Komisi III DPRD Provinsi Maluku mengklaim semua proyek baik yang dibiayai APBN maupun APBD termasuk dana SMI menjadi fokus pengawasan  lembaga wakil rakyat itu. Pengawasan merupakan salah satu tugas dan fungsi DPRD, karena itu proyek-proyek yang didanai APBD maupun APBN menjadi fokus pengawasan di kabupaten dan kota di Maluku. Memang ada keraguan masyarakat terhadap komitmen DPRD Maluku. Sebab sejumlah proyek APBD saat ini sedang bermasalah. Kalau saja media tidak menggaungkan itu, barangkali DPRD Maluku diam dan pura-pura tak tahu.

Kondisi saat ini rakyat tak  lagi bungkam. Rakyat menyadari melakukan pengawasan secara bersama-sama dengan DPRD. Rakyat tahu kalau suaranya diwakili di lembaga tersebut, sehingga kewajiban rakyat bersama DPRD mengawasi proyek-proyek pemerintah di lapangan.

Dalam melakukan pengawasan pun masyarakat  lebih berani ketimbang DPRD, sebab jika ada temuan, laporannya langsung ke institusi  penegak hukum.

Ada kalanya DPRD kecolongan atau bisa juga pura-pura. Hal ini dimaklumi, sebab ada mekanisme yang harus ditempuh DPRD saat pengawasan di lapangan.

Untuk proyek-proyek APBD yang didalamnya termasuk proyek  didanai pinjaman dari SMI, Komisi III sementara melakukan pengawasan ketat.

Baca Juga: Pemkot Ambon Setengah Hati Tertibkan Terminal

Wakil Ketua Komisi III DPRD Maluku, M Hatta Hehanusa  akui saat ini Komisi III sementara melakukan pengawasan di daerah Maluku Tenggara dan Kota Tual, dimana proyek-proyek yang dananya  berasal dari APBD tidak terlalu banyak.

Lagipula,  tidak semua proyek dibiayai  APBN diawasi, karena komisi hanya melihat proyek-proyek yang menelan anggaran  besar, termasuk dibiayai dengan pinjaman PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) itu.

Anggaran pinjaman dari SMI sudah masuk dalam APBD Perubahan tahun 2020, dan menjadi satu komponen anggaran APBD tahun 2020. Olehnya, menjadi kewenangan DPRD untuk melakukan pengawasan. Akan tetapi, pekerjaan  yang dibiayai dengan SMI sampai saat ini masih ada  yang  kontraknya belum berakhir lantaran ada adendum atau perpanjangan kontrak hingga 31 Juni mendatang.

Jadi, Hehanussa klaim proyek-proyek yang didanai APBD  tidak ada masalah. Ini karena kontraknya masih berjalan dan ada mekanisme.  Terkait dengan adanya penilaian jika DPRD lemah dalam melakukan pengawasan, Hehanusa menyerahkan semua penilaian kepada masyarakat. Tetapi selaku pimpinan komisi, dirinya memastikan komisi sudah melakukan pengawasan yang baik. Menurutnya, belum disampaikannya temuan selama pengawasan kepada publik karena masih dilakukan evaluasi terhadap beberapa kegiatan  yang harus diselesaikan oleh pihak terkait.

Hehanusa  boleh saja mengatakan seperti itu. Berbeda dengan temuan yang didapati masyarakat. Kalau seandainya temuan itu  masyarakat yang tahu,  jalan keluar adalah laporan ke institusi penegak hukum.  Karena itu Hehanussa enggan menjelaskan ke publik. Meski demikian, Hehanussa lupa ini era keterbukaan. Transparansi dalam mengerjakan proyek-proyek pemerintah itu juga harus dibuka ke publik. Contoh, ada proyek yang dikerjakan tanpa pengumuman papan proyek.

Apakah ini juga DPRD harus menahan gengsi tak boleh disampaikan ke publik karena ada mekanismenya. Tentu ini alasan yang tidak rasional.

Sikap DPRD seperti ini sesungguhnya membuat rakyat curiga ada  “tawar menawar” lembaga wakil rakyat itu dengan pemilik proyek. Bagi DPRD, ketika ada temuan, yang memiliki kewenangan untuk menilai suatu proyek bermasalah itu lembaga teknis dan karena itu DPRD atau komisi berwenang hanya menjalankan fungsi pengawasan guna memastikan anggaran APBD dikerjakan sesuai atau tidak.

Secara teknis menyangkut nilai lebih atau kurang nantinya direkomendasikan kepada lembaga teknis dalam hal ini PUPR. Namun jika memang ada persoalan lain maka bisa saja inspektorat dan BPKP yang dapat melakukan fungsinya juga.

Hehanusa meminta seluruh eleman masyarakat untuk memberikan kesempatan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga.

Kita berharap DPRD Maluku tidak lemah dalam mengawasi proyek-proyek APBD dan APBN di Maluku. Yang namanya pemerintah daerah bukan hanya pemda saja tetapi juga DPRD walaupun fungsi kedua lembaga ini berbeda.

Karena itu keseimbangan ada manakala kedua fungsi itu berjalan dengan baik. Ketika prioritas pengawasan yang lemah dan ditujukan terhadap proyek APBN saja, maka dimanakah keseriusan dari DPRD sebagai lembaga pengawasan, sebab justru APBD dimaksud agar ekonomi daerah tetap berjalan sehingga rakyat sejahtera.

Harapan kita DPRD Maluku fokus dan tidak menonjolkan kelemahan. Fokus prioritaskan proyek APBD karena levelnya DPRD di daerah, sehingga APBD harus diprioritaskan. Pengawasan yang lemah terhadap proyek APBD  bisa saja memunculkan asumsi  DPRD lebih miring ke proyek APBN karena memang nasib mereka di tangan partai politik yang berpusat di Jakarta.

Ini  paradigma lama dalam proses pembangunan dimasa lalu yang  harus diti­nggalkan dan berbalik pada sistem desentralisasi, dimana orientasi penentuan nasib ditentukan oleh daerah sendiri. Lemahnya DPRD dalam melakukan pengawasan akan menimbulkan tendensi masyarakat yang semakin tajam terhadap lembaga wakil rakyat itu. Semoga   DPRD serius melakukan pengawasan demi kesejahteraan rakyat Maluku. (**)