AMBON, Siwalimanews – Anggota Satreskrim Polresta Ambon yang menemukan bau korupsi di Satgas Penanganan Covid-19 Kota Ambon harusnya diberi penghargaan.

Ironisnya, lima anggota Tipikor itu justru dimutasikan oleh Kapolresta, Kombes Leo Simatupang, ketika menemukan dugaan mark up data jumlah kasus orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), jumlah tenaga kesehatan (nakes), dan pemotongan insentif nakes.

Padahal tugas asistensi terhadap Satgas Covid-19 Kota Ambon dilak­sa­nakan resmi sesuai surat perintah yang diteken Kasat Reskrim, AKP Mindo J. Manik.

Mutasi yang dilakukan memberi kesan, kalau ada upaya untuk menu­tupi temuan dugaan penyelewengan itu.

Kapolda Maluku, Irjen Baharudin Djafar harusnya bersikap responsif mempertanyakan Kapolres, bukan malah menyatakan menunggu lapo­ran masyarakat, baru diusut. Se­mentara bukti temuan sudah dikan­tongi polisi.

Baca Juga: Kapolda Pimpin Aksi Pembersihan TPU

Akademisi Hukum IAIN Ambon, Nasarudin Umar mengatakan, mesti­nya Kapolda segera memerintahkan jajarannya untuk menindaklanjuti temuan itu. Bukan menunggu lapo­ran masyarakat.

“Semestinya Pak Kapolda harus memerintahkan untuk dugaan ini ditindaklanjuti karena tindak pidana korupsi bukan delik aduan yang membutuhkan laporan atau penga­duan dari masyarakat,” ujar Umar kepada Siwalima, Rabu (7/10).

Umar menjelaskan, apabila berpe­doman pada Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 ditegaskan, proses penyelidikan dapat dilaku­kan berdasarkan laporan dan surat perintah penyelidikan.

Surat perintah penyelidikan, kata Umar dapat dikeluarkan oleh atasan berdasarkan informasi yang diper­oleh terkait dengan adanya peristiwa yang mengindikasikan sebuah tindak pidana. “Jadi ketentuan di atas berlaku untuk perkara selain yang bersifat pengaduan,” tandas­nya.

Menurut Umar, seharusnya ketika telah beredar informasi adanya du­gaan mark up, apalagi data itu dida­patkan oleh kepolisian saat melaku­kan asistensi, maka harus ditindak­lanjuti dengan penyelidikan. “Dalam proses penyelidikan dilakukan pe­nelitian, pengajian, dan pengem­bangan informasi guna menemukan peristiwa pidana,” ujarnya.

Umar menegaskan, Kapolda harus responsif agar publik tidak memper­tanyakan sikap Kapolda terhadap proses mutasi lima anggota tim asistensi dan belum dilakukannya penyelidikan dalam kasus dimaksud. “Karena tidak bisa dihindari per­sepsi publik pasti ada kecurigaan,” tandasnya.

Kata Umar, publik akan mem­per­tanyakan komitmen pemberantasan korupsi. Karena itu untuk menja­wabnya maka Kapolda harus menin­daklanjuti temuan dugaan penyele­wengan di Satgas Covid-19 Kota Ambon dengan melakukan penyeli­dikan.

Sikap kepolisian yang belum juga menindaklanjuti temuan dugaan penyelewengan di Satgas Covid-19 Kota Ambon sangat disayangkan.

Akademisi Hukum Unpatti, Diba Wadjo mengatakan, dugaan penye­le­wengan dana Covid-19 masuk dalam kategori tindak pidana ko­rupsi, sehingga bukan merupakan delik aduan yang membutuhkan pe­ngaduan dari orang, apalagi temuan langsung oleh anggota kepolisian. “Ini bukan delik aduan, lalu harus tunggu laporan,” tegasnya.

Menurutnya, Kapolda harus lebih responsif untuk melihat persoalan ini, termasuk mutasi lima anggota Satreskrim Polresta Ambon, agar masyarakat tidak bertanya ada apa dibalik itu. “Harus responsif, jangan ditutupi,” tandasnya.

Akademisi Fisip Unidar, Surfikar Lestaluhu mengatakan, kalau ada dugaan penyalahgunaan uang ne­gara, apalagi ditemukan langsung oleh kepolisian maka seharusnya menjadi bukti yang kuat  atau dasar hukum untuk melakukan penyeli­dikan.

“Kalau begini pak Kapolda seha­rusnya responsif untuk melihat rangkain persoalan termasuk mutasi itu, jangan sampai orang bertanya ada apa dibalik mutasi itu,” ujarnya.

Praktisi hukum Ronny Sianressy meminta Polda Maluku mengusut dugaan penyelewengan yang dila­ku­kan Satgas Covid-19 Kota Ambon.

Ronny mengatakan, sudah men­jadi rahasia umum kalau Covi-19 dimanfaatkan oknum-oknum tertent untuk memperkaya diri. “Jadi, saya pikir harus dituntaskan untuk men­jadi pembelajaran,” ujarnya.

Dia juga menegaskan, kasus ini adalah dugaan tindak pidana ko­rupsi, sehingga kepolisian tidak per­lu menunggu laporan masyarakat.

Selain itu, menurutnya dalam rangka menghindari konflik interest, dia meminta kejaksaan ikut menye­lidiki.

“Saya pikir ini bukan delik aduan. Ini tindak pidana korupsi. Jadi aparat penegak hukum harus segera me­negakkan hukum,” ujarnya.

Wahada Mony, Pegiat Anti Ko­rupsi dan Direktur Indonesia Democracy Reform Institute juga men­desak pihak kepolisian mengusut tuntas kasus ini. Masyarakat sudah cukup sengsara akibat pandemic Covid-19.

“Jangan sampai anggarannya di­mark-up, masyarakat sudah seng­sara, harus diusut tuntas,” ujarnya.

Pemerhati Sosial Zen Lelang­wayang menyayangkan mutasi yang dilakukan terhadap anggota Tipikor Polresta Ambon. Pasalnya, langkah itu terkesan melindungi  dugaan korupsi. “Statement kapolda juga seakan-akan mau menutupi kasus dugaan mark up itu,” tandasnya.

Dia juga menambahkan, yang menemukan dugaan mark up adalah tim Satreskrim Polresta Ambon. Kapolresta juga harus profesional. “Jadi itu bukan tim asal-asalan. Kasihan jika polisi sendiri yang tidak mau hukum ditegakkan,” ujarnya.

Hal yang sama juga diminta se­jumlah masyarakat. Mereka meminta pihak kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut.

“Pemerintah harusnya lebih ter­buka perihal data pasien biar mas­yarakat lebih tahu pasti. Kalaupun ada pihak tertentu yang mencoba untuk memanipulasi data, sudah seharusnya polisi mengusut,” kata pedagang buah, Adhe Ichan Hasan.

Warga lainnya bernama Ridwan juga berharap demikian. Menurut­nya masyarakat sudah cukup seng­sara dalam menghadapi pandemi ini. Pemerintah harusnya melakukan penanganan, bukan makin menam­bah masalah.

“Kan barang ini sudah tidak jelas. Kita masyarakat sudah tidak percaya lagi,” ujarnya.

Hal yang sama disampaikan Sherly, pedagang di Mardika. Ia mengatakan, dugaan korupsi yang ditemukan menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap Satgas Covid-19. “Bagaimana masyarakat mau percaya, kalau model seperti itu,” ujarnya.

Dia juga meminta polisi mengusut dugaan korupsi yang ditemukan hingga tuntas. “Polisi harus bertindak, usut sampai ke akar-akarnya,” tadasnya.

Tunggu Laporan

Seperti diberitakan, Kapolda Maluku Irjen Baharudin Djafar menegaskan siap melakukan pengusutan jika data soal dugaan mark up tersebut ada. Pihaknya menunggu laporan sebagai dasar untuk melakukan pengusutan.

“Sampai saat ini belum ada aduan terkait adanya dugaan mark up data, kita melakukan pengusutan kasus harus ada dulu data validnya, kalau memang benar adanya dugaan ini, siapa saja silakan lapor kalau ada datanya pasti akan kita usut,” tandas Kapolda singkat, saat silaturahmi dengan insan pers, Selasa (6/10).

Saat asisensi Tim Satreskrim Polresta Ambon menemukan data-data pasien Covid-19, yang berstatus ODP dan PDP dimanipulasi. Ini diduga dilakukan atas arahan pejabat Dinas Kesehatan. Arahan disampaikan kepada hampir semua puskesmas di Kota Ambon.

Misalnya di Puskesmas Kilang yang ada di Kecamatan Leitimur Selatan,  banyak nama yang dimasukan dalam daftar ODP dan PDP seolah-olah, mereka adalah penduduk desa atau kecamatan setempat. Padahal setelah ditelusuri, ada yang tinggalnya di Namlea, Kabupaten Buru, ada yang di Makassar bahkan ada yang di Jakarta.

Jumlah kasus positif, ODP dan PDP yang diduga dimanipulasi bertujuan untuk mendongkrak jumlah nakes yang bertugas.  Semakin banyak jumlah nakes yang dibuat seolah-olah melaksanakan tugas, maka pengusulan untuk pembayaran insentif semakin besar.

Kementerian Kesehatan mengalokasikan dana insentif daerah Kota Ambon melalui Dana Alokasi Khusus Bantuan Operasional Kesehatan Tambahan dalam penanganan Covid-19 sebesar Rp 3.450.000. 000 untuk tiga bulan, yakni Maret, April dan Mei 2020.

BPKAD kemudian mentransfer ke rekening Dinas Kesehatan Kota Ambon sebesar Rp 1.900.000.000 untuk insentif nakes bulan Maret dan April pada 22 puskesmas di Kota Ambon.

Sesuai laporan Dinas Kesehatan, jumlah nakes yang diinput pada 21 puskesmas  sebanyak 653 orang. Namun yang diberikan insentif hanya 414 orang.

Pada bulan Maret 2020 jumlah nakes yang menerima insentif sebanyak 200 orang kemudian bulan April 2020 sebanyak 214 orang. Jadi totalnya 414 orang.

Dari jumlah 653 nakes di 21 puskesmas, minus Puskesmas Hutumuri, terdapat selisih 239 nakes yang mendapatkan insentif. Jumlah 239 ini diduga fiktif, yang dipakai untuk mengusulkan pencairan anggaran.

Dugaan penyelewengan lainnya adalah insentif nakes yang dipotong Dinas Kesehatan Kota Ambon.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 392 Tahun 2020 tentang pemberian insentif dan santunan kematian, sasaran pemberian insentif dan santunan kematian menyebutkan, besaran insentif nakes masing-masing; dokter spesialis Rp 15 juta, dokter umum atau gigi Rp 10 juta, bidang dan perawat Rp 7,5 juta dan tenaga medis lainnya Rp 5 juta. Namun nakes tak menerima sebesar itu, yang diterima justru nilainya di bawah. (Cr-1/Cr-2)