AMBON, Siwalimanews – Penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku akan segera memeriksa mantan Bupati Maluku Tenggara Taher Hanubun.

Sebagai mantan orang nomor satu di kabupaten tersebut, Hanubun dinilai bertanggung jawab terhadap dugaan penyalahgunaan dana Covid-19 bernilai ratusan miliar.

Pengelolaan dana tersebut berpotensi korupsi, karena mengalami perubahan dimana perubahan tersebut juga tidak diketahui pimpinan-pimpinan OPD.

Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus, Kombes Harold Huwae, tim penyidik telah mengagendakan pemeriksaan dilakukan terhadap mantan Bupati Malra dalam waktu dekat.

“Dalam minggu depan diperiksa,” jelas Huwae kepada Siwalima melalui pesan Whatsapp, Sabtu (4/11).

Baca Juga: Lagi, Sejumlah Pejabat Pemkot Ambon Bergeser Posisi

Selain pemeriksa mantan bupati, kata Huwae, tetapi penyidik juga akan memeriksa Sekda Malra dan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah.

“Sekalian dengan Sekda dan Kepala BPKAD,” ujar Huwae.

Huwae tidak ingin berkomentar lebih jauh soal kasus dana Covid Malra, dengan alasan masih penyelidikan.

Dinilai Mengetahui

Terpisah, Praktisi Hukum Munir Kairoty menilai mantan Bupati Malra, Taher Hanubun sangat mengetahui proses penanganan anggaran Covid-19 di wilayahnya sehingga turut bertanggung jawab dan harus diperiksa polisi.

Sebagai kuasa pengguna anggaran, lanjut Kairoty, Taher diduga mengetahui dengan pasti adanya perbedaan anggaran dalam laporan pertanggungjawaban keuangan dana covid tersebut.

Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Minggu (5/11) Kairoty menjelaskan, pasca pandemic Covid-19 dinyatakan sebagai endemik muncul persoalan hukum yang berkaitan dengan adanya dugaan korupsi dan hampir terjadi diseluruh Indonesia termasuk di Maluku.

Pengusutan dugaan kasus korupsi penggunaan anggaran Covid-19 di Maluku Tenggara oleh Direktorat Kriminal Khusus Polda Maluku kata Kairoti, menunjukkan adanya persoalan serius.

Di sisi yang lain, pengelolaan dana ini diduga bermasalah, karena ternyata ada OPD-OPD di lingkup Pemkab Malra yang tidak mengetahui adanya refocusing anggaran untuk kepentingan penanganan Covid-19.

Menurutnya, jika pimpinan-pimpinan OPD tidak mengetahui adanya refocusing anggaran, maka penyidik harus secara intensif meminta pertanggungjawaban dari Kuasa Pengguna Anggaran yakni bupati saat itu.

Menurutnya, bupati dalam kapasitas sebagai kuasa pengguna anggaran pasti mengetahui adanya refocusing anggaran pada OPD sebab laporan pertanggungjawaban keuangan ditandatangani bupati.

“Dia selaku kepala daerah dimana anggaran itu diperuntukan di Malra maka dia mengetahui, tidak bisa tidak tahu. Kan dia KPA saat itu,” tegas Kairoty.

Dikatakan, persoalan anggaran covid bukan lagi menjadi menjadi rahasia umum, artinya anggaran puluhan miliar yang digelontorkan haruslah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukan.

Kairoty menegaskan, dari aspek hukum kasus dana Covid-19 sangat mudah untuk dibuktikan apalagi terjadi perbedaan data belanja Covid-19, antara BPKAD dan Inspektorat sehingga harus segera ditindaklanjuti peningkatan status kasusnya.

Kepolisian tambah Kairoty harus tegak lurus dalam menegakkan hukum sesuai dengan temuan yang menyangkut dengan anggaran penanganan Covid-19.

“Kita berharap polisi tetap tegak lurus dan tidak tebang pilih dalam penegakan hukum di kasus dana covid-19 ini sebab anggarannya sangat besar,” pintanya.

Segera Periksa

Senada dengan Kairoty, praktisi hukum Alfaris Laturake juga menilai mantan Bupati Malra, Taher Hanubun mengetahui dengan pasti adanya penggelembungan anggaran Covid-19 dimaksud.

Menurutnya, dalam kapasitas sebagai KPA, bupati lebih mengetahui pergeseran anggaran dalam birokrasi yang dipimpinnya.

“Kalau OPD tidak mengetahui adanya pergeseran anggaran untuk penanganan covid-19, maka tanyakan ke kepala daerah,” jelas Laturake kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Sabtu (4/11).

Laturake menjelaskan penggunaan anggaran di lingkungan Pemerintah Kabupaten Malra sudah pasti diketahui langsung bupati, sehingga naif jika dikatakan bupati tidak mengetahui.

Bupati selaku KPA kata Laturake, secara otomatis bupati juga harus diperiksa dan dimintakan pertanggung jawaban oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku.

“Bupati saat itu harus diperiksa karena selaku kepala daerah dia harus diberi pertanggungjawaban, ini bukan dana kecil tapi dana besar,” tegasnya.

Laturake menegaskan Ditreskrimsus Polda Maluku harus memeriksa semua pihak termasuk bupati supaya ada kepastian dan keadilan hukum, sehingga masyarakat tidak memandang adanya diskriminasi dalam penegakan hukum apalagi berkaitan dengan korupsi pasti bukan saja satu orang tapi banyak orang.

 Periksa Mantan Bupati

Sebagai Bupati Malra, Hanubun dinilai bertanggung jawab terhadap pengelolaan penggunaan dana Covid-19 yang diduga dikorupsi.

Pengelolaan dana tersebut berpotensi korupsi karena mengalami perubahan, dimana perubahan tersebut juga tidak diketahui pimpinan-pimpinan OPD.

Awalnya anggaran dana Covid sebesar Rp36 miliar di tahun 2020 dan kemudian direvisi menjadi Rp40 miliar, namun dalam dokumen pertanggungjawaban keuangan pada BPKAD ternyata jumlahnya bukan lagi 40 miliar, tetapi naik 96 miliar, berbeda lagi pada laporan pertanggungjawaban bagian Inspektorat anggaran menjadi 110 miliar.

Anggaran dana Covid-19 Kabupaten Malra ini dibidik Ditreskrimsus Polda Maluku, tercatat sedikitnya 13 saksi yang terdiri dari pimpinan OPD di Pemkab Malra telah dimintai keterangan.

Menurut praktisi hukum Djidon Batmomolin, jika pimpinan OPD tidak mengetahui adanya refocusing anggaran, maka penyidik Ditreskrimsus Polda Maluku harus juga mintai keterangan dari Hanubun.

“Jika pimpinan OPD tidak mengetahui adanya anggaran pada dinas masing-masing yang direcofusing, maka harus ditanyakan kepada Bupati dan bagian keuangan

Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Kamis (2/11) Batmomolin menjelaskan, dalam laporan keuangan tidak dapat dibenarkan adanya anggaran yang berubah-ubah.

Kata dia, menjadi pertanyaan publik terkait alasan terjadinya penggelembungan anggaran yang mencapai puluhan miliar rupiah, sebab tidak dapat diterima oleh akal sehat maupun secara hukum.

Ditreskrimsus Polda Maluku lanjut Batmomolin, harus melakukan penyelidikan yang lebih mendalam terkait dengan kasus Covid-19 karena sangat merugikan keuangan daerah.

Salah satu upaya yang harus dilakukan dengan meminta pertanggungjawaban mantan Bupati Maluku Tenggara dan bagian keuangan terkait dengan anggaran, sebab apapun alasannya pasti diketahui kedua orang tersebut.

Sejumlah OPD

Diberitakan sebelumnya, tercatat sedikitnya 13 pimpinan Organisasi Perangkat Daerah di lingkup Pemkab Malra telah dimintai keterangan.

Kombes Harold Huwae mengatakan, sudah 13 pimpinan OPD yang dimintai keterangan.

Menurut mantan Kapolres Ambon ini, dalam waktu dekat pihaknya akan memanggil 33 OPD lagi untuk dimintai keterangan.

“Masih kurang 33 OPD lagi, panggilan akan dilayangkan,” ungkap Huwae kepada Siwalima melalui pesan Whatsapp, Selasa (31/10).

Ditanya soal pemerksaan 13 saksi itu apakah ada temuan yang menjurus kepada perbuatan melawan hukum, Huwae menolak berkomentar dengan alasan masih penyelidikan. “Masih lidik,” ujarnya singkat.

70 M Bermasalah

Sementara itu informasi yang diperoleh Siwalima terindikasi anggaran dana Covid Malra berpotensi korupsi.

Hal ini karena anggaran tersebut mengalami perubahan, dan perubahan tersebut juga tidak diketahui pimpinan-pimpinan OPD.

Kepada Siwalima, Selasa (31/10) sumber yang meminta namanya tak dikorankan ini menyebutkan, dalam laporan pertanggungjawaban dana covid anggaran yang awalnya tertera sebesar Rp36 miliar di tahun 2020. Selanjutnya anggaran tersebut direvisi menjadi Rp40 miliar.

“Anggaran total awalnya 36 miliar, kemudian direvisi menjadi 40 milar, dalam dokumen pertanggungjawaban keuangan pada BPKAD ternyata jumlahnya bukan lagi 40 miliar tetapi naik 96 miliar, berbeda lagi pada laporan pertanggungjawaban bagian Inspektorat anggaran menjadi 110 miliar,” ujar sumber itu.

Sumber ini kemudian mempertanyakan APBD ditetapkan tahun 2020 lalu datanya bisa berubah-ubah. Dimana tidak ada data tetap refocusing dan alokasi dana Covid tahun 2020 di Kabupaten Malra.

Selain itu dari jumlah anggaran tersebut, lanjut sumber, terindikasi ada selisih 70 miliar yang diduga dikorupsi namun ada dalam dokumen pertanggungjawaban bagian keuangan Pemkab Malra.

Mirisnya lagi, kata sumber itu, rata-rata pimpinan-pimpinan OPD di lingkup Pemkab Malra sama sekali tidak mengetahui anggaran refocusing dan alokasi dana Covid tersebut.

“Contohnya di Dinas Pendidikan yang tidak ada refocusing namun dalam laporan pertanggungjawaban keuangan ternyata ada, sebesar Rp13 miliar. Sehingga mengindikasi bahwa dokumen ini tidak pernah ada di pimpinan OPD. Dan diduga hanya dipegang oleh bagian keuangan dan bupati saja. Karena kalau dokumen-dokumen itu ada, maka tentunya pimpinan OPD mengetahui,” ujar sumber itu lagi.

Dia menyebutkan bahwa sebanyak 20 OPD dari 42 OPD di lingkup Pemkab Malra yang refocusing anggaran dana Covid tersebut.

Selain itu, banyak kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan Covid dimana kegiatan tersebut murni menggunakan dana APBD Malra, tetapi dalam laporan pertanggungjawaban justru menggunakan dana covid.

Tak Bisa Dipertanggung Jawabkan

Seperti diberitakan sebelumnya, penggunaan dana Covid-19 tahun 2020 di Kabupaten Maluku Tenggara, kuat dugaan tak bisa dipertanggungjawabkan.

Adapun penggunaan dan pemanfaatan anggaran yang berasal dari refocusing anggaran dan realisasi kegiatan pada APBD dan APBD perubahan tahun anggaran 2020 yang digunakan untuk penanganan dan penanggulangan Covid 2019 di Kabupaten Kepulauan Aru berbau korupsi.

Dana Rp52 miliar seharusnya digunakan untuk penanggulangan Covid-19, dialihkan Bupati Malra untuk membiayai proyek infrastruktur, yang tidak merupakan skala prioritas sebagaimana diamanatkan dalam Instruksi Presiden No 4 Tahun 2020 tentang refocusing kegiatan, realisasi anggaran, dalam rangka percepatan penanganan Covid-19.

Berdasarkan daftar usulan refocusing dan relokasi anggaran untuk program dan kegiatan penanganan Covid-19 Tahun 2020 kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan sebesar Rp52 miliar.

Padahal, berdasarkan Laporan Pertanggung Jawaban Bupati Malra tahun 2020, dana refocusing dan realokasi untuk penanganan Covid-19 tahun 2020 hanya sebesar Rp36 miliar, sehingga terdapat selisih yang sangat mencolok yang tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh Pemkab Malra sebesar Rp16 miliar.

Anggaran Rp52 miliar itu bersumber dari APBD induk senilai Rp3,833.000.000 pada post peralatan kesehatan sama sekali tidak dapat dirincikan secara pasti jenis barang yang dibelanjakan, jumlah/volume barang dan nilai belanja barang per peralatan, sehingga patut diduga terjadi korupsi.

Selain itu, pada pos belanja tak terduga, pada DPA Dinas Kesehatan TA 2020 senilai Rp5,796.029.278,51 yang digunakan untuk belanja bahan habis pakai berupa masker kain (scuba) dan masker kain (kaos) sebesar Rp2,6 miliar, sehingga sisa dana pos tak terdua sebesar Rp3.196.029.278,51, sisa dana ini tidak terdapat rincian penggunaannya sehingga patut diduga terjadi korupsi yang mengakibatkan kerugian Negara senilai Rp3.196.029. 278,51.

Sesuai dengan laporan hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Maluku atas laporan keuangan Kabupaten Malra TA 2020 menyatakan bahwa, belanja masker kain pada Dinas Kesehatan tidak dapat diyakini kewajarannya.

Sejumlah kejanggalan yang ditemukan yaitu, pencairan SP2D dari kas daerah dilakukan sebelum barang diterima seluruhnya. Hal ini merupakan bentuk kesalahan yang dapat dikategorikan sebagai dugaan pelanggaran dan/atau perbuatan melawan hukum.

Dengan demikian, diduga terjadi korupsi yang mengakibatkan negara mengalami kerugian sebesar Rp9.629.029.278,51 yang berasal dari DPA Dinas Kesehatan Kabupaten Malra TA 2020 pada mata anggaran (1) belanja peralatan kesehatan senilai Rp3.833.000.000.000. (2) belanja tak terduga untuk belanja masker kain scuba dan kai koas senilai Rp2.600. 000.000 dan sisa dana BTT yang tidak dapat dipertanggung jawabkan senilai Rp.3.196.029.278,51.

Tindakan ini dinilai melanggar keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan No. 119/2813/SJ No:177/KMK 07/2020 tentang Percepatan Penyesuaian APBD Tahun 2020 dalam rangka penanganan Covid serta pengamanan daya beli masyarakat dan perekonomian nasional serta Instruksi Menteri Dalam Negeri No: 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan Penyebaran dan Percepatan Penanganan Covid di lingkungan Pemerintah Daerah.(S-05/S-20)