HINGGA tahun ke-7 pemerintahan Presiden Joko Widodo, isu Poros Maritim seolah menghilang bak ditelan bumi. Terlebih di saat pandemi covid-19. Di sisi lain, aktualisasi kebijakan beserta implemen­tasinya masih sangat ditunggu masyarakat pesisir.

Poros maritim dan ketahanan pangan

Pandemi covid-19 sangat memukul perekono­mian dunia, termasuk Indonesia. Seluruh negara me­nata kembali perekonomiannya. Prioritas utama ialah keselamatan warga negara dan penguatan ekonomi dasar, yaitu pangan (food), energi (energy), dan air (water). Ketiga sektor tersebut merupakan landasan ekonomi yang wajib dipertahankan di kala pandemi.

Saat ini, Indonesia menghadapi masalah serius ke­tahanan ketiga sektor tersebut, khususnya pa­ngan (food). Diperlukan strategi ketahanan pangan yang tepat untuk menghindari bencana krisis pangan. Di sinilah perlunya reaktualisasi Poros Maritim.

Kelembagaan ketahanan pangan dari laut perlu ditata kembali. Kebijakan ketahanan pangan tidak boleh bersandar pada satu lembaga saja, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tapi kolaborasi dan integrasi seluruh lembaga terkait. Penataan yang tepat akan mengoptimalkan peman­faatan potensi perikanan tangkap ataupun budi daya.

Baca Juga: Pandemi dan Ekonomi Digital

Di sisi lain, penataan harus menempatkan mas­yarakat nelayan dan pembudi daya sebagai aktor utama. Kesejahteraan nelayan, dan pembudi daya, wajib menjadi perhatian khusus dari pemerintah sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pember­dayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

Pemerintah tidak boleh mengulangi kekeliruan pemberian bantuan kepada nelayan, tanpa kajian yang mendalam terhadap aspek sosial, ekonomi, dan daya dukung sumber daya perikanan di suatu daerah. Pemberian bantuan yang hanya bersifat keproyekan tidak akan berhasil dan rentan tindak pidana korupsi.

Stunting dan sampah plastik

Ketahanan pangan perlu diperkuat tidak hanya untuk melindungi warga negara Indonesia di tengah pandemi, tetapi juga menyelamatkan bonus demografi Indonesia pada kurun waktu 2020-2036.

Bonus demografi merupakan suatu keadaan atau kondisi yang komposisi jumlah penduduk yang berusia produktif (15-64 tahun) lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tidak produktif.

Di kurun waktu tersebut Indonesia memiliki modal jumlah penduduk usia produktif yang diperlukan untuk akselerasi pembangunan nasional. Musuh utama yang meng­ancam adalah stunting.

Stunting merupakan keadaan kekurangan gizi yang dialami oleh anak usia di bawah lima tahun (balita) dan menyebabkan kegagalan tumbuh kembang seorang anak. Seorang anak yang mengalami kondisi stunting akan meng­alami hambatan perkembangan kognitif, baik di sekolah maupun pendidikan lanjutan.

Selain itu, pengaruh paling signifikan terjadi saat beranjak dewasa, yang menyebabkan berbagai gangguan jasmani, seperti risiko penyakit diabetes melitus tipe II dan jantung. Ini akan menjadi masalah besar saat sebagian dari penduduk usia produktif mengalami stunting. Indonesia dapat kehilangan momentum bonus demografi.

Ikan merupakan makanan yang sangat disa­rankan untuk mencegah stunting. Keanekaragaman spesies ikan (laut ataupun air tawar) di Indonesia merupakan sumber daya yang kaya akan protein, mineral, lemak sehat, omega 3 dan vitamin K yang sangat dibutuhkan untuk kesehatan dan pertum­buhan. Ikan harus terus didorong menjadi salah satu sumber pangan utama, yang mendorong pening­katan kualitas hidup masyarakat Indonesia, serta, menyelesaikan masalah stunting sebagaimana amanat UU Pangan No 18 Tahun 2002.

Perlu diwaspadai 2 tantangan ­utama yang meng­hadang. Tantangan pertama ialah masalah logistik hasil perikanan. Distribusi hasil perikanan masih menjadi kendala, terlebih di pulau-pulau kecil dan terluar. Tantangan kedua ialah bahaya sampah plastik di laut. Laut kerap menjadi tempat pem­bu­angan sampah plastik terakhir. Kondisi itu mem­bahayakan kelestarian ekosistem di laut.

Pencemaran plastik di laut akan menyebabkan munculnya proses fragmentasi menjadi mikro­plastik (Jones: 2018). Diperkirakan 25% spesies ikan laut yang dimakan di Indonesia, mengandung mikro­plastik (WWF: 2018). Partikel-partikel mikroplastik kecil akan memasuki aliran darah, paru-paru, dan khusus untuk ibu menyusui ialah air susu ibu atau ASI! Ini sangat berbahaya. Di sinilah perlunya kolaborasi seluruh pihak, baik pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya.

Selain penuntasan kelembagaan, masalah berikut­nya ialah ketiadaan peta jalan (road map) pemba­ngunan kemaritiman. Sebagai negara kepulauan, pem­bangunan berwawasan kemaritiman mutlak diperlukan. Kesan tumpang tindih kewenangan antar­kementerian/lembaga (K/L) masih terlihat meskipun ada instrumen kebijakan yang menjadi platform, yakni Perpres Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia.

Kemaritiman harus dilihat sebagai sebuah pem­bangunan menyeluruh sebuah negara kepulauan dengan pulau-pulau yang dibangun konektivitasnya. Tidak bisa bersandar pada satu sektor saja. Seluruh K/L harus berjalan seiring dengan orkestrasi yang dipimpin oleh Presiden RI melalui Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves). Pengelolaan pulau-pulau terluar, hasil perikanan, wisata bahari, mi­neral bawah laut, energi baru dan terbarukan, penguatan kapasitas nelayan dan stakeholder sektor perikanan, ketersediaan pasokan listrik untuk pelabuhan barang.

Selain itu, pelabuhan penyeberang­an, pelabuhan perikanan, lalu lintas perdagangan melalui alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) dan lain-lain ialah tugas pemerintah yang harus diselesaikan secara terinte­grasi. Poros Maritim, harus disusun dengan tujuan, sasaran, dan teknis pelaksanaannya secara rinci, tidak hanya jargon.

Penangkapan kapal ilegal akan menjadi rutinitas semata apabila masih banyak ruang kosong di laut yang tidak dapat diakses oleh nelayan karena keter­batasan kapasitas kapal, bahan bakar, tidak optimalnya pengelolaan pelabuhan, hingga ketersediaan listrik di berbagai daerah khususnya pulau-pulau kecil dan terluar. Tidak mengherankan, apabila investasi di sektor perikanan masih sangat terbatas.

Sejak tahun 2015 hingga 2021, jumlah investasi penanaman modal asing (PMA) di sektor perikanan ialah US$ 287,429 juta. Jumlah investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) di kurun waktu yang sama sebesar Rp1,704 triliun (BKPM: 2021). Nilai investasi tahun 2015-2021 tersebut sangat kecil dan belum dapat menjadi daya ungkit (leverage) sektor perikanan.

Berbagai kebijakan yang menghambat seperti perizinan, larangan kapal eks asing, transhipment, pene­rapan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tinggi, dan lain-lain perlu ditinjau ulang. Berbagai kebijakan perlu ditinjau kesesuaiannya, dengan pembangunan kemaritiman seperti moneter, fiskal, industri, kelautan, perikanan, pertanian, energi, trans­portasi, pariwisata, dan lainnya. Seluruhnya diarahkan pada pembangunan berbasis negara kepulauan (archipelagic-based). Di sinilah kita melawan lupa Poros Maritim. (Andre Notohamijoyo, Pemerhati Kemaritiman, Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia  )