AMBON, Siwalimanews – Akademisi Fisip UKIM Marthen Maspaitella menilai persoalan yang terjadi di DPRD Maluku, terkait per­nyataan Anggota DPRD Provinsi Maluku dari Fraksi PDIP, menun­jukkan adanya komunikasi yang tidak berjalan dengan baik dalam lembaga itu.

Dijelaskan, ruang komunikasi di parlemen sudah diatur dalam mekanisme aturan formal karena itu, proses percakapan yang inten­sif harus memperhatikan aturan yang ditentukan agar terhindar kekeliruan dalam pembahasan.

“Jika hari ini  kita mendapatkan bahwa terjadi masalah antara anggota dewan dalam satu pintu, maka menjadi persoalan yang problematik,” ungkap Maspaitella.

Menurutnya, harusnya sesuatu yang perlu diklarifikasi agar dile­takkan oleh parlemen dalam kepu­tusan mutlak dan mewarisi kaidah normatif agar mendapatkan ke­pastian atas sebuah kesepakatan mutlak yang berhubungan dengan penetapan APBD.

“Tetapi kemudian jika terdapat persoalan dan pihak internal sen­diri yang melakukan perlawanan, maka ada sesuatu yang belum jelas dibalik pembahasan itu,” tuturnya.

Baca Juga: Edwin Murad Saling Ancam

“Maspaitella lantas memper­ta­nyakan letak maksimalisasi peng­am­bilan keputusan yang tidak dikomunikasi dengan aturan yang benar, sehingga terjadi kesalahan penafsiran

Terkait dengan teguran gubernur selaku ketua PDIP, Maspaitella menegasakan bila sesungguhnya menunjukkan tidak adanya akse­sibilitas yang terbuka untuk me­nyimpulkan secara dominasi dan itu masalah komunikasi.

“Ini karena ruang komunikasi secara internal telah tersumbat sehingga berakibat komunikasi politik yang tidak transparan.

Terpisah, pengamat Kebijakan Publik, Nataniel Elake mengatakan kritikan yang dilontarkannya Edwin Huwae dalam kapasitas selaku anggota DPRD Provinsi Maluku merupakan suatu hal yang sah dan normatif. “Kritik Edwin dalam kapa­sitas selaku anggota dewan ada sah dan normatif,” tegas Elake.

Namun justru respon Gubernur Maluku terdapat kritikan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak etis, sebab dalam kapasitas selalu ketua DPD PDIP Maluku dan Edwin sebagai sekretaris DPD PDIP Maluku mestinya Gubernur tidak boleh responsif dalam pari­purna.

Menurutnya, Gubernur seharus­nya lebih bijak artinya setelah selesai paripurna baru gubernur menyampaikan teguran kepada Edwin dan diselesaikan secara internal partai.”Saya sangat me­nyesal jika mempertontonkan bu­daya kepemimpinan yang kurang baik untuk di contohi,” cetusnya.

Sebelumnya, akademisi Fisip Unpatti, Said Lestaluhu meminta Murad Ismail sebagai kepala daerah harus melihat persoalan secara jernih dan membangun komunikasi sesuai dengan konteks yang terjadi. Hal ini diungkapkan Said menanggapi pernyataan gubernur, yang mempersoalkan kritik Edwin Huwae.

Menurutnya, setiap komunikasi politik itu ada konteksnya, bahwa setiap pejabat publik yang dipilih oleh rakyat apakah itu dia eksekutif atau legislatif harus menggunakan bentuk komunikasi yang digunakan sesuai dengan konteks yang terjadi,” jelas Lestaluhu kepada Siwa­lima melalui telepon seluler­nya, Rabu (28/9).

Menurutnya, apa yang disam­paikan oleh anggota DPRD Maluku, Edwin Huwae dalam kapasitasnya sebagai bagian dari penyalur aspirasi rakyat yang menyuarakan kepentingan rakyat dengan menilai tidak logis jika pembahasan KUA-PPAS hanya dibahas 1×24 jam itu adalah hal yang wajar.

Artinya, Huwae melaksanakan kapasitasnya sebagai anggota DPRD yang melakukan tugas pengawasan, bajeting dan juga kontrol, sehingga bagian yang disampaikan itu adalah hal yang wajar, dengan pengalamannya juga sebagai mantan Ketua DPRD.

“Saya nilai ini wajar yang disampaikan pak Edwin sebagai anggota DPRD yang melakukan fungsi kontrol, saya kira ini wajar-wajar saja. Dan jika ada komentar dari pak Murad sebagai eksekutif saya kira tidak bisa menempatkan posisi eksekutif untuk memberikan penilaian secara langsung dalam konteks rapat paripurna itu kepada yang bersangkutan,” katanya.

Hal ini berbeda jika Murad Ismail dalam kapasitas sebagai Ketua PDIP yang melakukan evaluasi dan kinerja terhadap pengurus dan anggota partai atau kader partainya.

“Saya kira kontaksnya berbeda. Jika pak Murad sebagai Ketua Partai sedang memimpin rapat internal partai barulah hal ini bisa disampaikan,” katanya.

Selain itu, gubernur bisa saja dalam membangun komunikasi po­litik dalam kapasitasnya seba­gai Ketua PDI Perjuangan, bisa melalui fraksi sebagai perpanja­ngan tangan dari partai untuk me­neliti, memeriksa dan mengecek secara langsung kehadiran yang bersangkutan dan sangat keliru, jika secara langsung disampaikan dalam rapat paripurna tersebut dimana konteksnya tidaklah tepat.

“Dalam internal partai komu­nikasi politik itu bisa juga dibangun melalui fraksi karena perpan­jangan tangan partai di dewan ada di fraksi. Tetapi sangat keliru jika disampaikan dalam rapat pari­purna antara eksekutif dan legis­latif, dimana dua lembaga ini se­bagai penyelenggara pemerinta­han, dan DPRD berfungsi untuk me­ngawasi setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak eksekutif.

Etika Politik

Staf pengajar FISIP Unpatti lainnya, Paulus Koritelu mengung­kapkan, memang kebenaran da­lam pers­pektif politik itu kebenaran yang tentatif, sangat tergantung pada konstruksi kesepakatan politik.

Karena dalam segala aspek, tentu saja masing-masing punya landasan kebenaran sendiri mengadu argumentasikan apa yang menjadi bagian dari interes politiknya, tetapi satu hal ada etika-etika politik yang harus mengka­rakterisasi perilaku-perilaku politik.

Pernyataan Gubernur tersebut, kata Koritelu sebagai bagian dari mandeknya komunikasi politik. “Saya menilai ada mandeknya komunikasi politik sehingga publik dibiking bingung ya,” ujarnya saat dihubungi Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (29/9).

Menurutnya, Murad Ismail boleh keras menegur anggotanya Edwin Huwae, tetapi haruslah dalam rapat internal di PDIP dan bukan dalam rapat paripurna antara eksekutif dan legislatif.

“Saya nilai kalau pak Murad keras tegur pak Edwin itu boleh kalau itu rapat internal partai dan bukan dalam paripurna DPRD,” tam­bahnya. (S-50)