IRONIS. itulah kata paling tepat untuk menggam­barkan apa yang sedang terjadi di dunia perguruan tinggi (PT). Bisa dibayangkan, bagaimana pikiran yang kini berkecamuk di benak masyarakat. Kampus yang semestinya berdiri di jajaran paling depan dalam upaya melakukan kontrol dan pemberantasan praktik korupsi, ternyata justru menjadi terdakwa.

Penetapan Rektor Udayana Prof I Nyoman Gde Antara sebagai tersangka kasus korupsi dana sumba­ngan pengembangan institusi (SPI) mahasiswa baru seleksi jalur mandiri tahun akademik 2018-2023, kembali menohok hati masyarakat. Kasus yang mulai diendus aparat penegak hukum sejak Oktober 2022 itu diperkirakan merugikan negara sebesar Rp443,9 miliar.

Penetapan petinggi Udayana sebagai terdakwa kasus korupsi ini ialah kasus kedua yang menjerat rektor PT di Tanah Air dalam dua tahun terakhir. Sebelumnya, Rektor Universitas Lampung Prof Karomani juga ditetap­kan sebagai tersangka korupsi, dan kini tengah menjalani proses persidangan untuk mempertanggung­jawabkan perbuatannya.

Terlepas bagaimana penghitungan jumlah kerugian negara hingga keluar angka ratusan miliar rupiah itu, penetapan Rektor Udayana sebagai terdakwa kasus korupsi di lingkungan kampus sungguh sangat mem­prihatinkan. Kasus ini membuktikan bahwa godaan melakukan praktik korupsi tidak hanya populer di kalangan aparatur birokrasi, tetapi juga menjalar di lingkungan kampus yang semestinya steril dari praktik haram ini.

Korupsi di PT

Baca Juga: Bahagia Belajar dan Mengajar

Menurut data Transparency International Indonesia (TII), praktik korupsi di lingkungan PT sebetulnya bukan hal yang baru. Di Indonesia pada akhir 2016, penelitian yang dilakukan TII menemukan bahwa konflik kepentingan yang terjadi di dunia PT, terutama dalam proses penerimaan mahasiswa baru memungkinkan berkembangnya praktik korupsi yang merugikan.

Berdasarkan data pengaduan masyarakat di KPK, dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan PT secara lebih rinci ditemukan di sektor pengelolaan aset, penge­lolaan keuangan, penerimaan siswa, pemilihan rektor, gratifikasi, pengadaan yang meliputi fee proyek, penga­turan/rekayasa pengadaan, dan markup anggaran, serta konflik kepentingan. Bukan tidak mungkin, kasus yang menjeret Rektor Udayana bukan kasus yang terakhir.

Seperti dikatakan Ketua KPK Firli Bahuri, maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia ibarat fenomena gunung es. Tindak pidana korupsi yang dibongkar saat ini baru sekitar 20%, sedangkan 80% potensi perilaku korup lainnya belum diketahui. Meski korupsi kelas kakap sudah cukup banyak yang terungkap, tidak menutup kemungkinan praktik korup lainnya masih tersebumyi dan sulit dibongkar.

Di lingkungan PT, praktik korupsi yang dilakukan pimpinan kampus baru terbongkar ketika ada kasus pemicunya. Seperti kasus dugaan korupsi yang dilakukan pegawai Ditjen Pajak, praktik penyalahgunaan wewenang yang dimiliki untuk mengeruk keuntungan pribadi baru terbongkar ketika dimulai dari kasus Rafael Alun Trisambodo mencuat ke publik gara-gara ulah anaknya, yang melakukan tindakan penganiayaan pada seorang remaja. Di lingkungan kampus, praktik korupsi biasanya tidak akan mencuat ke permukaan, jika tidak ada pihak-pihak atau kasus tertentu yang memulainya.

Pengalaman selama ini telah membuktikan bahwa pimpinan PT yang relatif tertutup, slintutan, dan tidak transparan baik dalam pengelolaan anggaran maupun kegiatan, biasanya rawan terjerumus dalam praktik korupsi. Ketika anggaran yang masuk dan dikelola tidak dideklarasikan secara terbuka, godaan yang memicu hasrat melakukan korupsi niscaya akan mulai muncul.

Di Tanah Air ini, konon ada sebuah PT yang kekua­saan rektornya begitu besar, yang justru mendorong peluang terjadinya praktik korupsi. Menurut cerita, ketika menentukan siapa saja calon mahasiswa baru lolos dan bisa diterima di universitasnya, rektor tersebut kabarnya tidak melibatkan siapa pun. Tidak melibatkan wakil rektor. Tidak melibatkan dekan, dan pejabat kampus lain.

Pendek kata semua ditentukan sendirian dengan dalih bahwa itu ialah kewenangannya. Cara kerja dan sikap eksklusif rektor seperti ini, entah kenapa dilakukan. Namun, yang pasti dengan menentukan serbasendiri keputusan-keputusan penting PT, kemungkinan untuk terjadinya malaadministrasi dan pelanggaran etika menjadi lebih terbuka.

Transparansi

Untuk mencegah agar kasus rektor-rektor yang korup tidak terus berkembang di lingkungan kampus, kuncinya sebetulnya sudah jelas, yakni akuntabilitas dan transpa­ransi. Kedua hal itu, minimal harus menjadi roh yang mewarnai kinerja pimpinan kampus, baik yang melandasi hubungan mereka dengan insan kampus itu sendiri maupun hubungan mereka dengan pihak luar kampus.

Banyak kasus membuktikan bahwa akuntabilitas hanya bisa dibangun ketika pimpinan kampus tidak antikritik, dan bersedia mendengar masukan dari berbagai pihak untuk memastikan kebijakan dan perilakunya tetap dalam koridor etika dan moralitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Tidak mungkin seorang pimpinan dikatakan akuntabel, jika mereka alergi pada pengawasan dan kontrol sosial.

Sementara itu, transparansi niscaya akan terwujud, jika pimpinan kampus bersedia membuka semua akses informasi dan tidak menutup-nutupi proses pengalo­kasian, penggunaan, dan pengelolaan anggaran dari seluruh civitas akademika. Di tingkat yang paling elementer, seorang rektor harus memberi contoh kepada unsur lain di PT dalam memberikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) dengan tertib dan benar.

Sementara itu, pada tingkat yang lebih luas, rektor ada baiknya pula jika membuka diri pada proses pengawasan yang dilakukan elemen-elemen kampus. Sudah barang tentu, elemen kampus yang menjadi pengawas pimpinan kampus harus memiliki kehormatan dan konsisten dalam bersikap.

Dalam kasus korupsi yang dilakukan rektor Unila, misalnya, pengawasan tidak berjalan dengan baik karena justru orang-orang di sekitar lingkaran rektor ikut menikmati hasil dari ulah kotor yang mereka lakukan. Ketua Senat Universitas yang semestinya menjadi pengawas dan mengingatkan jika terjadi hal-hal yang ditengarai menyimpang, justru menjadi bagian yang mendukung praktik korupsi rektornya.

Sebagai institusi pendidikan yang mengemban amanah sebagai mercusuar keadilan dan memikul muruah sebagai lembaga yang dihormati masyarakat, sudah seharusnya jika PT mengembangkan diri dengan prinsip tata kelola yang transparan atau good university governance (GUG). PT yang dike­lola serampangan dan bias kepentingan, serta kekuasaan dari kepe­mimpinan rek­tornya, niscaya akan rawan menyimpang.

Dengan menerapkan prinsip GUG secara konsisten, potensi untuk terjadinya tindak pidana korupsi di PT dapat ditekan, aturan secara adil dapat ditegakkan, serta sekaligus mampu menciptakan lingkungan kondusif bagi proses internalisasi nilai-nilai antikorupsi kepada seluruh civitas akademika. PT yang tidak menerapkan prinsip GUG, ibaratnya ialah lumbung padi yang kotor, dan mengundang tikus-tikus jahat untuk mengambil apa-apa yang bukan menjadi haknya.Oleh: Bagong Suyanto Dekan FISIP Universitas Airlangga. (*)