SEORANG bijak berkata, negara yang kaya sumber daya alam tidak akan mampu menyejahterakan rakyatnya bila kualitas sumber daya manusianya terpuruk. Pendidikan, kesehatan dan gizi, serta karakter menjadi penciri SDM berkualitas.

Periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi ditekadkan untuk membangun SDM. Pada periode sebelumnya pemerintah Indonesia telah berfokus pada pembangunan infrastruktur. Pembangunan infra­struktur tidak lagi bersifat Jawa-sentris, tetapi juga menyentuh wilayah-wilayah di luar Jawa. Pemerintah merencanakan membuka food estate di Papua dengan luas 1,2 juta ha yang tentunya bila berhasil akan memberikan kontribusi penting bagi penyediaan pangan nasional.

Food estate merupakan konsep pengembangan produksi pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan. Dalam program ini, Kementerian Pertanian bersama dengan pemda setempat akan memberdayakan lahan-lahan yang belum digarap dengan potensial untuk dijadikan lahan produksi tanaman pangan. Selain Papua, pembangunan food estate juga akan dilakukan di wilayah Kalimantan Barat (120.000 ha), Kalimantan Tengah (180.000 ha), Kalimantan Timur (10.000 ha), dan Maluku (190.000 ha).

Membangun infrastruktur notabene ialah membangun ekonomi. Dulu suka ada yang bertanya untuk perbaikan sumber daya manusia (SDM), apakah harus menunggu ekonomi negara membaik atau berjalan beriringan? Suatu bangsa dikatakan semakin maju apabila tingkat pendidikan penduduknya semakin baik, derajat kesehatannya tinggi, usia harapan hidup panjang, dan pertumbuhan fisiknya optimal. Kita harus satu persepsi tentang pentingnya menempatkan prioritas dalam agenda pembangunan bervisi SDM. Salah satu tolak ukur pembangunan SDM ialah perbaikan gizi masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetap harus menjadi target, tetapi pada saat yang bersamaan harus disertai unsur pemerataan. Dengan demikian, penduduk secara merata akan merasakan dampak pertumbuhan ekonomi yang semakin baik. Anggaran belanja negara harus dialokasikan lebih banyak untuk kepentingan pembangunan. Karena dengan anggaran pembangunan itulah, kualitas manusia Indonesia dapat ditingkatkan. Anggaran negara atau daerah harus mampu menciptakan akses bagi penduduk Indonesia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, gizi, pendidikan, dan program sosial lainnya.

Baca Juga: Banjir dan Longsor Hantam Werinama

Pada 1984 dikeluarkan instruksi bersama antara Menteri Kesehatan, Kepala BKKBN dan Menteri Dalam Negeri yang mengintegrasikan berbagai kegiatan pembangunan kesehatan masyarakat dalam satu wadah yang disebut dengan nama pos pelayanan terpadu (posyandu). Kegiatan yang dilakukan diarahkan untuk lebih mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi yang sesuai dengan konsep GOBI-3F (growth monitoring, oral rehidration, breastfeeding, immunization, female education, family planning, and food supplement). Di Indonesia, hal tersebut diterjemahkan dalam lima kegiatan posyandu, yaitu KIA, KB, imunisasi, gizi, dan penanggulangan diare.

Karena posyandu merupakan wahana pelayanan dari berbagai program, penyelenggaraan posyandu telah menyertakan aspek pemberdayaan masyarakat secara konsisten. Dalam pelaksanaannya, posyandu mendapatkan bantuan teknis dari pemerintah serta menjalin kerja sama kemitraan dengan berbagai pihak. Kini posyandu menjadi tulang punggung penting dalam berbagai program gizi untuk mencegah dan mengatasi gizi buruk, stunting (anak pendek), anemia, kurang vitamin A, dll.

Gizi merupakan salah satu input penting untuk menentukan kualitas SDM. Salah satu indikator yang menentukan kualitas gizi anak ialah tinggi badan mereka. Anak-anak dengan stature tinggi diketahui mempunyai kemampuan kognitif dan kemampuan membaca lebih baik jika dibandingkan dengan anak pendek. Membaiknya kualitas fisik anak-anak Indonesia akan berimbas positif pada intelektualitas sehingga SDM kita di masa depan akan semakin baik karena dibangun oleh pondasi manusia yang kukuh.

Kita dapat berkaca pada Jepang, pada saat perekonomian mereka semakin maju pada masa 1950–1970- an tinggi badan anak-anak muda juga bertambah. Begitu juga halnya yang terjadi di Tiongkok. Sejak adanya reformasi, kehidupan rakyat Tiongkok semakin sejahtera yang berdampak pada kecepatan pertumbuhan tinggi badan anak-anak dan pemudanya.

Apakah kecerdasan anak ada kaitannya dengan problem gizi masyarakat? Negara-negara yang mampu membebaskan masyarakatnya dari problem stunting akan berpeluang untuk mencetak generasi cerdas karena stunting ialah masalah yang menjadi pembatas perkembangan otak anak. Dengan prevalensi stunting yang semakin menurun, kini 24,4% menurut Survei Status Gizi Indonesia (2021), Indonesia bisa berharap bahwa generasi muda yang akan datang akan menjadi lebih cerdas. Semangat pemerintah untuk membebaskan penderitaan anak-anak Indonesia dari problem stunting perlu diapresiasi.

Setelah kita merdeka sekian puluh tahun yang lalu, bangsa ini juga harus berbenah diri agar merdeka dari berbagai masalah gizi yang mengancam anakanak dan generasi muda kita. Pemerintah harus menempatkan pembangunan SDM (kesehatan, gizi, dan pendidikan) dengan prioritas tinggi. Kondisi sehat dan cukup gizi menjadi prasyarat penting untuk melahirkan SDM yang cerdas dan berkualitas. Oleh: Ali Khomsan Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB (*)