AMBON, Siwalimanews – Banyak warga divonis positif terpapar Virus Corona tanpa diberikan bukti hasil uji swab dari laboratorium. Tapi mereka tak berani mengungkapkan ke publik.

Warga yang divonis positif ada yang diberitahukan melalui surat keterangan, dan ada pula yang hanya secara lisan melalui telepon.

Pola kerja semacam ini yang membuat masyarakat curiga, kalau penanganan Covid-19 dijadikan bisnis untuk mengu­ras anggaran.

Kepada Siwalima, Senin (14/9) sejumlah warga yang divonis positif Covid-19 mengungkap­kan, dugaan ketidakberesan yang dilakukan oleh Gugus Tu­gas Penanganan Covid-19.

Ronny (bukan nama sebenarnya), warga Kecamatan Sirimau men­jelaskan, satu keluarganya termasuk kerabat dekat berjumlah 20 orang divonis terpapar corona, pasca kakek­nya  meninggal dunia pada 7 September lalu di salah satu rumah sakit swasta di Ambon.

Baca Juga: Besok, Dinkes Aru Lakukan Tracking dan Tracing

Kata Ronny, pihak keluarga tidak menerima kakek divonis meninggal karena Covid. Pasalnya kakek punya penyakit sakit tulang belakang. Ia masuk rumah sakit  pada 6 September, dan besoknya meninggal dunia.

“Apakah penanganan di rumah sakit ini tidak jelas, atau memang sudah nasib, kakek kami harus meninggal. Tapi yang bikin kami heran pihak rumah sakit memvonis kakek meninggal karena covid,” ujarnya

Setelah hasil swab test yang dikeluarkan RSUD dr. M Haulussy menyatakan almarhum kakeknya meninggal dunia, pihak rumah sakit menyarankan untuk seluruh keluarga dan kerabat dekat kakeknya diswab.

Sebagai masyarakat awam, Ronny lalu mengumpulkan keluarganya dan kerabat dekatnya. Sebanyak 20 orang langsung melakukan swab test di Dinas Kesahatan Maluku.

“Jadi, setelah kakek dimakamkan, ke­esokan harinya kita diswab. Se­ba­nyak 20 orang yang kontak lang­sung dengan almarhum diswab test. Selang beberapa hari hasilnya keluar dan saya dinyatakan positif,” bebernya.

Menurut Ronny, pihak Dinas Kesehatan hanya menghubunginya melalui telepon seluler dan menyata­kan ia positif corona.

“Dinkes menghubungi saya pada Kamis, 10  September malam saya sudah dinyatakan positif dan diarahkan oleh orang Dinkes untuk dikarantina di rumah sakit darurat pada Hotel Wijaya I Ambon. Orang Dinkes yang maaf saya tidak bisa sebut nama. Dia hanya telepon saya dan arahkan untuk menuju ke Hotel Wijaya I.  Setelah itu, saya tanya lagi kepada orang Dinkes, saya temuin siapa di sana, karena orang yang mau karantina bukannya dijemput, malah disuruh kaya Grabb saja,” kesal Ronny.

Ceritanya tak sampai di situ. Ronny melanjutkan, kalau diantara 20 orang itu ada juga divonis terpapar. Sebut saja Mr Z. Karena mereka berdua temanan, maka Ronny menghubungi Dinkes menanyakan bagaimana de­ngan Mr Z yang juga dinyatakan positif, apakah boleh dia karantina juga di Hotel Wijaya I.

“Saya tanya ke orang Dinkes itu bagaimana dengan teman saya, orang Dinkes sebut oh, sekalian saja ke Wijaya Hotel. Saya bilang teman saya tidak sama tempat tinggalnya. Teman saya itu berdomisili di Passo. Maka teman saya itu menggunakan angkot menuju Wijaya I. Sangat Aneh kan. Orang divonis terpapar corona, tapi tidak diperlakukan sebagai pasien sesuai standar atau protokol Covid,” ujar Ronny.

“Saya berikan semangat kepada teman saya demi kebaikan kita ikuti saja. Sampai di Wijaya itu tepat pukul 23.00 WIT,” ujar Ronny lagi.

Selanjutnya, pihak dinkes meng­arahkan Ronny dan rekannya untuk bertemu dengan salah satu dokter di Hotel Wijaya. “Jadi ternyata dok­ter itu sudah menunggu kita. Dokter yang saya tidak mau sebut namanya ini ketika kami tiba, diambil KTP untuk pengurusan administrasi. Tapi saya lihat orang kok bebas masuk dan keluar lalu lalang di Hotel Wijaya I itu. Kan kalau pasien Covid tidak boleh berinteraksi,” bebernya.

Setelah identitas dirinya bersama temannya dari Passo itu diambil, sang dokter lalu memberikan kunci kamar yang terletak di lantai V. Kali ini Ronny lebih tambah emosi, lantaran dia dan rekannya itu disuruh sekamar.

“Aneh bin ajaib, saya dan teman saya disuruh karantina sekamar. Apakah ini cara untuk memutuskan mata rantai Covid. Penanganan seperti apa ini,” tandas Ronny.

Keesokan harinya seperti biasa, setiap pukul 07.00 WIT dilakukan pe­meriksaan kesehatan rutin sepu­tar tensi darah. “Besok paginya hari Ju­mat, 12 September saya membera­ni­kan diri minta hasil swab saya sama dok­ter yang memeriksa kese­hatan saya. Saya tidak kenal dokter­nya kare­na dia pakai APD lengkap,” ujar Ronny.

Namun sang dokter mengatakan, kalau hasil swab test ada di Dinkes.  “Sang dokter itu hanya mengatakan ha­sil swab saya itu adanya Dinkes.  Tapi kan bapak sudah dinyatakan po­sitif. Bapak sudah harus ikut karantina terpusat. Saya bilang kalau begitu, jelaskan kepada keluarga saya dan saya tuntut hasil swab,” urai Ronny.

Ronny mengatakan, selama dua hari dirinya ribut dan menuntut hasil swab. Ribut karena penanganan yang tidak jelas. Penanganan bukan seperti orang sakit.

“Setelah dua hari berjalan, karena saya terus ribut, kami dianggap membangkang dan tidak kooperatif selama karantina. Oleh pihak relawan dan perawat termasuk dokter menyuruh kami pulang ke rumah masing-masing. Saya tanya tapi bagaimana dengan hasil swab kami. Petugas kesehatan di Hotel Wijaya I tidak bisa menjawab,” ujarnya.

Ia melanjutkan, sampai sekarang pihak Dinkes belum menghubu­nginya untuk melakukan swab kedua untuk mengetahui apakah virus mematikan itu masih ada di dalam tubuhnya.

Namun saat Ronny sudah pulang ke rumah, tiba-tiba petugas Puskes­mas Rijali menghubungi melalui telepon seluler menyatakan dirinya positif sehingga harus dikarantina

“Jadi begitu keluar dari Hotel Wijaya I itu ada dari pegawai puskesmas Rijali menghubungi saya. Lalu pegawai Puskesmas Rijali itu  bilang saya mau sampaikan hasil swab bapak. Dia suruh pilih karantina terpusat atau karantina mandiri. Saya lalu balik bertanya bisa saya lihat hasil swab saya. Pegawai Puskesmas Rijali itu menjawab oh tidak bisa itu adanya di Dinkes. Dan saya pun katakan, saya ini baru selesai karantina kok ibu mau me­nyuruh saya lagi untuk karantina.. Aneh ibu ini dan saya tutup tele­pon,” beber Ronny.

Dari peristiwa yang dialami, Ronny menyimpulkan, antara fasi­litas kesehatan yang satu dengan yang lainnya seakan berebut pasien untuk dikarantina.

“Jadi kelihatannya mereka mau berebut orang untuk dikarantina. Kita ini manusia, jangan bikin kita kehi­langan rasa manusiawi lalu kita ambil tindakan diluar rasa kemanusiaan kepada para petugas kesehatan ini. Kita pura-pura bodoh, tapi kita ikuti apa betul isu yang berkembang di luar itu,” jelas Ronny kesal.

Meski begitu Ronny mengaku, karena sudah ditekan, petugas Puskesmas Rijali itu mendatangi tempat tinggalnya dan memberikan obat serta berjanji nanti akan diswab kedua kali guna memastikan apakah virus itu betul-betul ada di dalam tubuhnya atau sudah sembuh.

Kisah Ronny lain lagi dengan kisah pegawai Pemkot Ambon dan Pemprov Maluku. Dua pegawai yang berdomisili di Kecamatan Nusaniwe ini hanya diberitahukan hasil swab melalui pesan whatsApp.

Lebih aneh lagi, untuk menuju ke rumah sakit darurat yang adalah salah satu hotel di kawasan Soya Kecil, keduanya diantar oleh kerabatnya dengan sepeda motor.

“Saya sangat terpukul sewaktu disampaikan melalui pesan Whats­App positif Covid-19. Dalam perja­lanan menuju salah satu hotel di kawasan Soya Kecil, saya hanya bisa bergumam, apakah ini standar pena­nganan Covid, pasien yang dinyata­kan positif tidak dijemput dengan mobil khusus melainkan disuruh ke hotel yang dijadikan rumah sakit darurat itu untuk menginap,” ujar pegawai Pemkot Ambon ini.

Lebih aneh lagi, kata dia, saat di hotel keduanya tidak ditangani seperti pasien Covid-19.

“Kita hanya dikasih obat-obat lalu tensi kemudian istirahat. Ya, makan seadanya,” tandasnya.

Hal yang sama juga dialami salah satu pegawai BUMD yang juga divonis terpapar corona. Pihak Dinkes hanya memberitahukan melalui telepon positif tapi tidak menunjukan atau menyerahkan hasil swab test itu kepada dirinya.

“Kan kalau kita dinyatakan positif harus ada lembaran surat atau apa gitu dan menyatakan kita positif. Ini mereka hanya main telepon sampaikan anda positif corona. Jadi persiapkan diri untuk dikarantina. Loh apakah memang prosedur seperti ini,” kesal wanita cantik tersebut.

Sebelumnya pengacara Djidon Batmamolin juga membeberkan ketidakberesan yang dilakukan gugus tugas.

Anak kandungnya Alvino Batma­mo­lin divonis positif terpapar Virus Corona versi Dinas Kesehatan Malu­ku. Tak percaya dengan hasil yang dikeluarkan Dinas Kesehatan, Djidon membawa anaknya untuk melakukan swab test di Rumah Sakit Siloam.

Ketidakpercayaan Djidon terbuk­ti. Hasil uji swab dari Rumah Sakit Siloam menyatakan Alvino negatif Covid-19. Hal ini membuat Djidon geram, dan membawa masalah ini ke jalur hukum.

Cuci Tangan

Kepala Dinas Kesehatan Maluku, Meikyal Pontoh terkesan cuci ta­ngan dan lempar tanggung jawab.

Ia mengaku, hasil swab test pasien yang terpapar corona disampaikan ke pemerintah kabupaten dan kota.

“Kita berikan hasil uji lab untuk pasien yang diminta, bahkan sampai ke kabupaten yang jauh juga kita berikan,” ujar Pontoh, saat dicegat Siwalima, Senin (14/9) di Kantor Gubernur Maluku.

Saat ditanya, faktanya kalau orang yang divonis terpapar tidak per­nah mendapatkan bukti hasil swab, Pontoh tak menjawab dan buru-buru masuk dalam mobil dinasnya DE 29 berwarna hitam dan meninggalkan halaman parkir kantor gubernur.

Hal senada disampaikan Ketua Harian Gugus Tugas Covid-19 Ma­luku, Kasrul Selang. Ia mengatakan,  hasil uji lab diserahkan ke Dinas Ke­sehatan Maluku dan kemudian disampaikan hasilnya ke masing-masing kabupaten kota dengan identitas lengkat serta hasil peme­riksaan pasien.

“Lengkap kita serahkan bukti seseorang dinyatakan terpapar ke pemkab atau pemkot. Kita sampaikan ke Kepala Dinas Kesehatan. Seingat saya di Kota Ambon itu hasil swab itu disampaikan dinas sampai ke tingkat kelurahan, kami sampaikan dengan bukti hasil uji lab lengkap, jadi tanya ke mereka,” ujarnya.

Kasrul mengatakan, setelah mene­rima hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan Maluku melakukan veri­fikasi agar jangan sampai ada kesa­lahan. Setelah itu barulah dikirim ke kabupaten dan kota.

“Sampai di katong, katong verifikasi dulu, jangan sampai ada nama salah, setelah verifikasi dikirim ke kabupaten dan kota masing-masing. Coba ditanya ke mereka,” tandasnya.

Kasrul mengklaim, selama ini gugus tugas selalu transparan dalam me­nyampaikan seseorang yang dinya­takan terpapar Virus Corona.

“Memang kita tidak kirim ke masing-masing orang, tetapi kita kirim ke kabupaten dan kota masing-masing,” tegasnya.

Kasrul mencontohkan, swab test yang dilakukan atas permintaan khusus dari kejaksaan. Hasil uji labnya diserahkan kepada kepala kejaksaan bukan ke pegawai.

Sementara Kepala Dinas Kese­hatan Kota Ambon, Wendy Pelu­pessy yang dihubungi beberapa kali, enggan mengangkat telepon.

Siloam Beri Bukti Hasil Swab

Berbeda dengan Dinas Kesehatan dan Gugus Tugas Covid-19, Rumah Sa­kit Siloam justru memberikan bukti fisik dalam bentuk surat keterangan ke­pada warga yang melakukan swab test.

Head Departement of Marketing dan Sales Rumah Sakit Siloam Ambon, Franklin Silawa mengungkap­kan, bagi yang melakukan swab test, pi­haknya akan menerbitkan surat lab result.

“Disitu akan berisi nama dan identitas dari pasien, kemudian hasil PCR Swab testnya yang menyatakan bahwa dia positif atau negatif,” jelas Silawa kepada Siwalima melalui telphone seluler, Senin (14/9).

Silawa mengatakan, butuh waktu 5 hari untuk menunggu hasil swab test sekaligus dengan surat ketera­ngan dari lab Rumah Sakit Siloam.

“Yang menerbitkan hasil itu dari laboratorium dari Ambon, hasilnya memang diperiksa dari Jakarta tapi yang menerbitkan surat keterangan itu lab yang di Ambon,” jelasnya.

Hak Pasien

Direktur Maluku Crisis Center, Ikhsan Tualeka mengatakan setiap pasien berhak untuk mengetahui hal pemeriksaan swab yang dilakukan terhadap dirinya.

“Pasien berhak tahu benar atau tidak positif Covis-19,” tandasnya.

Pemerintah, kata Tualeka harus dapat memberikan data yang sebe­narnya berkaitan dengan terkonfir­masinya seseorang agar menghin­dari adanya spekulasi yang berkem­bang, dimana jumlah pasien Covid-19 dikonspirasikan untuk memper­besar anggaran.

Tualeka meminta pemerintah harus lebih transparan. Sebab jika tidak akan melahirkan banyak multi interpretasi seperti pemahaman masyarakat terkait dengan adanya konspirasi yang akan merakibat pada tingkat kepatuhan terhadap protokol.

Anggota DPRD Maluku, Alimu­din Kolatlena mengaku, banyak masyarakat mengeluk karena tidak mendapatkan bukti hasil swab.

“Seharusnya pemerintah memberikan bukti hasil swab. sebab jika tidak masyarakat akan bertanya, seperti ada yang disembunyikan dalam kasus Covid-19 ini,” ujarnya.

Alimudin meminta gugus tugas lebih terbuka soal bukti hasil swab bagi orang yang divonis positif. (Cr-2/S-39/Mg-6)