AMBON, Siwalimanews – Jakobis Makoy Kepala Soa Masi pada Soa Rusi Negeri Titawaai Ke­camatan Nusalaut Kabupaten Ma­luku Tengah mengatakan, mata­rumah parentah di Negeri Titawaai  (Lesinusa Amalatu) hanya satu yakni Hehanussa Pati Peitihu.

Munculnya orang lain yang me­ngklaim diri matarumah parentah di Negeri Titawaai berdasar­kan putu­san pengadilan memicu negeri Titawaai sampai saat ini belum memiliki raja definitif. Na­mun begitu Bobby sapaan akrab Jakobis Makoy ini me­negaskan, Hehanus­sa Pati Peitihu merupakan matarumah parentah dan tidak hanya raja Negeri Ti­tawaai tapi raja Pulau Nusahu­lawano (Nusalaut).

“Sebagai generasi yang saat ini masih hidup, usia saya 72 tahun. Saya mau bilang buat anak cucu Negeri Lesinussa Amalatu (Tita­waai), Hanya Hehanussa Pati Pei­tihu keturunan dinasti matarumah parentah. Kalo ada muncul nyang lain, saya mau katakan itu Soa dan bukan mata rumah parentah,” te­gasnya kepada Siwalima di Ambon pekan lalu.

Pengadilan tidak berwenang me­nentukan matarumah parentah. Jika ada gugatan ke pengadilan ter­kait klaim kepemilikan matarumah parentah itu hak orang per orang. Te­tapi secara logika, dan hukum adat, pengadilan bukan lembaga yang menentukan matarumah pa­rentah.

Menurut Bobby, untuk mem­buktikan Pattikayhatu matarumah parentah, seharusnya pihak yang mengklaim itu pergi ke Baileo apakah ada tiang di situ.  “Kalo mau jadi raja atau mau rombak dinasti matarumah parentah, rombak dulu Baileo lalu tambah tiang di situ. Tapi kalo Soa semua orang di negeri tahu kok,” tandas Bobby.

Baca Juga: Dua Situs Agama di Maluku Direvitalisasi Polri

Hampir 17 tahun, masyarakat Negeri Titawaai hidup dalam ke­tidakpastian, lantaran belum me­miliki raja definitif. Menurutnya, selama kurun waktu 17 tahun, anak cucu generasi Lesinusa Amalatu diracuni oleh oknum-oknum ter­ten­tu yang bukan pewaris keturunan matarumah parentah.

Oknum-oknum tersebut berlom­ba-lomba mengklaim diri untuk memerintah dan berkuasa dengan mempengaruhi masyarakat Ne­geri Titawaai. “Saya mau bilang justru karena oknum-oknum inilah sumber kontroversi yang dapat merusak tatanan adat masyarakat Negeri Titawaai,” kata Bobby.

Ia merasa miris, sebab baginya pemicu konflik sosial matarumah parentah di Titawaai dikarenakan semakin berkurangnya ketaatan masyarakat Titawaai sendiri ke­pada aturan-atura adat istiadat.

Adanya modernisasi dan per­kem­bangan teknologi informasi serta komunikasi di era globali­sasi sekarang ini, mengakibatkan orang-orang mulai meninggalkan ke­percayaan dan pegangan ter­hadap nilai-nilai dan norma sosial budaya yang berkembang dalam masyarakat.

Adat istiadat yang merupakan warisan leluhur masa lampau mu­lai terkikis dan ditinggalkan oleh sebagian masyarakat Titawaai atau lebih tepatnya adanya pe­nyangkalan terhadap aturan-aturan adat.

Sejatinya Bobby akui, masya­rakat Negeri Titawaai tahu kalau Hehanussa ketururan atau dinasti matarumah parentah. Raja ke-I Negeri Titawaai, Latumotihu Erens Niwalatu hingga raja ke 15, Este­fanus Nicolas Hehanussa meru­pa­kan bukti jejak dinasti mata­rumah parentah.

Lebih heroik lagi tambahnya, Raja ke-15 Estefanus Nicolas He­hanussa jejak kepemimpi­nannya dapat dibuktikan dan disaksikan generasi saat ini di tugu Martha Cristhina Tiahahu atau di Waisisil Saparua. Kala itu membantu Ka­pitan Pattimura membela bumi Maluku dari amukan penjajah Belanda.

Hal yang sama juga disam­pai­kan warga masyarakat Titawaai lainnya, Jualianus alias Anus Se­lan­no. Selanno mengatakan, mun­culnya Pattikayhatu yang meng­klaim keturunan matarumah paren­tah, merusak tatanan adat bukan saja di Negeri Titawaai tetapi di Pulau Nusalaut secara umum.

Dia beralasan, sejarah Lairua Patirima (dua raja + Pati) dimana Hehanussa Teon Peitihu itu sama dengan raja kakak di Pulu (Pulau Nusalaut atau Nusahulawano). “Klaim-klaim tersebut itu tidak hanya merusak tatanan adat di Negeri Titawaai, melainkan juga merusak tatanan adat di Pulau Nusalaut secara umum, sebab Hehanussa itu raja Pulau  (Pulu) di Nusahulawano,” tegasnya.

Baik Bobby maupun Julianus Selanno keduanya menilai, belum adanya raja defenitif di Negeri Titawaai hingga saat ini disebab­kan permainan politik anak-anak negeri Titawaai sendiri. Sayangnya, Bobby dan  Selanno sesalkan ulah segelintir orang itulah, generasi anak cucu Titawaai hidup dalam kebimbangan.

“Kalau mereka punya hati untuk negeri, katong cuma mau bilang, seng ada untung, mati juga tidak bawa akang di kubur. Mari katong bergandengan tangan, balik muka lihat dan peduli negeri untuk masa depan generasi anak cucu Lesi­nusa Amalatu tercinta,” himbau keduanya.

Disisi lain, Bobby dan Anus Se­lanno berharap masyarakat Negeri Titawaai harus bergandengan tangan menjaga ketentraman, adat istiadat dan sejarah kepemimpi­nan di negeri, dengan mengem­balikan kepemimpinan pemerinta­han kepada matarumah parentah yang sah sebagai pemangku kekuasaan.

“Ketaatan dan kepatuhan terha­dap adat sangat penting dalam rangka menjaga keharmonisan hidup dan integritas diantara sesama anak negeri. Masyarakat  Titawaai harus menyadari pen­tingnya pemerintahan adat yang diwariskan oleh leluhur kepada generasi sekarang untuk ditaati dan dilaksanakan dengan baik,” imbuh keduanya.

Sesalkan Tindakan Saniri

Sementara itu, Pj Kepala Peme­rintahan Negeri Titawaai, Ledi Sahuburua menyesalkan tindakan Saniri Negeri Titawaai yang terus melakukan manuver di luar tatanan adat. Salah satunya melakukan aksi demonstrasi beberapa waktu lalu ke kantor desa atau negeri.

Selain itu, melakukan manuver-manuver dengan menyebarkan informasi fitnah menentukan raja yang bukan berasal dari mataru­mah parenta hingga akhirnya terjadi benturan di negeri.

“Sangat tidak professional, saniri pimpin demo usai ibadah minggu lantaran saya menolak menanda­ta­ngani pengusulan raja yang bukan berasal dari matarumah parenta. Mereka iri dan cemburu karena empat kali Pemkab Malteng percayakan saya sebagai Pj Ke­pala Pemerintahan Negeri Tita­waai. Konflik terjadi karena ulah saniri yang bertindak arogan,” kecam Sahuburua. (S-07)