Internasionalisasi Bahasa Indonesia, Kendala dan Tantangannya
SUMPAH Pemuda kembali kita rayakan pada tahun ini. Usia bahasa Indonesia genap 94 tahun jika dihitung dari dinobatkan menjadi bahasa nasional pada 28 Oktober 1928. Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional selanjutnya dikukuhkan sebagai bahasa negara pada 18 Agustus 1945, yang termuat dalam Undang-Undang Dasar RI 1945. Kini, Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan memberikan amanat kepada kita semua untuk meningkatkan fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Amanat yang tersurat dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 itu dipertegas melalui PP Nomor 57 Tahun 2014 dan Peraturan Mendikbud Nomor 42 Tahun 2018. Bagaimana perjuangan kita untuk mencapai cita-cita tersebut? Apa kendala dan tantangannya? Dalam peraturan perundang-undangan belum dijelaskan definisi bahasa internasional sehingga perlu dirujuk referensi lain yang menguraikan hal itu. Setakat ini, frasa bahasa internasional sekurang-kurangnya mengacu pada empat konsep, yaitu (1) bahasa resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), (2) bahasa perhubungan antarnegara, (3) bahasa Inggris sebagai bahasa dunia, dan (4) bahasa Esperanto (Badanbahasa. kemdikbud.go.id). Usaha-usaha dalam menginternasionalkan bahasa Indonesia sebenarnya telah dimulai jauh sebelum UU No 24 Tahun 2009 lahir. Usaha tersebut tidak hanya dilakukan pemerintah, tetapi juga oleh perguruan tinggi dan berbagai lembaga pendidikan nonformal melalui kursus bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA).
Program pengajaran BIPA bertambah marak ketika pemerintah menegaskan dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 21-23 Februari 2016, yang termuat dalam rekomendasi Komisi V menyatakan tiga hal yang perlu dilakukan untuk internasionalisasi bahasa Indonesia: (1) penyebarluasan bahasa Indonesia melalui pengajaran BIPA, (2) pengayaan kosakata baru bahasa Indonesia, dan (3) penumbuhan budaya literasi. Rekomendasi itu menjadi tonggak penting bagi perkembangan program pengajaran BIPA dan internasionalisasi bahasa Indonesia. Selanjutnya, berbagai pelatihan pengajaran BIPA dilakukan beberapa perguruan tinggi, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, dan APPBIPA (Afiliasi Pengajar dan Pegiat BIPA) untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. Pengiriman tenaga pengajar BIPA telah dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui Pusat Pengembangan Strategi Diplomasi Kebahasaan sejak 2015 dengan penugasan 80 pengajar di 16 negara. Sepanjang 2021 hingga September, sebanyak 8.950 orang pemelajar BIPA di 30 negara telah terfasilitasi melalui 177 penugasan tenaga pengajar BIPA di 80 lembaga. (Kemdikbud.go.id/main/blog/2021/09/capaian-keberhasilan-bipa).
Pekerjaan rumah Peningkatan pengiriman pengajar BIPA yang meluas ke banyak negara tentunya menggembirakan, tetapi di sisi lain banyak hal yang harus dituntaskan untuk program ini. Kualitas para pengajar BIPA yang belum terstandar menjadi pekerjaan rumah yang utama. Karena itu, pemerintah dalam hal ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada 2022 memfasilitasi penyusunan Rancangan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Pengajar BIPA (RSKKNI pengajar BIPA) bekerja sama dengan organisasi profesi pengajar BIPA. Langkah penting itu akan sangat bermanfaat untuk menjaga kualitas pengajar BIPA sebagai ujung tombak menuju internasionalisasi bahasa Indonesia. Ketika RSKKNI disahkan nanti menjadi KKNI pengajar BIPA, pengajar BIPA akan memiliki rujukan standar untuk pelatihan, uji kompetensi, dan bermuara pada adanya sertifikasi profesi. Selain persoalan pengajaran BIPA, rekomendasi pengayaan kosakata baru menjadi hal penting untuk menjadikan bahasa Indonesia bahasa yang modern. Bahasa yang modern ialah bahasa yang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada 8 Mei 2016 aplikasi pengayaan kosakata bahasa Indonesia diluncurkan Kemendikbud sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kosakata bahasa Indonesia. Aplikasi dengan sistem dalam jaringan itu bertujuan melibatkan masyarakat dalam memperkaya khazanah kosakata bahasa Indonesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Setelah terkumpul kosakata tersebut divalidasi Badan Bahasa untuk memastikan apakah kata tersebut memenuhi persyaratan. Jika jumlah kosakata dalam KBBI sudah memadai, apakah kita sudah bisa tersenyum lebar? Internasionalisasi bahasa Indonesia tidak cukup hanya dari indikator jumlah kosakata yang dimiliki. Jumlah pengguna, ranah penggunaan, dan luas wilayah penggunanya tentu perlu juga diperhatikan. Sikap meremehkan Oleh sebab itu, sikap positif dari masyarakat Indonesia di dalam dan di luar negeri menjadi indikator penentu. Tidak bisa dimungkiri bila masih ada sebagian masyarakat Indonesia bersikap negatif atau meremehkan bahasanya.
Berbahasa asing dianggap lebih membanggakan dan bergengsi. Gerakan untuk mengutamakan bahasa Indonesia masih perlu terus dilakukan dengan tetap melestarikan bahasa daerah dan belajar bahasa asing untuk keperluan yang relevan. Rekomendasi ketiga dari RNPK pada 2016 ialah penumbuhan budaya literasi yang gemanya tentu telah kita rasakan. Jargon-jargon terkait dengan gerakan literasi nasional yang mencakup gerakan literasi keluarga, literasi sekolah, dan masyarakat digaungkan pemerintah dengan menggandeng banyak pihak. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyampaikan angka buta aksara Indonesia menurun. Hal itu berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2021, angka buta aksara di Indonesia tinggal 1,56% atau 2,7 juta orang. Jumlah tersebut menurun jika dibandingkan dengan data buta aksara 2020 dengan angka buta aksara masih 1,76% atau sekitar 2,9 juta orang (Beritasatu.com/new). Namun, melek aksara hanya salah satu dari indikator untuk literasi. Literasi yang diharapkan dicapai bukanlah hanya literasi baca tulis, ada lima literasi lain yang diperlukan untuk menjadikan bangsa ini maju dan disegani. Dengan begitu, bangsa lain juga tertarik untuk mempelajari bahasa kita. Literasi lainnya ialah literasi numerasi, sains, finansial, digital, budaya, dan kewargaan. Pada lima literasi dasar yang lainnya kita masih harus banyak berjuang.
Baca Juga: Obat Sirop dan KLBSudah banyak dibahas di berbagai media massa bagaimana hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) kita yang belum menggembirakan. Hasil survei PISA 2018 menempatkan Indonesia di urutan ke-74 alias peringkat keenam dari bawah. Kemampuan membaca siswa Indonesia di skor 371 berada di posisi 74, kemampuan matematika mendapat 379 berada di posisi 73, dan kemampuan sains dengan skor 396 berada di posisi 71. Hubungan literasi dengan internasionalisasi bahasa Indonesia tentu sangat erat. Bagaimana mungkin kita menginternasionalisasikan bahasa kita jika di dalam negeri tingkat literasi masih rendah.
Berdasarkan uraian tersebut, sudah seharusnya peta jalan internasionalisasi bahasa Indonesia disusun dengan menjawab berbagai permasalahan kebahasaan dan literasi bahasa yang masih ada. Badan Bahasa proaktif meningkatkan kerja sama dengan institusi lain, baik dalam lingkup birokrasi pemerintah maupun dengan perguruan tinggi dalam merumuskan langkah-langkah strategis bersama. Sebagai contoh, penguatan ‘diplomasi lunak’ (soft policy diplomacy) bekerja sama dengan Kemenlu dan Kemenparekraf. Jika perencanaannya matang dan profesional, bisa meniru keberhasilan ‘diplomasi lunak’ Korea Selatan yang sukses dengan program ekonomi kreatif Korean Wave-nya (K-Wave). Terbukti, terjadi peningkatan luar biasa peminat di kalangan pelajar/mahasiswa di luar negeri yang tertarik dengan bahasa dan budaya Korea karena terpengaruh kesuksesan K-pop dan drama Korea. Indonesia pasti bisa. Selamat hari Sumpah Pemuda.Oleh: Liliana Muliastuti Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, Ketua Afiliasi Pengajar dan Pegiat BIPA (APPBIPA).
Tinggalkan Balasan