria Chandra Pical Rp250.000.000, Kontraktor Yusac Harianto Lenggono Rp.50.000.000, Direktur Talenta Pratama Mandiri Petrus Fatlolon Rp100.000.000 dan pemilik AFIF Mandiri Rakib Soamole sebesar Rp165.000.000.

RL juga menerima uang dari Apotek Agape Mardika Rp.20.000. 000, Direktur PT Karya Lease Abadi Fahri Anwar Solikhin sebesar Rp.4.900.000.000, Yanes Thenny Rp.50.000.000 dan Novry E Warella sebesar Rp.435.600.000.

Selain penerimaan langsung terdakwa juga menerima uang sebesar Rp3.037.000.000 melalui terdakwa Andrew Erin Hehanussa dengan rincian dari ASN sebesar Rp1.466.250.000 dan rekanan sebesar Rp1.216.250.000.

“Atas penerimaan uang tersebut terdakwa tidak pernah melapor ke KPK dalam kurun 30 hari kerja sejak diterima, sebagaimana di­atur dalam pasal 12C ayat (2)UU nomor 31 tahun1999 tentang pem­berantasan tindak pidana korupsi sebaimana telah diubah dengan UU no 20 tahun 2001 tentang pe­rubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sehingga seluruh penerimaan uang tersebut merupakan gratifikasi yang dite­rima terdakwa yang tidak ada alas hak yang sah menurut hukum,” pungkas JPU.

Selain gratifikasi, RL juga dijerat kasus penerimaan hadiah dari PT Midi Utama Indonesia terkait izin prinsip pembangunan sejumlah gerai di Kota Ambon. Dalam kasus ini,RL diketahui menerima uang fee sebesar Rp500.000.000.

JPU menjelaskan pada tahun 2019 PT Midi Utama Indonesia bermaksud untuk mengembang­kan usaha retail dengan mem­bangun gerai atau toko alfamidi di kota Ambon, dimana dalam proses pembangunanya diperlukan bebe­rapa perijinan diantaranya ijin prinsip dari terdakwa RL selaku Walikota Ambon.

Selanjutnya Solihin selaku kuasa direksi PT MUI atas masu­kan Agus Toto Ganefgian selaku GM license PT MUI menunjuk terdakwa Amri untuk melakukan pengurusan perijinan dengan alasan terdakwa Amri sudah ber­pengalaman.

Saat itu terdakwa mengajukan biaya untuk perngurusan ijin setiap titik atau lokasi sebesar Rp.125. 000.000 yang sumber dananya berasal dari PT MUI.

JPU menyebutkan, pada Juli 2019 terdakwa Amri dan License Manager PT MUI cabang Ambon Nandang Wibowo melakukan per­temuan dengan terdakwa RL dan Terdakwa Andrew Erin di Kantor Walikota Ambon, terkait pembu­kaan gerai toko yang kemudian di setujui RL yang meminta terdakwa Andrew untuk mempercepat proses penerbitan izin.

Selanjutnya terdakwa Andrew meminta terdakwa Amri dan Nan­dang Wibowo terkait kelancaran administrasi.

Berikutnya, pada tanggal 23 Juli 2019, PT MUI mengajukan permo­ho­nan izin prinsip pendirian 27 gerai, dan pada hari yang sama juga RL me­nerbitkan surat perihal persetu­juan prinsip pembangunan gerai Alfamidi, tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Parahnya lagi pada bulan September, pihak PT MUI kembali me­nemui RL untuk maminta tamba­han gerai. Lagi-lagi RL mener­bitkan persetujuan prinsip pemba­ngunan tanpa ada kajian dari dinas terkait.

Setelah izin prinsip terbit, terdakwa Amri memberikan uang secara bertahap berjumlah Rp500.000.000 kepada terdakwa RL melalui terdakwa Andrew Erin.

Usai membacakan dakwaan ketiga terdakwa melalui kuasa hukumnya menerima isi dakwaan dengan tidak mengajukan eksepsi atas dakwaan tersebut, sehingga majelis hakim selanjutnya menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda mendengar keterangan saksi.(S-26)