MENGIKUTI perkembangan kasus penularan COVID-19 yang setiap hari bisa kita dapatkan dari berbagai media, rasanya kita sedang memasuki ketidakpastian baru. Angka penduduk yang terpapar terus meningkat dibandingkan dengan periode sebelum festive season dan liburan Idulfitri. Padahal, sejak jauh-jauh hari larangan dan imbauan untuk tidak mudik dan berkumpul juga sudah disampaikan Pemerintah dan otoritas pelaksana penanganan COVID-19.

Kabupaten Kudus dan wilayah Madura menjadi hotspot baru dalam penyebaran virus, dan mulai ada tanda-tanda menyusul beberapa wilayah lain yang juga menunjukkan kenaikan yang signifikan. Sebuah laporan yang dikutip oleh Reuters menggambarkan bahwa angka-angka yang dilaporkan atau yang tercatat lalu beredar di ruang publik lebih rendah dibandingkan kasus faktual yang terjadi.

Saya khawatir bahwa New Normal yang telah kita jalani dan terapkan sepanjang masa pandemi ini, akan membawa situasi yang, katakanlah kita sebut New Uncertainty. Ketidakpastian baru.

Apa risiko dan konsekuensi dari ketidakpastian seperti ini terhadap organisasi –birokrasi maupun korporasi– pada kondisi di mana pandemi sudah melewati batas-batas psikologis yang pernah kita prediksi maupun bayangkan?

Ketidakpastian (uncertainty) dalam organisasi secara umum dapat diukur dari dua aspek, yaitu magnitude (besaran, tingkat, skala) dan duration (waktu: hari, pekan, bulan, tahun). Pandemi telah melampaui semua kriteria ketidakpastian yang diukur pada kondisi normal. Dari sisi besaran atau skala, kondisi ini sudah terjadi secara global dan nyaris tidak ada satupun entitas yang tidak terdampak. Dari sisi durasi, tidak ada ketidakpastian yang tidak berakhir. Namun pandemi telah memaksa akal pikiran kita untuk memprediksi, kapan semuanya akan berakhir.

Baca Juga: Melawan Lupa Poros Maritim

Sektor-sektor industri tertentu, sebagian entitas­nya sudah menyerah. Industri penerbangan misal­nya, nyaris menimbulkan dampak yang beruntun dan meluas dan cepat. Industri pariwisata dan hospitalities demikian juga.

Gejala-gejala tumbangnya entitas organisasi bisnis/korporasi, biasanya diawali dengan ketidak­mampuan manajemen puncak dan menengah membaca dan bereaksi atas keterpukulan proses bisnis yang mereka alami dan bagaimana me­nyelamatkannya di tengah waktu yang terus berjalan. Harus diingat, durasi menjadi salah satu kunci yang harus segera dimitigasi dalam kerangka atau satuan waktu yang lebih detail (jam, hari, pekan, bulan).

Gejala-gejala tersebut dapat diidentifikasi dari berbagai keputusan, pernyataan, atau tanggapan yang dapat kita simak secara terbuka. Terdapat empat gejala yang pada umumnya terjadi. Pertama, bias atau falsifikasi optimisme. Bias atau falsifikasi ini pada umumnya bisa melanda setiap individu/pegawai ataupun secara kolektif pada organisasi, mulai dari yang paling puncak sampai yang paling bawah. Pada umumnya, bias ini ditandai dengan sikap atau langkah yang ambigu dan gamang atas situasi yang berkembang. Para direksi, manager, sampai dengan staf, terjebak pada kondisi bahwa organisasi mereka baik-baik saja.

Kedua, ketidakstabilan informasi. Lihatlah dari yang paling dasar. Kita mengalami dan merasakan sendiri, suatu informasi bisa berubah-ubah dengan cepat. Obat A katanya cocok untuk penyakit ini. Tiba-tiba, setelah jangka waktu tertentu, info itu tidak lagi valid. Cobalah periksa, berapa kali kita mengalami situasi seperti itu, hanya selama masa pandemi ini? Tidak hanya urusan kesehatan, informasi tentang prosedur, cara kerja, sampai dengan cara hidup, terus berubah dan berubah lagi. Itulah tanda-tanda ketidakstabilan informasi.

Ketiga, keletihan komunal (communal fatique). Da­lam organisasi, dengan durasi dan magnitudo keti­dak­pastian yang berada pada titik yang paling ekstrem, elemen dalam komunal/kelompok yaitu masing-masing invididu mengalami kejenuhan yang luar biasa, kebingungan yang akut, dan kekhawatiran yang berlebihan atas ketidakpastian. Kadang-kadang me­reka menjumpai, apa yang dikhawatirkan benar-benar terjadi. Kadang-kadang mereka mengalami, kebingu­ngan itu mereka rasakan, bahkan dalam keputusan-keputusan yang tidak penting.

Keempat, jawaban atau keputusan yang salah. Jawaban atau keputusan yang salah hanyalah hilir dari gejala-gejala atau masalah yang terjadi pada lini sebelumnya di tingkat hulu. Kesalahan jawaban dan keputusan salah satunya dipicu oleh ketidakstabilan informasi atau kekeliruan menetapkan asumsi-asumsi yang diperlukan untuk mengeliminir/mengurangi ketidakpastian. Asumsi yang keliru, sudah pasti akan menghasilkan jawaban yang keliru.

Jika tidak hati-hati, siapa saja tidak bisa menghindari empat kemungkinan yang saling terkait tersebut. Oleh karena itu, cara kita melihat persoalan sebagai upaya menghadapi survival yang paling nyata akan sangat menentukan akan berada di mana dan seperti apa ketika sudah memasuki masa normal. (Muhamad ali, Pemerhati Human Capital)