INDONESIA akan memilih presiden baru pada Pemilu 2024 mendatang jika tidak ada perubahan. Sejumlah nama bursa capres malang melintang di berbagai survei, tiga besar di antaranya ialah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Nama-nama lain yang juga diunggulkan ialah Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Agus Harimurti Yudhoyono. Berikutnya ada Erick Thohir, Khofifah Indar Parawansa, serta tokoh-tokoh kuat partai-partai politik, seperti Puan Maharani, Airlangga Hartarto, dan Muhaimin Iskandar. Partai-partai sebagai pemegang kuasa untuk mengusung capres-cawapres mulai sibuk menggalang koalisi dan mengusulkan nama-nama. Golkar, PAN, dan PPP membentuk Koalisi Indonesia Bersatu, sementara NasDem secara resmi mengajukan nama Ganjar, Anies, dan Andika Perkasa. Publik disuguhi angka-angka survei, baik popularitas, akseptabilitas, maupun elektabilitas para kandidat. Para tokoh itu pun sibuk membangun branding, tampil di media sosial, hingga unjuk gigi kelompok-kelompok relawan di pelosok daerah. Di tengah hiruk pikuk elektoral semacam itu, yang luput dari perhatian ialah soal gagasan apa yang diusung capres ataupun partai-partai. Lebih-lebih di tengah situasi pandemi yang belum berakhir, masalah ekonomi, hingga dampak invasi Rusia ke Ukraina yang mengguncang dunia.

Solusi Jokowi untuk Indonesia Setiap pemimpin memiliki gagasan besar bagi republik dan bangsa ini. Bung Karno sebagai proklamator dan presiden pertama gigih melawan kolonialisme serta bertekad menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdikari, tidak membebek pada kekuatan-kekuatan besar dunia. Pak Harto gencar melakukan pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi hingga mampu menciptakan swasembada pangan pada masanya. SBY-JK menekankan pada stabilitas ekonomi dan politik setelah Indonesia melalui masa transisi dengan kepemimpinan silih berganti. Jokowi muncul sebagai tipe pemimpin baru yang berbeda. Ia muncul dalam momentum pilkada langsung. Tidak seperti tokoh-tokoh yang memimpin partai-partai, Jokowi hanya kader biasa. Bahkan, secara peyoratif, ia kerap dijuluki sebagai petugas partai. Saat itu, seperti banyak kepala daerah lainnya, Jokowi juga terbatasi siklus masa jabatan lima tahunan. Adagiumnya, mereka harus cepat-cepat mengeruk APBD agar bisa me­ngem­balikan dana kampanye serta bersiap-siap untuk maju pada pilkada berikutnya. Jokowi memilih jalan yang berbeda. Alih-alih pragmatisme semacam itu, Jokowi melancarkan reformasi birokrasi secara praktis tanpa teori yang mendakik-dakik.

Jokowi mengubah wajah birokrasi dari minta serbadilayani menjadi instansi pelayan publik yang mumpuni. Pola ‘manajemen mikro’ yang diterapkan Jokowi melalui blusukan dan dialog yang terus-menerus dikontraskan dengan elite-elite nasional yang serbamelontarkan jargon-jargon yang tidak menjejak ke bumi. Namun, bukan berarti Jokowi tak memiliki gagasan besar ketika maju ke kancah nasional. Sukses memenangi laga pilpres, Jokowi menghadirkan konsep Indonesiasentris. Menurut Jokowi, pembangunan yang terkonsentrasi di Pulau Jawa seharusnya dapat dinikmati rakyat di semua daerah. Tol laut dan pembangunan infrastruktur menjadi solusi yang ditawarkan Jokowi. Pada puncaknya, Jokowi menggagas ide pemindahan ibu kota negara yang tidak berhasil dilakukan Bung Karno atau bahkan dari masa kolonial. Dengan membangun IKN Nusantara, tidak saja menyebarkan pusat pertumbuhan, tetapi juga memutus warisan kolonial yang melekat pada Jakarta.

Menuju negara maju 2045 Jokowi mencanangkan visi Indonesia Emas 2045 dengan proyeksi Indonesia menjadi negara maju dan lima kekuatan ekonomi dunia saat genap perayaan 100 tahun kemerdekaan. Sejumlah prediksi optimistis meyakini bahwa Indonesia bakal menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia. Untuk itu, Indonesia harus menggenjot posisi menjadi negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi mencapai US$23.199. Sebagai catatan, Indonesia sempat naik kelas menjadi kelompok negara berpendapatan menengah atas (upper middle income) sebesar US$4.050 pada 2019 lalu. Namun, hantaman pandemi covid-19 yang memukul berbagai sektor ekonomi membuat pendapatan per kapita melorot menjadi US$3.870. Hal itu menjadikan posisi Indonesia kembali masuk sebagai kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah (lower middle income). Seiring dengan pemulihan ekonomi, diharapkan Indonesia bisa meraih lagi status upper middle income. Faktor pandemi membuat upaya untuk keluar dari jebakan middle income lebih berat. Perlu mendorong pertumbuhan rata-rata 6% per tahun dari proyeksi semula 5,7% per tahun. Karena itu, diperlukan daya ungkit dengan menggencarkan industrialisasi, khususnya melalui hilirisasi sumber daya alam. Pelarangan ekspor bahan mentah disertai dengan dorongan untuk membangun industri di dalam negeri juga menciptakan lapangan kerja dan memberi pemasukan bagi negara. Faktor produktivitas sumber daya manusia (SDM) sangat penting di tengah melimpahnya bonus demografi yang kita nikmati saat ini. Inovasi dan teknologi, khususnya transformasi digital, memberi jawaban untuk mempercepat peningkatan kualitas SDM selaras dengan kebutuhan industri. Strategi yang masih terus dijalankan ialah pembangunan infrastruktur sebagai fondasi pembangunan ekonomi.

Pemerataan infrastruktur akan menghubungkan sentra-sentra produksi dan memunculkan titik-titik pertumbuhan baru yang diakselerasi dengan pembangunan IKN Nusantara.   Politik luar negeri dan kepentingan nasional Tidak lama setelah kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia, kedua negara sepakat untuk membuka kembali akses ekspor gandum yang semula terhenti karena perang. Ada kepentingan nasional di balik politik luar negeri tersebut mengingat Indonesia banyak mengimpor gandum dari Ukraina. Dibukanya keran ekspor dari Ukraina juga memberi harapan bagi dunia untuk meredam gejolak harga pangan dan energi. Dalam kapasitas memimpin Presidensi G-20, Indonesia kerap menyuarakan kepentingan negara-negara berkembang yang turut terdampak perang. Indonesia berpegang pada prinsip bebas aktif, dibuktikan dengan ketegasan Jokowi untuk mengundang kedua negara yang sedang berperang dalam forum KTT G-20. Indonesia tidak tunduk pada tekanan sejumlah negara Barat untuk memboikot ataupun memberikan sanksi kepada Rusia. Setelah lawatan ke Eropa, Jokowi berkeliling ke tiga negara di Asia Timur, yaitu Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Ketiga negara itu merupakan investor terbesar di Indonesia dan mitra utama ASEAN di tingkat kawasan. Bukan hanya soal ekonomi, Indonesia juga mencermati peningkatan ketegangan dan perlombaan senjata, terutama dipicu oleh Tiongkok dan Barat. Bisa dipastikan jika terjadi konflik, seperti panasnya situasi menyangkut Taiwan belakangan, dampaknya akan jauh lebih kita rasakan ketimbang Ukraina.

Baca Juga: Pentingnya Pemeriksaan Biopsi pada Penderita Tumor dan Kanker

Mengatasi gejolak ekonomi Setelah diuji dengan gelombang pandemi covid-19, pemerintahan periode kedua Jokowi dihadapkan lagi pada masalah ekonomi. Harga sejumlah komoditas pangan dan energi melambung di tengah sentimen inflasi global dan perang di Ukraina. Salah satu keluhan utama masyarakat ialah soal harga minyak goreng. Hal itu kemudian menyeret pada skandal pungutan ekspor yang melibatkan petinggi kementerian dan perusahaan sawit. Jokowi akhirnya melakukan reshuffle untuk mengganti posisi menteri perdagangan. Kenaikan harga lainnya ialah BBM nonsubsidi dan tarif dasar listrik untuk golongan tertentu. Pemerintah juga membatasi konsumsi pertalite dan solar yang bersubsidi dengan mewajibkan penggunaan aplikasi MyPertamina yang juga menjadi sasaran komplain banyak pihak. Ironisnya, tidak banyak solusi yang dilontarkan para tokoh yang digadang-gadang sebagai capres. Terlepas bahwa kebijakan tersebut menjadi ranah pemerintahan saat ini, publik berharap ada gagasan bernas yang disampaikan oleh mereka yang mengaku sebagai calon pemimpin nasional. Anies mengusulkan pembangunan pabrik minyak goreng untuk memenuhi kebutuhan warga DKI Jakarta. RK memilih cara yang lebih praktis dengan meluncurkan aplikasi untuk memudahkan masyarakat membeli minyak goreng curah bersubsidi supaya tidak perlu mengantre. Sementara itu, Erick mengakui keterbatasan BUMN dalam menguasai produksi CPO. Karena itu, pihak swasta yang sudah mendapat banyak dukung­an pemerintah diharapkan membantu mengatasi masalah. BUMN pangan juga ditugasi menggelar operasi pasar untuk menekan harga minyak goreng. Soal BBM, praktis hampir tidak ada yang bersuara mengingat domain pemerintah yang sangat kuat. Erick menekankan agar penyaluran BBM tepat sasaran, bukan dinikmati orang-orang kaya. Itulah alasan aplikasi MyPertamina diperlukan, yakni untuk mengontrol agar tidak terjadi kebocoran subsidi.

To do list bagi para capres Di tengah minimnya gagasan para capres, masih banyak lagi peker­jaan rumah yang harus dikerjakan. Pertama, mereka harus mema­hami kesinambu­ngan berbagai program pemba­ngunan di era Jokowi. Salah satu PR besarnya ialah melanjutkan pembangunan IKN Nusantara. Kedua, masih persoalan pangan dan energi. Gejolak harga pangan belakangan ini menunjukkan rentannya ketahanan pangan. Bukan hanya Indonesia masih banyak mengimpor pangan, melainkan juga besarnya pro­duksi sawit tidak menjamin sta­bilnya harga minyak goreng di dalam negeri. Pada sektor energi, Indonesia mulai menggencarkan program kendaraan listrik untuk menekan emisi. Namun, keter­gantungan pada energi fosil ma­sih sangat tinggi, khususnya batu bara. Sebaliknya, penggunaan ener­gi terbarukan belum men­capai target bauran energi. Ke­tiga, masalah pembangunan manusia di bidang pendidikan dan kesehatan.

Kualitas pendidikan kita masih jauh di bawah standar interna­sional. Padahal, untuk dapat ber­saing pada tingkat dunia, diper­lukan SDM dengan ilmu pengeta­huan dan wawasan global. Sementara itu, pandemi covid-19 telah membuat kita sadar bahwa fasilitas kesehatan di Indonesia masih sangat kurang. Perbaikan dan peningkatan sudah dilakukan Jokowi, termasuk program Kemen­terian BUMN untuk kemandirian dalam produksi obat, vaksin, dan alat-alat kese­hatan. Keempat, regulasi dunia siber. Dunia digital kini semakin di depan mata, lebih-lebih dengan pengembangan meta­verse. Indonesia harus bisa men­jadi pemain dunia alih-alih sekadar pengguna. Ada pula masalah keamanan data, khususnya perlindungan data pribadi yang masih banyak bocor. Kelima, geopolitik interna­sional. Jokowi kini mulai memain­kan peran dengan menjembatani perdamaian antara Rusia dan Ukraina. Posisi Indonesia se­makin strategis dengan memim­pin Presidensi G-20 serta kepe­mimpinan pada tingkat kawasan seperti ASEAN. Secara singkat, diperlukan calon presi­den baru yang memiliki sejumlah kriteria. Bukan hanya harus tegas dan tidak goyah dalam meng­ambil keputusan, melainkan juga luwes dan tidak berjarak terhadap rakyat. Polarisasi yang masih terjadi bisa diatasi dengan ke­mampuan merangkul berbagai kekuatan politik. Mengingat Indonesia diprediksi bakal menjadi kekuatan ekonomi yang besar, presiden baru kelak harus me­miliki wawasan ekonomi dan geopolitik internasional. Mari kita lihat siapa yang mampu membe­rikan solusi atas sejumlah pe­ker­jaan berat dan pekerjaan besar rumah Indonesia kita ini. Oleh: Endang TirtanaPeneliti Maarif Institute Jakarta, Komisaris PT KAI, dan kader Muhammadiyah.