LAMA tak terdengar perkembangannya, banyak pihak menduga kasus kekerasan seksual yang dilakukan Mantan Bupati Malra M Taher Hanubun terhadap wanita 21 tahun berinisial TSA yang adalah karyawannya sendiri telah dihentikan pihak Kepolisian dalam hal ini Ditreskrimum Polda Maluku.

Hanya saja isu tersebut ditepis polisi yang menyatakan kasus tersebut masih diproses.

Hal tersebut lantas membuat Hanubun belum dapat bernafas lega mengingat kapan saja kasus tersebut dapat ditindak lanjuti ketika Polisi mendapat petunjuk baru yang mengarah kepada bukti pelanggan hukum yang dilqkukan Hanubun.

Dirkrimum Polda Maluku, Kombes Andry Iskandar yang dikonfirmasi redaksi siwalima Kamis (16/11), membantah pihaknya telah menghentikan kasus kasus kekerasan seksual Hanubun. Dirinya menjelaskan kasusnya masih terus diproses.

Ditanya soal upaya lanjut yang akan di lakukan penyidik, mengingat minimnya bukti yang mengarah ke perbuatan melawan hukum tersebut. Iskandar belum dapat menyebutkan. Namun Dirinya pastikan bahwa kasusnya masih berjalan dan tidak dihentikan.

Baca Juga: Gugatan Gubernur ke MK

Direktur Yayasan Peduli Inayana Maluku (YPIM), Othe Patty mendorong penyidik Satreskrim Polda Maluku untuk menuntaskan kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Bupati Maluku Tenggara, H Taher Hanubun.

Ini adalah kasus pelecehan yang dilakukan seorang pejabat negara yang merupakan seorang bupati sehingga kami mendorong polisi agar dapat menuntaskan kasus ini sesuai dengan prosedur perundang-undangan.

Kasus pelecehan seksual tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan karena berdasarkan UU TPKS bahwa penyelesaian kasus pelecehan seksual bisa dilakukan tapi tidak menggugurkan proses pidananya. Ini pidana murni yang tidak bisa digugurkan begitu saja.

Pendekatan secara kekeluargaan tidak bisa dijadikam sebagai jalan keluar penyelesaian kasus kekerasan seksual karena selain kurang bisa melindungi korban, ini akan mengakibatkan munculnya pemikiran atau anggapan bahwa apa yang dilakukan pelaku bisa diselesaikan dengan hanya ganti rugi dan pelaku kembali bebas. Apalagi kasus ini dilakukan oleb seorang pejabat publik.

UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam pasal 23 menyatakan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Selain itu, kasus kekerasan seksual ini tidak bisa diselesaikan melalui jalur Restorative Justice.

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) ditujukan bagi setiap orang dan korporasi tanpa terkecuali, dan terdapat pemberatan atau penambahan 1/3 hukuman pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 ayat (1) huruf c.

Artinya, ini untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku, lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual tersebut.

Kasus ini harus dikawal, sebab kekerasan seksual yang dilakukan oleh pejabat publik atau tokoh publik, itu tidak dibenarkan. Terduga Pelaku adalah Pejabat Publik yang tidak menutup kemungkinan dapat mempengaruhi akses keadilan terhadap korban dan pandangan aparat penegak hukum serta masyarakat, dengan alibi bahwa peristiwa yang terjadi bukanlah kekerasan seksual sehingga dampaknya terjadi impunitas terhadap pejabat publik tersebut, namun terhadap korban, tidak terpenuhi hak atas keadilan dan kebenaran serta pemulihannya. Oleh sebab itu, untuk mencegah hal ini terjadi, UU TPKS itu harus diterapkan.

Restorative Justice adalah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang berfokus pada pemulihan, rekonsiliasi, dan restorasi hubungan yang rusak akibat tindakan kriminal. Pendekatan ini menekankan upaya untuk mengatasi akar masalah dan dampak psikologis, sosial, dan emosional yang dihasilkan oleh tindakan kriminal, baik bagi korban, pelaku, maupun masyarakat secara keseluruhan.

Dimana prinsip utamanya adalah menggeser fokus dari hukuman dan pembalasan semata kepada penyelesaian masalah dan pemulihan.

Dalam pendekatan Restorative Justice, terjadi dialog antara korban, pelaku, dan komunitas untuk membahas konsekuensi tindakan kriminal dan mencari solusi yang sesuai untuk semua pihak. Ini dapat mencakup permintaan maaf, restitusi, atau tindakan lain yang membantu memperbaiki dampak tindakan tersebut. Pendekatan ini berusaha untuk mendorong pertanggungjawaban dan belajar dari kesalahan, sehingga diharapkan dapat mengurangi tingkat pengulangan kejahatan. (*)