Praktik korupsi saat ini tidak lagi terpusat di perkotaan. Dalam beberapa tahun terakhir mulai muncul gejala yang sangat mengkhawatirkan, yaitu desentralisasi korupsi hingga menyebar ke wilayah terkecil: pedesaan.

Gejala negatif itu tidak bisa dilepaskan dari adanya kebijakan alokasi dana desa yang dikucurkan pemerintah sebagaimana mandat Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pasal 72 UU Desa menyebutkan bahwa desa mendapat pelimpahan dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang kemudian disebut sebagai dana desa.

Selain itu, desa mendapatkan alokasi dana desa (ADD) yang bersumber dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota. Dua sumber keuangan tersebut akan menjadi anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes) yang wajib dikelola pemerintah desa secara partisipatif, transparan, dan akuntabel.

Proses pencairan alokasi dana yang disebar ke 74.954 desa di seluruh wilayah Indonesia sudah dimulai pada 2015. Setiap tahun ADD mengalami kenaikan signifikan. Pada 2015 ADD yang berasal dari APBN mencapai Rp 20 triliun. Pada 2016 jumlah dana desa naik menjadi Rp 46 triliun dan terakhir pada 2017 berjumlah Rp 60 triliun.

Sayangnya, pengelolaan dana desa tersebut masih diwarnai praktik korupsi. Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak dana desa dikucurkan pada 2015, terdapat sedikitnya 110 kasus korupsi anggaran desa dan diduga melibatkan 139 pelaku yang telah diproses aparat. Jumlah kerugian negara mencapai sedikitnya Rp 30 miliar. Dari segi aktor korupsi, dari 139 pelaku, 107 orang adalah kepala desa, 30 orang aparatur desa, dan 2 orang berstatus istri kepala desa.

Baca Juga: Sopi di Malteng Jadi Perhatian Serius “

Banyaknya jumlah kepala desa yang menjadi tersangka korupsi tentu saja menyedihkan. Padahal, pasal 26 ayat (4) UU Desa menegaskan bahwa kepala desa mempunyai kewajiban untuk melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku dalam waktu dekat akan menetapkan tersangka korupsi alokasi dana desa (ADD) Akoon Kecamatan Nusalaut Kabupaten Malteng. Saat ini polisi sudah me­ngantongi calon tersangka lantaran penyidik dan BPKp sudah mela­ku­kan ekspos bersama Senin (3/5).

Informasi yang berhasil dihimpun disebutkan, DD dan ADD yang diusut sejak tahun 2015-2017. Tahun 2015, DD yang bersumber dari APBN senilai Rp 267.905.708, tahun 2016 Rp 601.130.006, dan 2017 Rp 965.935.966. Sementara itu, untuk ADD yang bersumber dari APBD tahun 2015 senilai Rp 86.777. 573, tahun 2016 Rp 101. 310.090, tahun 2017 Rp 499. 741.966.

Dalam penggunaan dua anggaran ini, diduga terjadi penyelewengan pada sejumlah pekerjaan, dikarenakan semua dikendalikan oleh raja, sekretaris dan bendahara. Dalam penggunaan pada item-item itu terjadi, penyelewengan anggaran pada sejumlah proyek diantaranya, pengadaan bodi speed dan air bersih di Negeri Akoon.

Dari kajian ICW, setidaknya ada tujuh bentuk korupsi yang kerap digunakan pemerintah desa untuk melakukan praktik korupsi dana desa. Yaitu penggelapan, penyalahgunaan anggaran dan wewenang, pungutan liar, penggelembungan (mark-up) harga, laporan fiktif, pemotongan anggaran, dan suap. Titik-titik rawan korupsi dana desa muncul mulai fase perencanaan, pertanggungjawaban, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan, hingga pengadaan barang dan jasa dalam hal penyaluran dan pengelolaan dana desa.

Sementara itu, modus korupsi dana yang berhasil terpantau adalah membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar, mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain, serta adanya pungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten.

Modus lainnya antara lain membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa atau jajarannya, penggelembungan pembayaran honorarium perangkat desa atau pembayaran alat tulis kantor, hingga membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa.

Persoalan korupsi dana desa sebaiknya tidak dibiarkan begitu saja. Jika tidak dilakukan pembenahan, akan muncul kecenderungan peningkatan jumlah aktor dan kerugian dari korupsi dana desa dari tahun ke tahun. Selain mendorong proses penegakan hukum terus berjalan, sedikitnya ada dua langkah penting yang dapat dilakukan untuk mencegah meluasnya praktik korupsi dana desa.

Jangan sampai kenaikan anggaran dana desa justru meningkatkan jumlah koruptor dari desa. Idealnya, dari dana desa yang diberikan, akan ada pemerataan pembangunan dan kesejahteraan hingga ke semua desa dan bukan sebaliknya, membiarkan koruptor muncul merata di setiap desa. (*)